Para penghayat kepercayaan/agama leluhur masih memngalami hambatan dalam pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Administrasi Kependudukan. Padahal Hak konstitusionalitas penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME diakui dan dilindungi oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Penegasan tersebut dapat dilihat dalam beberapa pasal, misalnya Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, ... serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, Pasal 28E ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Namun pada kenyataannya penghayat kepercayaan terpaksa harus berjuang menuntut hak kewargaannya sejak Indonesia merdeka karena aturan perundang-undangan di bawah konstitusi dan pelaksana negara justru abai menjalankan amanat konstitusi. Seperti mereka terpaksa, karena diwajibkan, berafiliasi ke salah satu agama yang dilayani demi mengakses fasilitas negara pada masa Orde Baru, kemudian berubah di awal Reformasi ketika mereka tidak diwajibkan berafiliasi, tetapi identitasnya “disembunyikan” berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,beruntung pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU No. 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 (UU Adminduk) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia untuk diuji-materikan pada tahun 2016, dan menghasilkan Amar Putusan (Putusan MK No. 97/PUU-XIV /2016, hal. 154-5)
Putusan MK 97/2016 juga menuntut penyesuaian kebijakan, pelayanan dan termasuk penerimaan sosial. Sejak Putusan MK tersebut, beberapa kebijakan baru dikeluarkan untuk menin-dak-lanjutinya, implementasinya, termasuk beberapa kebijakan sebelum Putusan MK, menun-jukkan banyak praktik baik, dan sambutan publik mulai makin meluas. Akan tetapi, tiga tahun setelah diputuskan, Putusan MK tersebut terkesan masih terlalu baru. Ia berikut kebijakan baru yang menyertainya tampak belum tersosialisasi atau belum diterima secara menyeluruh, baik oleh aparat negara sendiri terutama di daerah-daerah maupun oleh masyarakat luas. Sebagian besar kebijakan pemenuhan hak penghayat kepercayaan/agama leluhur seperti layanan KK dan KTP kepercayaan, pernikahan, pendidikan (hingga SMA) telah diimplementasikan, tetapi tidak/belum berlangsung secara merata menjangkau seluruh penghayat kepercayaan/agama leluhur. Buku ini menuliskan laporan-laporan tersebut sesuai dengan tujuan untuk memotret kebijakan dan implementasinya Pasca Putusan MK dan advokasi lanjutan yang dapat dilakukan.