...
Berita & Pengumuman
Penghormatan 11 Perempuan Pembela HAM di Acara Puncak Peringatan 22 Tahun Hari Lahir Komnas Perempuan (28 Oktober 2020)

Penghormatan 11 Perempuan Pembela HAM di Acara Puncak Peringatan 22 Tahun Hari Lahir Komnas Perempuan (28 Oktober 2020)

  

  1. Estu Fanani (wafat 2020). Sejak Desember 2019, Estu mulai sakit dan kondisinya memburuk sejak februari 2020 karena sindrom Mielodisplasia yang dideritanya. Estu berpulang diusia 46 tahun.Estu adalah aktivis yang bekerja di banyak ruang, ia tak pernah merasa terbebani jika diminta bantuan bekerja dengan berbagai jaringan masyarakat sipil. Lulusan Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro ini konsisten dan gigih bekerja untuk mendukung perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan.Sebagai aktivis perempuan, Estu pernah menjabat sebagai Direktur LBH APIK Jakarta, dan berkiprah di lembaga tersebut sejak tahun 2002 hingga 2010. Setelah itu, Estu kemudian menjabat sebagai Koordinator Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) sejak tahun 2012 hinga 2016. Disamping menduduki jabatan-jabatan tersebut, Estu juga merupakan peneliti di Semerlak Cerlang Nusa, Kalyanamitra, Konde.co, Pantau serta YAPESDI - Lembaga yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Tidak berhenti sampai disitu, Estu pernah memimpin Komunitas Tanah Baru – organisasi koperasi perempuan, dan terlibat aktif dalam perjalanan panjangnya advokasi Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKdRT) dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang hingga kini masih terus diperjuangkan.

 

  1. Ratih Purwarini (Wafat 2020). Dokter Ratih adalah Perempuan Pembela HAM yang meninggal karena tertular Covid 19. Diakhir hayatnya, Dokter Ratih masih menjabat sebagai Direktur RS Duta Indah Jakarta Utara dan sebagai anggota IDI Cabang Jakarta Timur. Ratih bergabung dengan Komnas Perempuan sebagai relawan sejak Oktober 2014 hingga November 2017. Sebagai Relawan di bagian Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Divisi Pemantauan tugas relawan adalah menerima pengaduan perempuan korban kekerasan, mengidentifikasi kebutuhan korban, mendokumentasikan dan merujuk ke lembaga layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Ratih dikenal sebagai pribadi yang rajin, komitmen, disiplin, dan selalu mau belajar. Sebagai Relawan yang bekerja 4 jam sehari, dengan jadwal piket yang disesuaikan dengan waktunya, Ratih tetap berpraktek sebagai dokter di rumah sakit. Meski demikian, Ratih selalu hadir di Komnas Perempuan tepat waktu sesuai jadwal, bahkan datang lebih awal, dan selalu bersedia meluangkan waktu lebih untuk bekerja, dan kerap membantu rekan-rekannya sesama relawan.Berbekal semangatnya dalam membantu perempuan korban kekerasan, turut menghantarkan Ratih menempuh pendidikan lanjutan di Studi Kajian Gender Universitas Indonesia dan mendirikan Lembaga layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan bernama Akara Perempuan.

 

  1. Rosniati (Wafat 2020) Rosniati yang kerap disapa Nia ini, merupakan Perempuan Pembela HAM yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah. Semasa kuliah Nia aktif di dalam berbagai kegiatan sosial. Nia memilih jalan perjuangan untuk hak-hak perempuan dengan bergabung sebagai anggota Solidaritas Perempuan (SP) Palu pada 2007. Nia menjabat sebagai Bendahara SP Palu selama dua periode, hingga hingga akhirnya Nia memutuskan pindah ke Jakarta dan menjabat sebagai Bendahara Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan tahun 2015 hingga 2019. Selain itu, Nia juga merupakan anggota Dewan Pengawas Nasional SP sejak tahun 2019. Sepanjang hidupnya, Nia dikenal sebagai pribadi yang gigih dan keberpihakannya terhadap perempuan, terutama mereka yang tertindas. Bersama Solidaritas Perempuan, Nia aktif menyuarakan hak-hak perempuan, seperti perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh migran, perempuan adat, perempuan miskin kota, isu lingkungan, serta isu keberagaman. Nia juga dikenal sebagai orang yang supel dan luwes berteman dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Dan diakhir 2019, Nia mulai berjuang melawan kanker payudara yang dideritanya, hingga akhirnya Tuhan memanggil Nia pada September 2020, meninggalkan keluarga,  rekan-rekan, dan kawan-kawan seperjuangan yang Ia cintai dan sangat mencintainya.

 

  1. Nurhidayah Arsyad (Wafat, 2019). Nurhidayah Arsyad, lahir di Sumbawa tahun 1975. Sejak mahasiswa Nur dikenal sebagai aktivis dan aktif di Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia dan Kohati di Makassar dan bergabung bersama Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulawesi Selatan. Nur hijrah ke Jakarta pada tahun 2002 dan memulai aktivitasnya sebagai jurnalis dan melajutkan perjuangannya di dunia gerakan perempuan. Nur merupakan anggota dan Pengurus Solidaritas Perempuan Jabotabek selama 10 tahun. Kemudian bekerja untuk isu air dan perempuan di Kruha sebuah Koalisi Warga yang melakukan citizen lawsuite atas swastanisasi air bersih tahun 2015 kepada pemerintah dan perusahaan swasta, PALYJA dan gugatan dimenangkan oleh warga tahun 2017 dengan keputusan Mahkamah Agung bahwa privatisasi air di Jakarta merupakan bentuk perbuatan melawan hukum. Nurhidayah kemudian bekerja di Sajogyo Institut untuk isu perempuan dan agraria dan sebagai Ketua Pendidikan dan Pengorganisasian Nelayan Perempuan DPP  Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) saat meninggal dunia di tahun 2019. KNTI merupakan mitra kerja Komnas Perempuan khususnya isu sumber daya alam. Berkat kiprah bersama rekan-rekannya di KNTI, menghantar UNDP Indonesia memperoleh penghargaan Gold Gender Equality Seal. Dimana Indonesia sebagai negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang menerima Gold Seal.

 

  1. Ibu Den Upe Rambelayuk (Wafat, Maret 2019). Den Upa Rombelayuk, wafat pada Maret 2019 secara tiba-tiba di Toraja, Sulawesi Selatan dalam usia 74 setelah merasa sesak dan kemudian drop. Ibu Den merupakan Koordinator Dewan AMAN periode 1999-2003, Anggota DAMANNAS 2003-2012 dan komunitas adatnya tergabung di BPH AMAN Toraja. Perjuangan Ibu Den Upa membentuk organisasi Masyarakat Adat telah dilakoni sejak tahun 80an. Ibu Den turut mengawal lahirnya organisasi masyarakat adat terbesar di Indonesia, AMAN, di tahun 1999. Beliau juga  aktif di dunia gerakan perempuan Sulawesi Selatan. Pernah menjabat sebagai koordinator penelitian wilayah Toraja tentang kekerasan terhadap perempuan di ruang publik, kerjasama dengan PSKK UGM dan FPMP Sulawesi Selatan dan sebagai koordinator lapangan pendampingan kesehatan reproduksi perempuan di Toraja bersama YLK (Yayasan Lembaga Konsumen) Sulawesi Selatan atas dukungan dana Ford Foundation.

 

  1. Lily Dorianty Purba (Wafat, 9 Februari 2019) Lily Purba pernah menjabat sebagai Perwakilan Indonesia di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) pada tahun 2016 Lily merupakan konsultan gender yang saat itu bekerja sebagai ahli/penasihat di bidang gender bagi LSM Nasional dan Badan Pembangunan Internasional di Indonesia dengan memberikan masukan terkait kesetaraan gender untuk Program dan Proyek Pembangunan. Beliau sudah bekerja selama lebih dari 25 tahun di isu ini, dan konsisten memperjuangkan kesetaraan gender, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, Pekerja Migran, serta Pemberdayaan Komunitas dan Advokasi.Lily merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1985 dan Master dalam Pembangunan dan Gender di University of East Anglia, Inggris tahun 1999. Gelar tersebut juga yang membawanya sebagai konsultan gender dan pembangunan organisasi di donor Internasional dan berbagai LSM di Indonesia. Beliau membantu banyak organisasi nasional dan internasional untuk asesmen, pemantauan dan evaluasi proyek-proyek pengembangan organisasi, sebagai pelatih, nara sumber, fasilitator untuk isu hak asasi perempuan, penganggaran yang responsif gender, dan perencanaan strategis dan isu disabilitas.  Lily memulai karirnya dalam gerakan sosial di Jakarta bersama Urban Community Mission pada tahun 1998 saat ia bekerja dengan para buruh untuk isu pengorganisasian, pelatihan dan advokasi. Tahun 2003 hingga 2006, Lily merupakan Komisioner Komnas Perempuan dengan fokus pada pendidikan dan pelatihan tentang hak asasi manusia dan kekerasan berbasis gender. Ia juga bekerja sebagai manajer Dana Integrasi Gender Sosial di PSU-CIDA (Kanada Badan Pembangunan Internasional), terlibat dalam advokasi hak-hak pekerja perempuan di Indonesia, hak-hak pekerja migran di Asia hingga membawanya pindah ke Hong Kong dan sebagai wakil direktur di salah satu LSM di tingkat regional, yaitu Asian Migrant Center pada 2009.

 

  1. Yusan Yeblo (Wafat, 2019) Mama Yusan Yeblo, tokoh perempuan papua yang aktif di berbagai organisasi perempuan, 3 tahun berjuang dengan stroke yang menyebabkannya tidak bisa bergerak bebas dan beraktivitas seperti biasa. Beliau merupakan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 1998  hingga 2004, anggota Forum Kerjasama (Foker) Papua, Pendiri Forum Kerja Sama masyarakat Irian Jaya (Foreri) dan Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua tahun 2007. Mama Yusan juga pernah menjabat sebagai Sirektur Yayasan Pokja Wanita Irian Jaya dan  sebagai koordinator Jaringan Kerjasama Kesehatan Perempuan dan Anak kawasan Indonesia Timur (JKPIT). Mama yusan, wafat pada Maret 2019. Kiranya perjuangan Beliau semasa hidupnya dapat menjadi inspirasi bagi kita semua.

 

  1. Dr. Tapi Imas Ihromi Simatupang wafat 5 Agustus 2018 dalam usia 88 tahun. Beliau seorang intelektual dan aktivis perempuan, yang aktif membela kepelbagaian adat-istiadat di Indonesia. Ia berpendapat, penyeragaman hukum di Indonesia seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru hanya akan menimbulkan masalah di masyarakat. Ibu Tapi Omas juga dikenal sebagai seorang antropolog karena studinya doktornya diselesaikan dalam bidang antropologi hukum pada 1978, dengan menulis disertasi dengan judul "Adat perkawinan Toraja Sa'dan dan tempatnya dalam hukum positip masa kini". Jenjang pendidikan ibu Tapi Omas S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selesai pada 1958, S2 di Universitas Cornell dan lulus dengan gelar M.A. dan di Universitas Harvard dalam bidang studi bahasa-bahasa Semit dan S3 di Uiniversitas Indonesia. Tapi Omas ikut mendirikan jurusan Kajian Perempuan Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada 1979 bersama dosen UI perempuan lainnya. Dan sebelum berdirinya jurusan ini,  beliau pencetus mata kuliah wanita dan pembangunan dan sekaligus menjadi pengajar.  Untuk itu, oleh para akademisi lain beliau disebut The Mother of Indonesian Feminist Studies. Beliau juga turut serta mendirikan Kelompok Kerja Convention Watch, sebuah organisasi yang mengupayakan penegakkan hak asasi perempuan dan tercapainya kesetaraan gender. Cara kerjanya melalui advokasi kebijakan, mempengaruhi para penegak hukum dan legislative dengan menyusun modul pendidikan dan memberi penguatan kapasitas pada stakeholder. Melakukan review peraturan hukum di Indonesia dan menginisiasi peraturan baru yang mengarah pada keterpenuhan Hak Asasi Perempuan. Sosok Prof. Ihromi telah pergi meninggalkan berbagai karya intelektual perempuan dalam buku, kajian dan jurusan dan mata kuliah yang tetap langgeng hingga saat ini. Tujuannya hanya satu, memajukan kehidupan perempuan di seluruh Indonesia.

 

  1. Eyang Sri Sulistyawati (Wafat, 2018) Sri Sulistyawaty atau kerap dipanggil dengan sebutan Eyang Sri lahir di Cirebon dan meninggal pada usia 78 tahun. Sakit radang usus telah menggerogoti Eyang Sri hingga akhir hidupnya. Eyang menghembuskan nafas terakhir tanggal 26 April 2018 di RS Carolus. Eyang adalah seorang jurnalis di tahun 1950an dan bekerja di Koran Ekonomi Nasional. Pada masa itu, Eyang banyak menulis tentang kondisi ekonomi dan sosial politik di IndonesiaEyang pernah menempuh pendidikan di jurusan jurnalistik Akademi Jurnalistik Doktor Rifai. Skripsinya tentang Miscicih mengenai kesenian rakyat, kisah diluar panggung yang penuh dengan kemiskinan, padahal di atas panggung terlihat glamour. Bekerja sambil kuliah dan menjadi aktivis, karir pertamanya dimulai ketika ia bekerja di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh Indonesia milik Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat-saat berikutnya adalah merupakan saat yang buruk bagi Eyang, karena ia kemudian dicari dan dipenjara tanpa alasan. Eyang dipenjara di Bukit Duri selama 11,5 tahun hingga 25 April 1979 baru dilepaskan. Hari-hari setelah dalam penjara itulah hari-hari penuh dengan kekerasan, intimidasi dan diskriminasi yang tak pernah lepas dari hidupnya. Ia pernah mengalami pendarahan hebat karena disiksa. Sejak keluar dari penjara, sesekali ia masih sering menulis, melanjutkan sisa-sisa kisah kepedihan di dalam penjara. Bagi banyak orang, Eyang adalah guru, jurnalis yang kemudian memperjuangkan nasib ketidakadilan di Indonesia. Eyang adalah seorang penyintas 65 yang berjuang hingga akhir hayatnya.

 

  1. Cut Risma Aini (Wafat, 2018) “Di Aceh, isu kepemimpinan perempuan adalah isu yang sangat penting, karena ada banyak aturan atau kebijakan yang membatasi perempuan untuk mengembangkan diri dan dapat memimpin dirinya, kelompok atau komunitas. (Cut Risma Aini, sumber: perempuanmemimpin.com)” Cut Risma Aini, lahir pada 20 September 1972. Selama hidupnya, Cut Risma aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai konteks. Bersama Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, dia aktif mengadvokasi hak perempuan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, hingga memperjuangkan hak perempuan dalam ruang publik dan demokrasi. Cut Risma pernah menjadi Kepala Divisi Penguatan Organisasi Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan sejak 2004 - 2006 dan kembali ke Aceh untuk memperkuat perempuan korban gempa dan tsunami. Cut Risma Aini salah satu anggota SP Aceh yang aktif dan  menjadi Ketua Badan Eksekutif SP Aceh pada 2011-2014. Cut Risma Aini terakhir menjadi anggota Dewan Pengawas Komunitas SP Aceh sejak Desember 2017 hingga akhir hidupnya.

  

  1. Christina Sumarmiaty (Wafat, 2019) Christina Sumarmiyati wafat 2019 dalam usia 73 tahun. Beliau merupakan perempuan pembela HAM yang menjadi salah satu korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh Polisi Militer tahun 1967. Mbah mamik ditangkap dan disiksa dalam tahanan agar mengakui diri sebagai anggota Partai Komunis. Padahal kiprahnya di dunia gerakan perempuan sangatlah mulia. Beliau menjadi pelakon dalam pertunjukan ketoprak agar dapat menyampaikan pesan emansipasi perempuan. Sejak usia remaja, beliau telah aktif berorganisasi, salah satunya organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), dan menjadi koordinator tingkat kabupaten. Salah satu kerja mulia organisasi ini adalah pemberantasan buta huruf dan merelakan rumahnya menjadi tempat bersekolah. Ibu Christina Sumarmiyati atau disapa Mbah Mamik menjalani hidup dalam ketakutan di penjara Wirogunan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh tentara untuk melakukan kekerasan seksual pada Mba Mamik atau tahanan lainnya. Barulah lega setelah dipindahkan ke penjara perempuan Bulu di sdemarang tahun 1976. “Disini lebih tentram karena petugas penjara semuanya perempuan, tidak ada kekhawatiran diperkosa”, uangkapnya. Beliau mendapat kebebasan dari perjuangan tim Amnesty Internasional tanggal 27 September 1978. Meski berada di dunia bebas, namun stigma dan pembatasan hak di zaman orde baru dirasakannya beserta keluarganya. Setelah menikah, Mbah Mamik berjualan, dan saat usahanya sudah berkembang, beliau mencari kawan-kawan mantan tahanan politik untuk saling menguatkan. Beliau aktif di berbagai kegiatan setelah runtuhnya rezim orde baru, dan tahun 2015 beliau menghadiri International People’s Tribunal 65 di Belanda. Beliau memberi kesaksian pilu yang hingga saat ini diabaikan oleh pemerintah.

 

Silahkan mengunduh lengkap bersama fotonya

Profile Perempuan Pembela HAM (WHRD) 2020 diluncurkan di Ultah Komnas Perempuan (28 OKtober 2020)

 

 

 


Pertanyaan / Komentar: