...
Berita & Pengumuman
TANGGAPAN JARINGAN KERJA PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PRO PEREMPUAN (JKP3) ATAS PENOLAKAN FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (F-PKS) TERHADAP RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL (RUU PKS)

TANGGAPAN JARINGAN KERJA PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PRO PEREMPUAN (JKP3) ATAS PENOLAKAN FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (F-PKS) TERHADAP RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL (RUU PKS)

Berdasarkan audiensi yang dilakukan kami, JKP3, dengan F-PKS, pada Kamis, 21 Februari 2019, di Gedung DPR RI, untuk mengklarifikasi soal penolakan F-PKS terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), oleh karena status RUU sendiri pada dasarnya belum dibahas DPR secara resmi bersama Pemerintah.

F-PKS yang menerima audiensi JKP3 dalam hal ini diwakili oleh Ibu Ledya Hanifa Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI membenarkan penolakan tersebut dan menyampaikan sejumlah alasan penolakan fraksinya atas RUU tersebut.

Selanjutnya, menanggapi alasan penolakan F-PKS atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pada intinya kami menyampaikan tanggapan sebagai berikut:

F-PKS menolak judul RUU kekerasan seksual dan bukan kejahatan seksual. Istilah kekerasan seksual dianggap kurang mencerminkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang berat dibanding kejahatan seksual.

 

Tanggapan JKP3:

Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak mengurangi ketegasan atau keseriusan dari kejahatan yang dilakukan, sudah terbukti dengan diadopsinya istilah tersebut dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), sebagai salah satu bentuk KDRT yang diberi sanksi pidana yang tegas.

Istilah “kekerasan seksual sudah diakui oleh hukum internasional, yakni sebagai salah satu bentuk dari Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender yang tertuang dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Deklarasi ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Jika istilah kejahatan seksual digunakan, akan berakibat masuknya semua perbuatan seksual yang dianggap jahat oleh masyarakat termasuk perbuatan melanggar norma kesopanan atau moralitas masyarakat tertentu. Padahal, tidak semua perbuatan seksual yang dianggap jahat tersebut memiliki unsur kekerasan. Unsur kekerasan inilah menjadi fokus dari RUU PKS.

Jika istilah kejahatan seksual digunakan, dapat menimbulkan stigma (cap penjahat) khususnya bagi anak sebagai pelaku yang seharusnya diposisikan sebagai korban dari sistem pendidikan dan sosial yang ada.

F-PKS menganggap definisi kekerasan seksual yang memasukkan unsur hasrat seksual dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual menyimpang, dan istilah relasi kuasa yang dapat disalahpahami dengan relasi suami-isteri.

 

Tanggapan JKP3:

Kami memahami kekhawatiran F-PKS , namun kekhawatiran tersebut terkesan berlebihan. Kata-kata hasrat seksual seharusnya tidak bisa dibaca secara terpisah dengan rangkaian kata lainnya, atau dikeluarkan dan diberi interpretasi sendiri sehingga bertolak belakang dari tujuan RUU. Dalam definisi kekerasan seksual diatur tentang perbuatan dan akibat, sehingga membaca kata hasrat seksual tidak terlepas dari perbuatan yang dilarang maupun akibat dari perbuatan yang dilarang tersebut. Definisi kekerasan seksual di dalam ketentuan umum hanya menjelaskan cakupan, bukan sebagai unsur perbuatan yang akan dipidana, yang mana diatur dalam pengertian dari setiap bentuk kekerasan seksual (9 bentuk).

Kekhawatiran bahwa relasi kuasa dalam definisi kekerasan seksual akan disalahpahami sebagai relasi suami isteri, menyiratkan kehendak agar RUU ini tidak mencampuri relasi suami isteri. Atau dengan kata lain, relasi suami isteri harusnya tidak menjadi jangkauan pengaturan dalam RUU ini.

Jauh sebelum RUU berada di Prolegnas, Pemerintah dan DPR telah mengundangkan dan memberlakukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 2004, yang mengatur kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi suami isteri. Hal ini membuktikan bahwa relasi suami isteri saat ini tidak kebal terhadap campur tangan hukum, bila ditemukan tindak pidana kekerasan seksual di dalamnya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam UU PKDRT tersebut masih terbatas, sehingga kehadiran RUU PKS akan lebih menjawab persoalan yang dialami korban.

Selanjutnya, soal relasi kuasa menjadi penting dirumuskan dalam RUU PKS ini, karena umumnya kasus kekerasan seksual terjadi akibat adanya ketimpangan relasi kuasa atau kekuasaan yang tidak setara antara pelaku dengan korban, baik didasarkan karena perbedaan gender maupun posisi atau jabatan, atau ketimpangan atas akses dan kontrol terhadap sumber daya, termasuk dikarenakan situasi disabilitas seseorang.

Dalam banyak kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi dalam relasi pacaran, perkosaan dengan korban disabilitas, atau pelecehan seksual yang dialami karyawan yang dilakukan atasannya, guru honorer yang dilecehkan kepala sekolah, mahasiswi oleh dosennya atau rekan sesama mahasiswa, kasus-kasus tersebut tidak mudah dibawa ke jalur hukum. Hukum pidana (KUHP) maupun hukum acara pidana (KUHAP) tidak memberikan ruang bagi kasus-kasus seperti ini. Pengaduan kasus perkosaan tidak bisa dibuat laporannya di Kepolisan -baru pada tahap membuat laporan saja-, bila perbuatan yang dilaporkan tidak memenuhi unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini tentunya menyulitkan bagi korban disabilitas mental dan korban dalam relasi-relasi kuasa di atas yang dalam situasi mereka hampir tidak memerlukan adanya kekerasan maupun ancaman kekerasan untuk membuat mereka menjadi tidak berdaya. Adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadikan korban tidak berdaya, seperti kehawatiran di-PHK, diputus hubungan, tidak mendapat nilai baik atau tidak lulus dsb, pada akhirnya membuat korban rentan mengalami kekerasan seksual.

F-PKS mengusulkan memasukkan klausul langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual, diantaranya mewajibkan kepada Pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran illegal narkotika, zat psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencegahan kejahatan seksual.

 

Tanggapan JKP3:

RUU telah mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual yang cukup komprehensif serta partisipasi masyarakat dalam pencegahan. Sehingga soal pencegahan seharusnya tidak menjadi dasar penolakan terhadap RUU ini. Selain itu, soal pornografi dan peredaran narkoba telah diatur dalam UU tersendiri. Permasalahan penegakan hukum memang menjadi tantangan tersendiri, yang harus terus diupayakan. Namun, kelemahan dari implementasi UU yang sudah ada, semestinya tidak menjadi beban dari RUU PKS.

F-PKS mengajukan untuk menambahkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut.

 

Tanggapan JKP3:

Soal pengaturan pencantuman asas sudah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 5 UU ini menyebutkan bahwa Dalam membentuk Peraturan Perundang-Undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yang meliputi: a.kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuain antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d.dapat dilaksanakan; e.kedayagunaan dan kehasilgunaan; f.kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya tidak perlu ditempatkan dalam asas, itu justru merendahkan posisi sila pertama dari lima sila dalam Pancasila yang harus ditempatkan di posisi lebih tinggi, dalam hal ini sebenarnya sudah tercantum dalam konsideran dan sebagai pembuka RUU.

Mengingat urgensi RUU PKS bagi korban kekerasan seksual yang juga mayoritas adalah umat Islam, Kami meminta F-PKS dapat mendukung pembahasan RUU ini dan membuka diskusi tidak saja di antara mereka yang kontra terhadap RUU ini, tetapi juga pihak yang berkepentingan terhadap RUU seperti para korban, penyintas, pendamping, dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap kebutuhan payung hukum bagi korban kekerasan seksual yang lebih komprehensif .

 

Hasil audiensi :

  • F-PKS menghargai masukan dari JKP3 dan sepakat bahwa korban kekerasan seksual harus mendapatkan perlindungan hukum yang lebih baik.
  • Penolakan F-PKS bukan harga mati, tetap dimungkinkan diskusi dan mereka akan melihat prosesnya.
  • F-PKS berjanji akan membuka ruang diskusi kepada semua kelompok masy tidak saja terhadap yang kontra atas RUU PKS.

 

Jakarta, Jumat, 22 Februari 2019

Ratna Batara Munti

Kordinator

 

 


Pertanyaan / Komentar: