Pernyataan Bersama
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
tentang 22 Tahun Peringatan Tragedi Mei 1998
Jakarta, 13 Mei 2020
Dalam 22 tahun, upaya penuntasan kasus Tragedi Mei 1998 terjadi, masih belum menunjukkan titik terang dan menyebabkan perempuan korban kekerasan seksual di dalam Tragedi ini terus membungkam. Pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi dari berbagai mekanisme independen terkait penuntasan kasus Mei 1998 masih terkendala baik di aspek substansi, struktur maupun kultur. Akibatnya, kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh masih bersifat parsial dan adhoc, sehingga belum mampu memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan kriminal, terutama menyangkut tindak kekerasan terhadap perempuan. Kondisi ini juga merintangi perempuan korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, mengakses hak-haknya sebagai korban dan sekaligus pada hak konstitusionalnya, terutama hak atas rasa aman dan keadilan. Percepatan dalam reformasi hukum, penguatan sistem perlindungan dan dukungan bagi korban dan saksi, peningkatan kualitas dan keberlanjutan layanan terpadu bagi perempuan korban, serta menghentikan budaya menyangkal dan menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual menjadi kunci perbaikan yang harus segera diupayakan.
Kondisi di atas diamati bersama oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dua lembaga independen yang secara langsung sejarah pendiriannya berkait dengan Tragedi Mei 1998. Sejak didirikan pada 1998, Komnas Perempuan terus mengupayakan terwujudnya kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dengan mendorong pengembangan sistem perlindungan dan dukungan bagi perempuan korban dan saksi kekerasan. Perlindungan Saksi dan Korban adalah salah satu rekomendasi kunci penuntasan kasus Mei 1998, mengingat pada saat itu jaminan perlindungan tidak tersedia, sehingga menyurutkan langkah korban untuk melaporkan kasusnya. Dibentuk berdasarkan UU, buah perjuangan bersama masyarakat sipil, sepuluh tahun setelah tragedi Mei 1998, LPSK dibentuk.
Hingga kini, LPSK belum menerima permohonan perlindungan dari komunitas korban Mei 1998, termasuk dari perempuan korban kekerasan seksual. Hal ini dapat menandakan bahwa sikap komunitas korban belum berubah sejak hampir 1 dekade Komnas Perempuan melakukan pemantauan tentang dampak Tragedi Mei 1998 pada komunitas korban. Komnas Perempuan mencatat bahwa selain aspek budaya dan pilihan personal, sikap membungkam korban sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada korban. Hal ini antara lain dicerminkan oleh kebuntuan penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu, keberulangan penggunaan isu bermuatan rasisme dalam kontestasi politik, dan impunitas yang berlanjut akibat penegakan hukum yang dirasakan masih tebang pilih, tumpul pada kelompok yang memiliki kuasa di dalam pemerintahan dan masyarakat.
Pada kurun waktu 6 tahun terakhir (2014-Mei 2020), LPSK telah memberikan perlindungan bagi 440 korban kekerasan seksual. Itu belum termasuk perlindungan bagi pelapor, saksi, keluarga korban maupun saksi pada kasus yang sama sehingga total Terlindung LPSK mencapai 901 orang. Jumlah ini tentunya jauh dari jumlah sesungguhnya kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap 2 jam sekurangnya ada 3 perempuan di Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual. Dalam rentang 2011-2019 saja, Komnas Perempuan menerima pengaduan 23.021 kasus kekerasan seksual di ranah komunitas, dimana perkosaan (9.039 kasus) adalah jenis kekerasan seksual terbanyak.
Komnas Perempuan dan LPSK menyesalkan bahwa proses hukum menjadi sangat lamban dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan pejabat publik sebagai pelaku. Pada rentang tahun 2018 hingga Januari 2020 saja, ada 115 kasus serupa ini yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan, termasuk oleh aparatur sipil negara (26 kasus), polisi (20 kasus) dan aparat militer (12 kasus). Sementara kekuatiran perempuan korban untuk melaporkan kasusnya masih menjadi kendala bagi LPSK untuk dapat menjangkau korban, alasan kurang bukti kerap dijadikan pembenar di tingkat kepolisian dan/atau kejaksaan untuk menghentikan penanganan kasus. Proses hukum juga terhambat oleh kebiasaan menyalahkan perempuan korban dan pengaburan tindak kekerasan itu sebagai hubungan “suka sama suka”. Kondisi ini mereplikasi situasi penanganan kasus Mei 1998, dimana budaya penyangkalan menyebabkan korban terabaikan dan impunitas terus berlanjut.
Stagnansi dalam reformasi hukum, khususnya pada hukum pidana, agar mencerminkan standar Internasional yang mutakhir perihal tindak kekerasan terhadap perempuan berkontribusi besar pada kebuntuan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Definisi perkosaan yang sempit, pengabaian pada berbagai jenis kekerasan seksual yang berbasis pada pengalaman nyata perempuan Indonesia, dan tata cara pembuktian yang membebani korban adalah bagian dari persoalan payung hukum saat ini. Upaya untuk memberikan perlindungan yang lebih utuh, termasuk jaminan pelaksanaan pemulihan korban, melalui rancangan undang-undan penanganan kekerasan seksual justru dijegal di menit-menit akhir pembahasan dengan alasan yang mencampuradukkan persoalan kekerasan seksual dengan penilaian moralitas yang menghakimi perempuan. Sementara itu, pembahasan revisi UU Kitab Hukum Pidana juga tertunda karena ditengarai didompleng oleh kepentingan-kepentingan yang justru menjauhkan rasa keadilan.
Stagnansi dalam reformasi hukum pidana ini secara langsung juga mengurangi daya dari perbaikan kerangka hukum yang sudah diperoleh dalam 22 tahun terakhir. Komnas Perempuan mencatat adanya 53 peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional dan 414 kebijakan di tingkat daerah yang menguatkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan secara lebih terpadu dan berperspektif keadilan gender. Namun, di dalam pelaksanaannya, celah hukum masih digunakan untuk mengkriminalkan korban sementara langkah afirmasi justru jarang diterapkan.
Implementasi kebijakan kondusif juga kerap terhambat dengan alasan menunggu aturan pelaksana, keterbatasan anggaran,dan ketiadaan sumber daya. Kondisi ini juga memunculkan keprihatinan pada komitmen sungguh-sungguh negara pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Keprihatinan ini disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh lembaga pengada layanan, yang meskipun jumlahnya terus bertumbuh tetapi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, daerah perkotaan dan memiliki kapasitas yang bervariasi dan terbatas pada jenis layanan yang dapat diberikan, baik itu yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat maupun oleh instansi pemerintahan. Tercatat di penghujung 2019 terdapat 121 lembaga layanan swadaya masyarakat, 427 unit pelayanan bagi perempuan dan anak di kepolisian, 337 pusat krisis terpadu di fasilitas kesehatan, 419 pusat layanan terpadu di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).
Menyikapi persoalan-persoalan di atas, Komnas Perempuan dan LPSK merekomendasikan agar:
- Pemerintah dan DPR RI mempercepat reformasi hukum pidana, khususnya melalui (i) pengesahan RUU terkait kekerasan seksual dan koherensinya dengan (ii) revisi UU KUHP dan KUHAP;
- Kementerian dan Lembaga terkait memperkuat sistem perlindungan dan dukungan bagi korban dan saksi, termasuk dengan (i) mengatasi hambatan legal formal untuk memperbesar kesempatan perempuan korban kekerasan seksual dalam mengakses layanan perlindungan oleh LPSK, dan (ii) memfasilitasi penyelenggaraan rumah aman dengan mempertimbangkan kondisi geografis kepulauan dan kebutuhan khusus perempuan korban, tidak terbatas pada konteks disabilitas;
- Kementerian dan Lembaga terkait mengupayakan peningkatan kualitas dan keberlanjutan layanan terpadu bagi perempuan korban, termasuk dengan (i) memastikan dukungan anggaran yang cukup baik bagi lembaga layanan yang diselenggarakan langsung oleh instansi pemerintahan maupun oleh masyarakat di tingkat nasional maupun daerah dalam kerangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 di aspek akses keadilan bagi korban, (ii) mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP), (iii) memperkuat koordinasi lintas institusi, dan (iv) memastikan program pendidikan profesional untuk penyelenggaraan berbagai jenis layanan yang dibutuhkan dalam penanganan korban yang komprehensif;
- Aparat penegak hukum dan penyelenggara pemerintahan menghentikan budaya menyangkal dan menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual, termasuk dengan (a) menyelenggarakan pendidikan HAM dan gender bagi aparat negara dan aparatur negara, (b) mengembangkan mekanisme koreksi pada sikap yang memuat budaya penyangkalan dan menyalahkan perempuan korban, termasuk sanksi dengan pemberatan ketika sikap tersebut merintangi akses korban pada keadilan, dan (c) memperbanyak pendidikan publik agar masyarakat turut memberikan dukungan bagi korban;
- Segenap jajaran pemerintahan mendorong penegakan hukum dan pendidikan politik secara terstruktur untuk mengurai akar masalah dan dampak Tragedi Mei 1998, serta hambatan lainnya guna membangun kepercayaan komunitas korban, khususnya perempuan korban kekerasan seksual, pada komitmen tanggung jawab konstitusional negara pada hak atas keadilan dan rasa aman.
Kontak Narasumber:
Komisioner Komnas Perempuan
Andy Yentriyani
Theresia Sri Endras Iswarini
Mariana Amiruddin
Siti Aminah Tardi
LPSK
Livia Iskandar (Wakil Ketua)
Kontak Narahubung:
Chris (085771095678)
Sumber Foto: https://www.dw.com/id/mengenang-kerusuhan-mei-1998/g-43680117