...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Terhadap Pengesahan Revisi Kedua UU Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE)

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan catatan atas pengesahan Revisi UU di Sidang Paripurna DPR RI pada 5 Desember 2023. Dari segi formil, pembahasan dan akses terhadap dokumen sulit untuk diakses sehingga ruang partisipasi publik terbatas dan secara substansi masih terdapat ketentuan yang tidak sinkron dan harmonis dengan peraturan perundang-undangan, masih menimbulkan potensi multitafsir dan tidak memberikan jaminan hak-hak korban untuk mendapatkan layanan keadilan, penanganan dan pemulihan yang komprehensif. Karenanya, Komnas Perempuan merekomendasikan Pemerintah untuk memperbaharui SKB Tiga Menteri tentang Implementasi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan menajamkan interpretasi dan pemahaman tentang pengecualian pemidanaan pada perempuan korban kekerasan dan pembela HAM dan  memperkuat layanan terhadap perempuan korban yang sejalan dengan Right to Be Forgotten (RTBF) dan dilakukan dalam sistem yang terintegrasi dengan pelaporan.

Mariana Amiruddin Wakil Ketua Komnas Perempuan menyampaikan bahwa Revisi Kedua UU ITE terdaftar sebagai Prolegnas Jangka Menengah (2020-2024) di mana Pemerintah sebagai pihak pengusul dan dibahas secara intensif oleh Kemenkominfo RI dan Komisi I DPR RI pada 2023, hingga kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 5 Desember 2023. Masyarakat Sipil mencatat bahwa rapat dan konsinyering pembahasan Tim Perumus dan Tim Panja umumnya dilakukan secara tertutup dari publik. Draf naskah revisi kedua UU ITE ini pun sulit diakses publikmeski desakan masyarakat sipil sudah dilakukan. Komnas Perempuan juga telah menyampaikan Saran dan Masukan terhadap RUU Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik secara tertulis kepada Komisi I DPR RI dan Kemenkominfo RI pada Juli 2023.

“Komnas Perempuan mencatat selama kurun waktu 2017-2022 terdapat 4.749 pengaduan kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG)yang sebagian besar adalah ancaman dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual, yang mengakibatkan perempuan korban dipermalukan bahkan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE atau UU Pornografi. Komnas Perempuan memberikan saran dan rekomendasi agar penanganan, pelindungan dan pemulihan korban kekerasan siber menjadi kewajiban negara, dan sinkron dengan prinsip-prinsip hak korban dalam UU TPKS,”  papar Mariana Amiruddin dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan pada Kamis 22 Desember 2023.

Sementara Ketua Subkom Reformasi Hukum dan KebijakanSiti Aminah Tardi, menyampaikan sejumlah catatan ketidaksinkronan dengan KUHP dan UU TPKS, khususnya Pasal 27.  Rumusan norma pidana dan ancaman pidana UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat (1) terkait konten bermuatan melanggar kesusilaan dan Pasal 27 Ayat (3) kerap digunakan untuk mengintimidasi dan membungkam ekspresi perempuan korban hingga mengkriminalkan korban kekerasan kekerasan seksual, korban KDRT, korban KBGO hingga Perempuan Pembela HAM yang menyuarakan pendapat dan ekspresinya. Pasal 27 ayat (1) telah dicabut oleh Pasal 622 Ayat (1) dan jika akan dirumuskan dalam peraturan UU ITE rumusannya mengacu pada Pasal 407 KUHP. Namun Pasal 27 ayat (1) rumusan seperti ketentuan Pasal 27 ayat (1) sebelumnya dengan penambahan ‘terbuka untuk umum’.

“Ketentuannya yang sudah dicabut, tetapi tidak dirumuskan seperti acuan yang dimandatkan akan membingungkan aparat penegak hukum (APH) maupun masyarakat. Peluang baiknya dari revisi pasal 27 ayat (1) ini adalah adanya pengecualian pemidanaan jika penyebaran konten dilakukan demi kepentingan umum, membela diri, maupun konten untuk tujuan pendidikan, kesehatan budaya dan olahraga, “ jelasnya. 

Komisioner Tiasri Wiandani menyampaikan perubahan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik menjadi Pasal 27 A menjadi tindak pidana aduan dengan pengecualiaan tidak pidana jika dilakukan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri, pada satu sisi menjadi peluang perlindungan bagi korban KBG yang bersuara atas kekerasan yang dialaminya. Namun disisi lain tetap merentankan Perempuan Pembela HAM (PPHAM)  yang mengkritisi kebijakan publik atau melakukan pembelaan sumber daya alam atau pelanggaran HAM lainnya.

“Perempuan Pembela HAM tak hanya berpotensi dilaporkan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, tetapi juga berita bohong ketika berhadapan dengan pejabat publik yang memiliki kekuasaan penuh. Potensi pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan berpendapat lainnya juga ada pada Pasal 40yakni berkaitan dengan kewenangan Pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang bisa saja menyasar pada situs-situs yang dianggap mengganggu ketertiban umum, seperti situs untuk mengedukasi publik untuk isu-isu yang sensitif terkait isu seksualitas dan keberagaman”, pungkasnya.

 

Narahubung:

Siti Cotijah

Asisten Koordinator Partisipasi Masyarakat

HP/Email: 081317061186/siticotijah@komnasperempuan.go.id

 

Informasi lainnya tentang penyikapan ini dapat diunduh melalui tautan: https://bit.ly/PenyikapanRevisiKe2UUITE-KP

Tentang Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan lembaga hak asasi manusia nasional (LNHAM) yang dibentuk pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 181 Tahun 1998 dan diperbarui dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 65 Tahun 2005, dengan tujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakkan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia.

 


Pertanyaan / Komentar: