...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Menanggapi Peraturan Gubernur Jakarta No. 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian

Revisi UU Perkawinan untuk Perketat Pengaturan Beristri Lebih dari Satu sebagai Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

 

Jakarta, 18 Januari 2025

 

 

Merespons pertanyaan dari media masa atas sikap Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap Peraturan Gubernur Jakarta No. 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian (Pergub Jakarta 2/2025) yang saat ini menjadi perbincangan hangat di dalam masyarakat, Komnas Perempuan menegaskan:

 

  • Polemik tentang Pergub Jakarta 2/2025 menunjukkan kembali urgensi perubahan UU Perkawinan yang telah berusia 50 tahun sejak ia disahkan melalui UU No. 1 Tahun 1974, termasuk untuk memperketat pengaturan beristri lebih dari satu.
    • Meski asas perkawinan di Indonesia bersifat monogami (Pasal 3 ayat 1), UU Perkawinan memberikan peluang laki-laki untuk beristri lebih dari satu dengan berbagai syarat, ketentuan dan prosedur;
    • Sejalan dengan UU Perkawinan, Pergub Jakarta 2/2025 memperbolehkan praktik beristri lebih dari satu dengan alasan yang bersifat diskriminatif, yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat   cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan:
      • Alasan istri tidak dapat melakukan kewajibannya bersifat subjektif, kerap mengacu pada konstruksi masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, dengan peran-peran domestik pengasuhan dan perawatan yang seolah eksklusif menjadi tugas perempuan, dan cenderung mengabaikan kausalitas dalam tidak terselenggaranya tugas tersebut dalam relasi suami dan istri. Karenanya, penilaian subjektif ini cenderung merugikan perempuan;
      • Alasan tidak dapat melahirkan keturunan meneguhkan posisi subordinat perempuan di dalam masyarakat yang menempatkan penilaian pada kapasitas reproduksi perempuan;
      • Alasan cacat badan merupakan sikap diskriminatif berbasis abelitas terhadap perempuan penyandang disabilitas;
    • Pengaturan mengenai tata laksana Pasal 3 s/d 5 UU Perkawinan dielaborasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
    • Pergub Jakarta 2/2025 memberikan petunjuk teknis di lingkungan Provinsi Jakarta dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah tersebut di atas. Pergub 2/2025 yang ditandatangani pada 6 Januari 2025 ini terdiri dari 8 Bab dan 33 Pasal yang mengatur pelaporan perkawinan, izin beristri lebih dari seorang, izin atau keterangan perceraian, tim pertimbangan dan hak atas bagian penghasilan. Pergub ini merupakan pembaruan dari Keputusan Gubernur Nomor 2799/2004 tentang Pendelegasian Wewenang Penolakan/ Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan tertib administrasi proses pelaporan perkawinan, pemberian izin beristri lebih dari seorang, dan pemberian izin atau keterangan melakukan perceraian.
  • Praktik beristri lebih dari satu merupakan salah satu faktor penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan, dapat merupakan salah satu bentuk kekerasan di dalam rumah tangga dan juga tindak pidana kejahatan terhadap perkawinan:
    • Perkawinan poligami kerap diawali dari perselingkuhan,  yang mengakibatkan penderitaan psikologis dan juga penelantaran pada pasangan, termasuk dan tidak terbatas pada pemberian nafkah. Tindakan serupa ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik dan penelantaran;
    • Dari 3.079 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sejak UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan pada 2004,  setengahnya  adalah kasus kekerasan psikis. Sementara 16% adalah kasus penelantaran dan kekerasan ekonomi lainnya;
    • Pada tahun 2023, Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat 391.296 pengajuan perceraian; 701 di antaranya adalah dengan alasan poligami, 32.646 karena ditinggalkan salah satu pihak, dan 240.987 karena perselisihan terus-menerus. Baik penelantaran maupun perselisihan terus-menerus ditengarai terkait dengan isu perselingkuhan dan praktik beristri lebih dari satu;
    • Praktik beristri lebih dari satu sering kali sengaja tidak dicatatkan atau tidak prosedural karena dilakukan tanpa izin istri, tanpa izin atasan dan izin pengadilan. Praktik serupa ini merupakan tindak kejahatan perkawinan karena dengan sengaja tidak menginformasikan atau mengabaikan penghalang sah atas perkawinan lebih dari satu istri yang hendak ia lakukan;
    • Perselingkuhan atau perkawinan siri menjadikan perempuan baik sebagai istri maupun perempuan lainnya di dalam relasi tersebut menjadi korban maskulinitas laki-laki (suami). 
  • Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu diarahkan pada penguatan pelaksanaan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak konstitusional bagi perempuan atas pelindungan hukum,  atas bebas dari diskriminasi dan dari kekerasan, dengan antara lain:
    • Menghapus alasan yang bersifat diskriminatif dalam ketentuan tentang praktik beristri lebih dari satu;
    • Alasan beristri lebih dari satu perlu diperlakukan sebagai alasan yang bersifat kumulatif, bukan alternatif;
    • Penegasan pada keterhubungan ketentuan izin dari istri dan dari pengadilan dengan tindak pidana kejahatan terhadap perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini dan dalam Pasal 402-405 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP;
    • Penegasan keterkaitan pelaksanaan ketentuan tentang praktik beristri lebih dari satu dengan pengaturan dalam UU PKDRT, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan;
    • Penegasan pelaksanaan hak atas nafkah bagi istri dan anak dari pendapatan suami yang bercerai akibat perkawinan lebih dari satu. Perceraian tersebut terjadi karena praktik beristri lebih dari satu yang tidak mendapat izin dari istri maupun situasi dimana perkawinan-perkawinan tersebut mengakibatkan ketidakadilan.
  • Amanat konstitusional untuk memenuhi hak atas pelindungan hukum, bebas dari diskriminasi, dan atas rasa aman atau bebas dari kekerasan bagi perempuan di dalam perkawinan melalui pengaturan yang ketat pada praktik beristri lebih dari satu telah ditegaskan dalam  putusan Mahkamah Konstitusi NO. 12/PUU-V/2007. Putusan ini juga menegaskan bahwa pengaturan tersebut tidak bertentangan dengan hak kebebasan beragama warga negara.
  • Sementara revisi UU Perkawinan diajukan dan dibahas, pelaksanaan Pergub Jakarta 2/2025:
    • Harus diiringi dengan penegakan hukum untuk pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan dan pelaksanaan KUHP ketika ASN menikah walau diketahuinya ia memiliki halangan perkawinan yaitu masih terikat perkawinan, serta UU PKDRT;
    • Perlu mempertimbangkan komposisi gender dalam Tim Pertimbangan dan memastikan bahwa tim tersebut memiliki perspektif adil gender dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memeriksa dan mengenali kekerasan berbasis gender terhadap perempuan;
    • Memastikan pelaksanaan hak atas nafkah bagi istri dan anak pasca perceraian akibat atau terkait tindak perkawinan lebih dari satu istri.   

 

 

Narasumber:

1.    Andy Yentriyani

2.    Siti Aminah Tardi

3.    Alimatul Qibityah

4.    Maria Ulfah Anshor

5.    Imam Nahe'i 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: