...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Mendesak Penghentian Penggusuran Mandalika

”Komnas Perempuan Soroti Pelanggaran HAM oleh Negara dan Aktor Non-Negara”

Jakarta, 14 Juli 2025

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan keprihatinan serius atas perkembangan terbaru yang terjadi di Kawasan Tanjung Aan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pada 11 Juli 2025, warga kembali menerima Surat Peringatan (SP) yang ke-3, yang disampaikan oleh Vanguard, perusahaan pengamanan swasta, bersama aparat dari Badan Keamanan Desa (BKD) dan Kepolisian setempat. Surat tersebut menyebutkan bahwa warga hanya diberikan waktu tiga hari hingga 15 Juli 2025 untuk membongkar sendiri warung mereka, sebelum dibongkar secara paksa oleh petugas.

Konsep awal pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika ditujukan untuk pengembangan berwawasan lingkungan yang meningkatkan perekonomian daerah. Program ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengembangkan UMKM dengan melibatkan partisipasi aktif dan bermakna masyarakat lokal dalam proses pembangunan dan pengembangan KEK Mandalika.

Dalam pengaduan yang diterima Komnas Perempuan pada tanggal 23 Mei 2025, dan terupdate pada tanggal 16 Juni 2025 dan 19 Juni 2025, tercatat sejumlah persoalan mendasar terkait pelaksanaan program pengembangan KEK Mandalika yang berdampak serius terhadap hak-hak perempuan dan komunitas lokal, sebagai berikut:

  • Tidak dipenuhinya komitmen awal pengembangan PT Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (PT ITDC) selaku pelaksana proyek KEK Mandalika:
    • Rumah tinggal yang dijanjikan seluas 100 m² per kepala keluarga (KK) hanya direalisasikan dalam bentuk rumah kopel untuk dua keluarga.
    • Infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, layanan kesehatan, sekolah, dan akses pasar di lokasi relokasi tidak tersedia.
    • Janji penyediaan lapangan kerja tidak direalisasikan; warga justru kehilangan sumber penghidupan, terutama perempuan yang menggantungkan nafkah keluarga dari usaha mikro.
  • Berkurangnya ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat, dengan dampak yang signifikan terhadap perempuan:
    • Hilangnya warung sebagai sumber utama penghasilan perempuan dan tertutupnya akses terhadap laut, lahan pertanian, dan peternakan.
    • Akses ke wilayah pesisir termasuk tempat pelaksanaan tradisi budaya seperti nyale yang tertutup akibat pembangunan fisik proyek.
    • Pembongkaran atau ancaman pembongkaran paksa terhadap rumah dan tempat usaha tanpa dialog atau kompensasi adil.
    • Relokasi ke wilayah terpencil (seperti Bukit Silla) tanpa akses air bersih, layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang layak, menambah beban kerja domestik perempuan.
  • Kerusakan lingkungan hidup yang berdampak langsung terhadap kualitas hidup warga:
    • Krisis air bersih di lokasi relokasi akibat rusaknya sumber mata air dan saluran alami, memaksa warga membeli air untuk kebutuhan dasar.
    • Kerusakan ekosistem pantai dan laut akibat reklamasi, pembangunan dermaga, dan proyek resort, menghancurkan mata pencaharian nelayan dan perempuan pesisir.
    • Hilangnya vegetasi lokal dan lahan produktif tanpa kajian lingkungan yang transparan dan partisipatif.
    • Peningkatan risiko bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan akibat perubahan tata ruang dan hilangnya kawasan resapan.
  • Rendahnya literasi hukum dan bahasa Indonesia di kalangan perempuan terdampak, menyebabkan kesulitan memahami dokumen penggusuran, prosedur administratif, serta akses terhadap saluran pengaduan atau layanan hukum.
  • Indikasi dampak jangka panjang terhadap perlindungan kelompok rentan: 
    • Meningkatnya angka perkawinan anak (usia 13–15 tahun).
    • Putus sekolah di usia dini.
    • Anak-anak terlibat dalam pekerjaan informal sebagai pemulung atau pedagang asongan.
    • Migrasi paksa perempuan dewasa akibat kehilangan penghidupan.
  • Penggunaan pendekatan keamanan yang represif, termasuk pelibatan perusahaan keamanan swasta Vanguard dalam proses pengosongan lahan tanpa mekanisme pengawasan publik dan tanpa jaminan perlindungan terhadap warga sipil, khususnya perempuan.
  • Situasi ini mendorong warga terutama Perempuan untuk tetap bertahan di lahan yang mereka miliki, bukan sebagai bentuk perlawanan semata, melainkan sebagai satu-satunya pilihan untuk mempertahankan hidup, ruang aman, dan martabat di tengah absennya pemulihan hak dari negara dan pelaksana proyek.

Berdasarkan temuan tersebut, maka bersama ini Komnas Perempuan menyerukan Pemerintah Pusat dan Daerah, untuk segera menghentikan rencana penggusuran pada 15 Juli 2025, dan menjamin keselamatan serta perlindungan hak-hak dasar warga, khususnya perempuan dan anak;

Untuk selanjutnya, Komnas Perempuan merekomendasikan kembali agar seluruh pihak menindaklanjuti surat rekomendasi resmi Komnas Perempuan yang telah disampaikan pada 30 Juni 2025 kepada berbagai pihak, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM), Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (Kementerian Hilirisasi dan Investasi), Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (DPRD NTB), sebagai berikut:

  1. Penghentian segala bentuk intimidasi dan penggusuran paksa oleh aparat negara dan non-negara;
  2. Pemulihan hak-hak perempuan terdampak, termasuk layanan psikososial, bantuan ekonomi, dan akses terhadap informasi;
  3. Pengakuan administratif terhadap dusun-dusun terdampak, serta pelibatan bermakna perempuan dalam proses perencanaan kebijakan publik;
  4. Peninjauan ulang peran PT ITDC dan Vanguard dalam proyek ini atas dasar prinsip akuntabilitas HAM. Sebelumnya, pada 26 Juni 2025, Komnas Perempuan juga telah mengirimkan surat klarifikasi kepada PT ITDC dan Vanguard terkait surat pemberitahuan penggusuran pertama yang diterima oleh masyarakat, yang menyebutkan bahwa penggusuran akan dilakukan dalam waktu 14 hari kalender. Klarifikasi ini diajukan untuk meminta penjelasan mengenai dasar hukum, prosedur, dan mitigasi risiko kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan. Namun hingga kini, belum ada balasan maupun tindak lanjut yang berarti dari kedua pihak, serta tidak ada perubahan signifikan dalam pendekatan atau kebijakan yang dilakukan di lapangan.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa praktik penggusuran paksa yang tidak mematuhi prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, partisipasi, serta perlindungan terhadap kelompok rentan, merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi Indonesia dan bertentangan dengan berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional yang telah diratifikasi oleh negara, termasuk Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), serta United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM).

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: