“Wujudkan Fasilitas Kesehatan sebagai
Ruang Publik yang Aman dan Bebas dari Kekerasan Seksual”
Jakarta, 21 Mei 2025
Komisi
Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan
keprihatinan dan mengecam maraknya perkosaan dan kekerasan seksual yang terjadi
di fasilitas kesehatan. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak
atas rasa aman, hak atas kesehatan, dan hak atas perlakuan bermartabat. Rentetan
kejadian ini yang terungkap belakangan ini, mulai dari pemerkosaan oleh Dokter
Residen di Bandung, pelecehan seksual oleh Dokter di Garut, Malang dan Jakarta,
kembali memperlihatkan bahwa fasilitas layanan kesehatan yang seharusnya
menjadi ruang aman ternyata terabaikan,
dan menjadi ancaman terjadinya kekerasan seksual, bahkan oleh tenaga medis dan
tenaga kesehatan yang memiliki posisi kuasa keilmuan dan profesi serta
kepercayaan di mata publik.
Komnas
Perempuan menegaskan bahwa kekerasan seksual di sektor kesehatan merupakan
bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, etika profesi, serta kepercayaan
publik terhadap layanan kesehatan.
Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir
(2020–2024), terdapat setidaknya 11 kasus kekerasan seksual di fasilitas
kesehatan yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kasus-kasus tersebut
melibatkan pelaku dari berbagai latar belakang tenaga medis termasuk dokter
umum, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan yakni perawat. Adapun jenis-jenis
kekerasan yang dilaporkan antara lain pelecehan seksual fisik dan perkosaan.
Pelaku menyalahgunakan kekuasaan, keilmuan dan keterampilan profesinya, ruang
tertutup yang tidak terpantau, serta lemahnya sistem pengawasan internal di
fasilitas kesehatan.
Komnas
Perempuan memandang bahwa maraknya kekerasan seksual di fasilitas layanan
kesehatan mencerminkan persoalan sistemik yang serius, yakni belum terbangunnya
sistem perlindungan yang memadai bagi pengguna layanan kesehatan. Ketiadaan
mekanisme pencegahan dan penanganan, lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan
etika profesi, budaya diam dan tutup mata serta impunitas terhadap pelaku,
turut memperkuat keberulangan kekerasan. Situasi ini akan berdampak menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap fasilitas layanan kesehatan sebagai ruang publik yang seharusnya aman khususnya bagi pasien maupun
keluarganya..
Komnas
Perempuan mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan dengan tegas mengatur bahwa setiap individu berhak memperoleh layanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan bebas dari kekerasan. UU ini juga memuat
prinsip penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, serta kewajiban
tenaga medis/kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak pasien.
Selain
itu, Komnas Perempuan menegaskan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan
memiliki kewajiban hukum dan etik untuk menjadikan fasilitas kesehatan sebagai
ruang yang aman dari kekerasan seksual. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2018 yang menekankan pentingnya penghormatan
terhadap martabat pasien, perlindungan atas privasi, serta kewajiban menjaga
keselamatan seluruh pengguna layanan. Kewajiban ini diperkuat oleh Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur standar
disiplin dan perilaku profesional yang harus dijunjung tinggi oleh setiap
dokter. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS) menetapkan kerangka hukum yang komprehensif untuk
pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual di semua ruang,
termasuk fasilitas kesehatan sebagai ruang
publik.
Fasilitas
kesehatan, sebagai bagian dari layanan publik, harus memastikan sistem yang
menjamin tidak hanya standar medis, tetapi juga perlindungan dari segala bentuk
kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan UU dan
peraturan tersebut tidak hanya mencederai korban secara personal, tetapi juga
melanggar mandat konstitusional negara dalam menjamin hak atas rasa aman,
keadilan, dan pelayanan kesehatan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, memperoleh pelayanan kesehatan. Dan Pasal
28 G setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta bendanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
Komnas
Perempuan menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan di sektor kesehatan
untuk menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual ini sebagai peringatan keras
sehingga perbaikan dan transformasi di fasilitas kesehatan segera diwujudkan.
Fasilitas kesehatan seharusnya menjadi ruang aman dan menghadirkan penghormatan
terhadap martabat setiap pengguna dan orang yang berada di dalamnya, serta
bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Perlindungan menyeluruh
terhadap korban, penegakan etika profesi yang tegas, serta akuntabilitas
lembaga harus diwujudkan untuk menghadirkan sistem kesehatan yang adil,
responsif gender, inkusif dan menjunjung hak asasi manusia. Komnas Perempuan
menegaskan pentingnya pendekatan yang sistemik dan transformatif dalam mencegah
dan menangani kekerasan seksual di fasilitas kesehatan, demi menjamin
perlindungan yang adil dan menyeluruh bagi korban.
Oleh
karena itu Komnas Perempuan menyampaikan sikap dan rekomendasi sebagai berikut:
- Menyatakan dukungan penuh kepada
para korban yang telah bersuara dan mendorong korban lainnya untuk melapor
dan mendapatkan hak-haknya yang telah dijamin dalam berbagai aturan
perundang-undangan yang ada.
- Menolak “impunitas terselubung” yang
menyederhanakan kekerasan seksual sebagai tindakan individu semata atau
perbuatan “oknum”. Hal ini mengaburkan akar struktural dari kekerasan
seksual yang disebabkan oleh oleh relasi kuasa yang timpang, budaya
patriarki yang mengakar, serta lemahnya akuntabilitas dalam institusi,
termasuk di dunia medis.
- Mendorong pemerintah dan semua pihak
terkait untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mencakup hak atas pendampingan
hukum dan psikologis, pemulihan fisik dan mental, restitusi dan
kompensasi, serta perlindungan dari stigma, diskriminasi, dan
reviktimisasi sepanjang proses hukum maupun setelahnya.
- Mendorong Kementerian Kesehatan
untuk menetapkan kebijakan nasional tentang Kawasan Bebas Kekerasan
Seksual dan zona integritas di
semua fasilitas kesehatan, yang mencakup pengembangan mekanisme pencegahan
dan penanganan dengan pendekatan berbasis hak dan berpusat pada korban.
Langkah-langkahnya meliputi: penyusunan kebijakan yang jelas dan selaras
dengan standar nasional dan internasional seperti Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) dan pedoman WHO, mekanisme pelaporan yang aman, mudah
diakses, rahasia, serta melindungi pelapor dari intimidasi dan pembalasan,
SOP pencegahan dan penanganan pengaduan
yang berpusat pada korban, pelatihan rutin tentang dinamika relasi
kuasa dalam profesi dan isu kekerasan seksual.
- Mendesak aparat penegak hukum untuk
menjalankan proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual secara
transparan, cepat, dan berpihak pada korban, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(UU TPKS). Komnas Perempuan juga menegaskan bahwa penyelesaian kasus
kekerasan seksual tidak boleh dilakukan melalui mekanisme non-yudisial
seperti restorative justice,
karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan bagi korban serta
dapat mengabaikan pemulihan menyeluruh yang menjadi hak korban menurut UU
TPKS Pasal 23 yang berbunyi "Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual
tidak dapat dilakukan penyelesaian diluar luar proses peradilan, kecuali
terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang’’.
- Mendorong organisasi profesi kedokteran dan
tenaga kesehatan untuk memperkuat sistem etik dan disiplin internal,
termasuk membentuk mekanisme khusus untuk pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual yang berpihak pada korban.
Narasumber:
- Ratna Batara
Munti
- Yuni
Asriyanti
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)