Pernyataan Sikap Komnas
Perempuan
tentang Dugaan Tindak
Kekerasan Seksual Pada 3 Anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan
URGENSI PERBAIKAN SISTEM PEMBUKTIAN KASUS
KEKERASAN SEKSUAL
BAGI KEADILAN DAN PEMULIHAN KORBAN
Jakarta, 18 Oktober 2021
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa penyikapan
awal pada kasus dugaan kekerasan seksual pada 3 anak di Luwu Timur, Sulawesi
Selatan menunjukkan kebutuhan mendesak perbaikan sistem pembuktian kasus
kekerasan seksual. Sebagai langkah koreksi, penanganan kasus ini juga perlu dilakukan secara komprehensif,
mengedepankan pemenuhan hak-hak korban atas keadilan dan pemulihan,
berperspektif anak, perempuan dan penyandang disabilitas. Termasuk di dalamnya,
adalah menghentikan kriminalisasi pada pelapor maupun terhadap media yang
memberitakan upaya warga memperjuangkan keadilan.
Hal ini disampaikan oleh Komnas Perempuan
menyikapi perkembangan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap 3 anak di Luwu
Timur, 2 di antaranya adalah anak perempuan. Atas desakan masyarakat, Pihak
kepolisian telah menerbitkan laporan Model A untuk mendalami kasus pada rentang
waktu 25-31 Oktober 2019. Desakan publik muncul setelah pada awal Oktober 2021,
ProjectMultatuli.org melansir tulisan bertajuk “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya
Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan” tentang kekerasan seksual
terhadap tiga orang anak di Luwu Timur. Penting mencatat bahwa setelah tulisan
itu viral di media sosial dan kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak
tersebut menjadi sorotan publik, situs
web Projectmultatuli.org diretas dengan serangan Ddos disertai
"klarifikasi" yang menyebutkan
secara gamblang nama ibu para korban, direct
message terhadap pembaca yang turut membagikan berita dengan informasi
bahwa pemberitaan tersebut adalah hoaks.
Komnas Perempuan memberikan perhatian serius
terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan (KTAP) yang dalam
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan selalu berada dalam tiga teratas
untuk kekerasan di ranah rumah tangga. Pada 2020 tercatat KTAP dengan 954
kasus, di antaranya inses dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Hal
ini menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak berada dalam situasi tidak aman
dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat. Kekerasan seksual dalam lingkup
keluarga memiliki dampak khas dan berat terkait adanya relasi emosi antara
korban dan pelaku sehingga dibutuhkan kecermatan dan kehati-hatian dalam
penanganannya.
Sebelum kasus ini mencuat ke publik, pada 13 Juli
2020, Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari Koalisi Bantuan Hukum
Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak, selaku kuasa hukum ibu dari para
korban, yaitu Anak Korban I (perempuan, 7 tahun), Anak Korban II (laki-laki, 5 tahun), dan Anak Korban III (perempuan, 3
tahun). Dalam pengaduan ini disampaikan bahwa
Kepolisian Resort Luwu Timur
dalam proses penyelidikan terhadap laporan 3 anak tersebut menyimpulkan
“tidak ditemukan 2 (dua) alat bukti yang cukup” terjadinya tindak pidana
kekerasan terhadap anak sesuai Pasal 76E subpasal 82 UU No. 17 Tahun 2016
tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan analisa terhadap
dokumen-dokumen yang disampaikan pengadu, Komnas Perempuan menerbitkan Surat
Rekomendasi No: 060/KNAKTP/Pemantauan/Surat Rekomendasi/IX/2020 tertanggal 22
September 2020 yang intinya merekomendasikan agar melanjutkan kembali penyelidikan peristiwa
pidana.
Atas surat rekomendasi tersebut, Polres Luwu
memberikan jawaban melalui Surat Nomor: B/500/X/Res 1.24/2020 Perihal
Penjelasan atas Penanganan Laporan Pengaduan Sdri. XXX tentang Dugaan Tindak
Pidana Cabul terhadap Anak tertanggal 05 Oktober 2020. Juga, Polda Sulawesi
Selatan melalui surat Nomor: B/780/X/RES.7.5/2020/Ditreskrimun Perihal
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) tertanggal 27
Oktober 2020. Kedua surat tersebut menyampaikan bahwa “…Proses penyelidikannya karena belum ditemukan bukti
permulaan yang cukup atau belum ditemukan 2 (dua) alat bukti yang cukup, dan
apabila di kemudian hari ditemukan bukti baru, maka kasus tersebut dapat dibuka
kembali…” disertai hasil assessment P2TP2A Kabupaten Luwu Timur,
Pemeriksaan psikologis ke tiga anak, Visum et Repertum (VER), pemeriksaan
psikiater terhadap Ibu Korban, terlapor dan hasil penyelidikan.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemeriksaan
kasus ini haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA). Termasuk di
dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual; di
antaranya Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua
dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau
Pekerja Sosial. Dalam kasus ini, diinformasikan bahwa anak-anak tidak
didampingi oleh Ibu Korban atau setidak-tidaknya oleh orang yang dipercaya oleh
Anak Korban. Sementara itu, permintaan Ibu Korban dan kuasa hukum untuk rekam
medik dari dokter anak yang merawat dan
telah mengeluarkan diagnosa bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan
vagina akibat kekerasan terhadap anak tidak dikabulkan.
Komnas Perempuan juga mencermati adanya
bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan. Dalam proses penyelidikan awal, dokter
yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak
kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai Ahli. Demikian halnya assessment yang dilakukan P2TP2A
Sulawesi Selatan di Makassar yang dalam laporan psikologisnya menyebutkan
ketiga anak “tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas” ketiganya secara
konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami
kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya. Tidak optimalnya
pengumpulan barang-barang bukti dan alat bukti menyebabkan keputusan
penghentian penyelidikan tersebut dipertanyakan oleh Ibu Korban dan Tim Kuasa
Hukum.
Pada konteks ini sistem pembuktian yang diatur
dalam hukum acara pidana (KUHAP) seperti halnya kasus-kasus kekerasan seksual
lainnya, menjadi hambatan utama korban untuk mendapatkan keadilan. Pasal 184
KUHAP, menyatakan alat bukti yang sah ialah (i) keterangan saksi; (ii)
keterangan ahli, (iii) surat, (iv) petunjuk dan (v) keterangan terdakwa. Selanjutnya
Pasal 185 Ayat 7 dinyatakan bahwa: Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai antara satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti,
namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan keterangan dari saksi yang tidak disumpah yaitu: (a) anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; (b) orang
sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali
(Pasal 171 KUHAP). Dalam kasus ini keterangan anak korban I, II dan III karena
usianya di bawah 15 tahun tidaklah
disumpah. Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu Ibu Korban yang berdasarkan
pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan
bagian dari disabilitas mental, yang
dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah.
Di sisi lain, hasil Visum et Repertum (VeR) menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana, diikuti dengan
Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP).
Padahal, hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang
dilakukan. Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya.
Bila terlambat beberapa hari, atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan
VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai
dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan. Pada VeR yang
terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah
beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan
terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah
kejadian. Demikian juga halnya dengan VeRP
yang terlalu lama dari saat kejadian. Hasilnya akan dipengaruhi oleh status
kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian
menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari
keterlambatan penanganan kasusnya. Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa
pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan.
Dalam perkembangan kasus Luwu Timur, terutama
pasca pemberitaan yang menjadi viral, ada kesan bahwa hasil VeRP terhadap Ibu korban justru digunakan untuk melemahkan kesaksian pada
kasus tersebut. Padahal, kondisi ini mungkin terjadi sebagai dampak psikologi
sehingga perlu didukung pemulihannya. Kondisi mental seseorang juga tidak boleh
menjadi dasar penghentian penyelidikan atau penghakiman terhadap kondisi
kesehatan mental. Merujuk pada UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, secara tegas dinyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak atas
Hak keadilan dan perlindungan hukum di antaranya perlakuan yang sama di
hadapan hukum dan sebagai subyek hukum (Pasal 9). Penegak hukum sebelum
memeriksa Penyandang Disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran
dari (a) dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan;(b)
psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan; dan/atau; (c) pekerja sosial mengenai kondisi psikososial (Pasal 30 Ayat (1).
Pertimbangan atau saran digunakan untuk memastikan pada saat pemeriksaan, saksi
tidak dalam masa kekambuhan sehingga keterangannya setara kekuatannya dengan
non-penyandang disabilitas. Dengan demikian, proses pemeriksaan keterangan
penyandang disabilitas dapat dilakukan namun harus dengan perlakuan khusus.
Hambatan yang dialami dalam kasus ini menjadi
gambaran pentingnya pembaruan hukum acara pidana, khususnya pembuktian kasus
kekerasan seksual. Pembaruan ini dapat diatur dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (RUU TPKS), yang menjamin keterangan korban atau saksi orang dengan
disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau
saksi non-disabilitas, dan ketentuan
saksi yang tidak disumpah dalam KUHAP dikecualikan terhadap keterangan korban
atau saksi anak dan/atau orang dengan disabilitas. Demikian halnya
"klarifikasi" yang menyebutkan nama ibu para korban menunjukkan
pentingnya jaminan hak saksi dan korban kekerasan seksual atas perlindungan
identitas pribadi dan sanksi kepada pihak-pihak yang menginformasikan dan
menyebarluaskan identitas saksi dan korban. Penting juga diingat bahwa penyebutan
nama orang tua pada kasus anak korban kekerasan seksual merupakan pelanggaran
terhadap UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Sedangkan peretasan dalam bentuk serangan Ddos ke
web Projectmultatuli.org, dan tudingan pemberitaan sebagai hoaks,
Direct Message (DM) terhadap
pembaca yang turut membagikan berita, Komnas Perempuan menilai hal ini sebagai
pelanggaran hak atas kebebasan pers dan hak atas informasi yang dijamin dan
dilindungi oleh konstitusi. UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik telah memberikan
panduan tentang hak jawab dan hak koreksi untuk setiap keberatan terhadap
produk jurnalistik. Demikian halnya setiap warganegara berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F UUD 1945), termasuk
pemberitaan tentang kekerasan seksual. Pengiriman DM secara tidak langsung akan
menyebabkan upaya-upaya mendukung korban dan pendidikan publik untuk
penghapusan kekerasan terhadap perempuan terbatasi dan terhambat.
1.
Mendukung
Kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan kasus ini dengan berpedoman pada
kepentingan terbaik bagi anak, memberikan perlakuan khusus dalam pengumpulan
alat bukti sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan
Pidana Anak dan UU Penyandang Disabilitas. Proses ini dapat dilakukan dengan
menghadirkan Ahli-Ahli yang dapat membantu pembuktian;
2.
Merekomendasikan
Kepolisian untuk:
2.1 Mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti
lain, mengingat adanya bukti yang belum
diperiksa dan melengkapinya dengan ahli-ahli yang kompeten di isu kekerasan
terhadap anak,
2.2 Memberikan penjelasan yang mendidik masyarakat
terkait keterbatasan hukum pembuktian terkait keterangan saksi yang tidak
disumpah daripada memberikan penilaian pemberitaan kasus ini sebagai hoaks,
2.3 Mengutamakan pemeriksaan kasus dugaan kekerasan
seksual terhadap anak dari laporan sangkaan pencemaran nama baik melalui ITE
terhadap Ibu Korban,
2.4 Menggunakan hak jawab dan hak koreksi atas setiap
pemberitaan atau produk jurnalistik yang terkait dengan pelayanan Polri,
2.5 Memeriksa serangan siber berupa Dsos dan
penyebaran data pribadi saksi;
3.
Meminta
Menkoinfo untuk menghapus konten dan pemberitaan yang memuat data pribadi saksi
kasus ini, sebagai bagian dari pemulihan korban dan pemenuhan hak anak yang
tidak dapat dilepaskan dari ibunya;
4.
Mendukung
Kementerian PPA untuk memfasilitasi pendampingan dan pemulihan saksi dan korban
kasus ini;
5.
Merekomendasikan
Kompolnas dan KPAI untuk mengawasi proses pemeriksaan kembali kasus ini dengan
memastikan perlakuan khusus untuk anak dan penyandang disabilitas diterapkan
secara ketat;
6.
Mengapresiasi
dan mendukung langkah jurnalis dan media yang turut mengupayakan akses keadilan
dan pemulihan bagi korban;
7.
Mengimbau
jurnalis dan media untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta pedoman liputan
ramah anak dalam memberitakan kasus ini dengan tidak menuliskan identitas/nama
hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya
sebagai pelapor;
8.
Mengimbau masyarakat agar mendukung korban dan Ibu korban untuk mendapatkan
keadilan dan pemulihan dengan tidak memberikan stigma, menyebarluaskan data
saksi dan korban dan tidak mengkriminalkan upaya korban dalam mendapatkan
keadilan;
9.
Mendesak DPR
RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual dengan memastikan adanya terobosan hukum dalam hal
pembuktian, termasuk dengan menggunakan pembelajaran dari kasus Luwu Timur ini.
Narasumber
Siti Aminah Tardi
Rainy M Hutabart
Theresia Iswarini
Retty Ratnawati
Tiasri Wiandani
Andy Yentriyani
Narahubung:
Chrismanto
Purba, chris@komnasperempuan.go.id