...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan tentang Penghapusan Praktik Sunat Perempuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan

Pastikan Implementasi Penghapusan Praktik Sunat Perempuan untuk Semua Lapis Usia

 

Jakarta, 27 Agustus 2024

 


  • Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 Peraturan Pelaksana Undang-Undang    No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). Komnas Perempuan mendorong agar kebijakan penghapusan sunat perempuan  tidak hanya  untuk bayi, balita dan anak prasekolah, tapi juga berlaku pada perempuan di semua umur. 


  • Komnas Perempuan mencermati bahwa kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan merupakan bagian dari upaya kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup dan diarahkan pada usia bayi, balita, dan anak prasekolah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 100-102 PP Kesehatan.
    • Untuk target usia tersebut, Pasal 102 menyatakan upaya kesehatan sistem reproduksi perlu mencakup sekurangnya langkah a) menghapus praktik sunat perempuan; b) mengedukasi balita dan anak prasekolah agar mengetahui organ reproduksinya; c) mengedukasi mengenai perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan ; d) mengedukasi untuk menolak sentuhan terhadap organ reproduksi dan bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh; e) mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat pada organ reproduksi; dan f) memberikan pelayanan klinis medis pada kondisi tertentu   
  • Mengacu pada Permenkes Nomor 1636/PER/MENKES/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan, khususnya Bab I Pasal 1 Ayat (1) sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sunat perempuan atau mutilasi alat kelamin perempuan sebagai segala prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin wanita bagian luar atau cedera lain pada alat kelamin perempuan karena alasan non-medis. Komnas perempuan mengadopsi terminologi ‘pemotongan/pelukaan genitalia perempuan (P2GP)’ yang diperkenalkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dana Kependudukan (UNFPA) guna mendeskripsikan praktik yang dimaksud. 


  • Sejumlah kajian menunjukkan bahwa sunat perempuan kerap dipraktikkan di Indonesia dengan cara yang beragam:
    1. Kajian Komnas Perempuan dan PSKK UGM (2017) yang kemudian dituangkan dalam Risalah Kebijakan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan: Praktik di 10 Provinsi (2018) ini menemukan bahwa umumnya P2GP dilakukan pada usia anak, terbanyak rentang 1-5 bulan (72,4%), disusul 1-4 tahun (13,9%), 0 bulan (5,3%), 6-11 bulan (5,1%), 5-11 tahun (3,3%).   
    2. Data SPHPN 2021 menunjukkan bahwa ada sekitar 21,3% anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama menjalankan praktik sunat perempuan kriteria WHO atau dengan adanya pemotongan atau pelukaan dan sekitar 33,7%   sunat perempuan dilakukan secara simbolis. 
    3. Pada tahun 2024, hampir 4,4 juta anak perempuan – lebih dari 12.000 setiap hari – berisiko mengalami praktik ini di seluruh dunia.

    • Lebih jauh penelitian Komnas Perempuan Bersama PSKK UGM (2017)    menunjukkan bahwa 92%    alasan keputusan orang tua dipengaruhi oleh pemahaman agama mengenai sunat perempuan sebagai perintah agama. Padahal, hasil kajian Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI, 2022) menunjukkan ada berbagai tafsir keagamaan dalam Islam mengenai sunat perempuan. KUPI juga telah mengeluarkan fatwa bahwa P2GP tanpa alasan medis adalah haram. 


    • Penelitian Komnas Perempuan    dan PSKK UGM juga menemukan bahwa ada cara pandang orang tua bahwa sunat perempuan bermanfaat bagi anak perempuan. Padahal bukti-bukti dari sisi medis menunjukkan bahwa praktik sunat perempuan  justru  memberi dampak membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental dari anak perempuan.   Secara khusus praktik sunat perempuan dengan memotong jaringan atau bagian dari organ tubuh yang sehat dapat menimbulkan infeksi, kerusakan organ reproduksi dan permasalahan kesehatan jangka panjang bagi anak perempuan, bahkan kematian karena pendarahan. 


    • Praktik sunat perempuan yang masih terjadi  di Indonesia  sampai saat ini, baik yang bersifat simbolis maupun yang menyebabkan pelukaan dan pemotongan pada genitalia perempuan, memiliki dasar pemikiran dan pendekatan  yang diskriminatif berbasis gender. Kajian Komnas Perempuan di Gorontalo pada tahun 2023, misalnya, mencatat bahwa alasan melakukan sunat bagi anak perempuan adalah juga untuk menghilangkan dosa waris yang sudah melekat pada diri perempuan seperti sikap binal, selingkuh dan menentang suami. Hal ini berbeda dengan sunat pada anak laki-laki yang mempunyai alasan positif demi kesehatan dan kenikmatan seksual. Selain itu, praktik sunat perempuan dilakukan dengan cara beragam tanpa terlalu memperhatikan aspek kesehatan dan kebanyakan pada saat usia anak  di bawah dua tahun sehingga anak belum dapat ditanya kesediaannya. Sedangkan khitan laki-laki dilakukan dengan alat-alat yang steril dan rata-rata dilakukan ketika anak sudah berusia di atas 10 tahun ketika sudah dapat ditanyakan kesediaan dan kesiapan untuk disunat. 


    • Kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan menguatkan j aminan konstitusional  pada  perlindungan dari diskriminasi berbasis gender dan hak atas kesehatan yang tentunya mencakup pula hak kesehatan reproduksi semua orang dewasa maupun anak-anak . Jaminan konstitusional ini  dapat ditemukan pada Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 


    • Kebijakan tersebut di atas juga sejalan dengan  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) .   Pasal 1 butir 2 UU tersebut, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.  Juga, sejalan dengan  UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 58 ayat (1)  yang  mengamanatkan bahwa seorang anak berhak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan baik fisik maupun mental.


    • Kebijakan penghapusan praktik sunat perempuan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam Tujuan 5, Target 5.3 , yaitu  menghilangkan semua praktik berbahaya, seperti pernikahan anak, dan pernikahan paksa, serta sunat perempuan. Kebijakan ini juga  sejalan dengan komitmen negara pada pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dalam  Undang-Undang No. 7  Tahun 1984 , khususnya :
      1. Pasal 12 CEDAW menyebutkan penghapusan diskriminasi di bidang pemeliharaan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan Keluarga Berencana. 
      2. Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 14  yang menyerukan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dan efektif untuk memberantas praktik sunat perempuan.
    • K ebijakan penghapusan praktik sunat perempuan adalah salah satu bukti kemajuan upaya pemenuhan HAM oleh Indonesia. Selain komitmen pada CEDAW, penghapusan praktik sunat perempuan juga berkontribusi pada pelaksanaan komitmen negara atas :
      1. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) yang telah diratifikasi dalam UU No. 5 Tahun 1998; 
      2. Konvensi Hak-hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi dalam   Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990;  
      3. Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005 dan 
      4. Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang diratifikasi dalam UU No. 11 Tahun 2005.   

    • Hal ini karena pengaturan tersebut dapat mencegah adanya tindak pemaksaan, pengucilan, dan pelecehan serta diskriminasi sehingga mengakibatkan penderaan dan penderitaan luar biasa karena dampak dari praktik sunat perempuan tersebut.  Pada berbagai  K ovenan  dan Konvensi  tersebut, Indonesia sebagai Negara Pihak telah mendapatkan sejumlah rekomendasi untuk melakukan langkah penghapusan, kriminalisasi dan pencegahan terhadap praktik sunat perempuan. Sebagai anggota PBB yang telah mengalami 4 siklus  Universal Periodic Review, Indonesia juga secara rutin mendapatkan rekomendasi untuk penghapusan sunat perempuan. 


    • Kebijakan penghapusan sunat perempuan sejalan dengan amanat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang  melarang tindak  penyiksaan seksual. Secara universal berbagai mekanisme HAM telah merekomendasikan praktik berbahaya seperti P2GP, termasuk sunat perempuan, untuk segera dihapuskan karena praktik tersebut lahir dari pemikiran yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengakibatkan penderaan yang berkepanjangan. Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Anti Penyiksaan (2016) menerapkan Konvensi CAT pada pengalaman perempuan dalam konteks praktik berbahaya seperti P2GP. 


    • Komnas Perempuan mengingatkan agar  road map  pencegahan sunat perempuan (sering disebut Pencegahan P2GP) yang menyasar berbagai elemen benar-benar dijalankan dengan baik dan ada langkah nyata dan terukur dalam implementasinya, utamanya pada:
      1. KEMENPPA: Melakukan koordinasi antar Kementerian dan Lembaga yang wewenangnya terkait pencegahan sunat perempuan;
      2. KEMENKES: a) Melakukan pendidikan publik tentang bahaya sunat perempuan dari sudut pandang kesehatan melalui nakes, b) mengintegrasikan bahaya sunat perempuan ke dalam kurikulum Lembaga Pendidikan Kedokteran, Kesehatan, dan Kebidanan, c) mengembangkan kebijakan dan mekanisme    yang melarang keras tenaga kesehatan dan lembaga layanan kesehatan untuk memberikan layanan sunat perempuan, d) mengaplikasikan larangan sunat perempuan pada semua lapis usia;
      3. KEMENAG: Melakukan pendidikan publik dari sudut pandang agama melalui penyuluh agam dan mengintegrasikan bahaya sunat perempuan ke dalam pendidikan agama dan dalam modul pembinaan perkawinan calon pengantin.
      4. KEMENDIKBUD: Membangun budaya nir sunat perempuan melalui pendidikan dengan mendukung integrasi bahaya sunat perempuan ke dalam mata pelajaran di sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi umum
      5. KEMENDAGRI: Mendukung pencegahan sunat perempuan dengan melarang pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan yang mendukung sunat perempuan
      6. BAPPENAS: Mengintegrasikan pencegahan sunat perempuan sebagai salah satu strategi pembangunan dalam RPJM dan memantaunya dalam target capaian SDGs.
      7. BPS: Mengintegrasikan pencegahan sunat perempuan sebagai salah satu indikator SDGs Indonesia.
      8. Komnas HAM dan KPAI:  mengembangkan kerjasama dengan Komnas Perempuan dalam m elakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan yang melarang  praktik  sunat perempuan.


      Narasumber:

      1. Andy Yentriyani
      2. Alimatul Qibtiyah 
      3. Theresia Iswarini
      4. Satyawanti Mashudi

      Narahubung: Elsa Faturahmah  (081389371400)


      Pertanyaan / Komentar: