...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Tentang Pernyataan Presiden Republik Indonesia tentang 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan

Tentang Pernyataan Presiden Republik Indonesia tentang 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

 

Pelibatan Substantif dan Perhatian Khusus Pada Kerentanan dan Kebutuhan Spesifik  Perempuan Korban, terutama Penyintas Kekerasan Seksual, dalam Peristiwa Pelanggaran HAM Berat

 

16 Januari 2023

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik pernyataan pengakuan dan penyesalan Presiden Republik Indonesia atas 12 peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu. Pernyataan tertanggal 11 Januari 2023 ini didasarkan pada laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (Tim PPHAM). Komnas Perempuan menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan tindak lanjut nyata untuk pemulihan korban, rekonsiliasi warga dan mencegah keberulangan, serta untuk terus mendorong penyelesaian yudisial guna memutus impunitas.  

Komnas Perempuan juga mengingatkan agar dalam tindak lanjut, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada kerentanan dan kebutuhan spesifik perempuan, terutama korban kekerasan seksual. Dari Ringkasan Eksekutif Tim PPHAM tercantum pengakuan tentang perkosaan dan kekerasan seksual lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai tindakan yang merupakan bagian dari tindakan pelanggaran HAM yang berat. Komnas Perempuan mencatat bahwa sejumlah perempuan korban telah menjadi  lansia dan penyandang disabilitas dan tanpa dukungan dari pihak manapun. Karenanya, pendataan terpilah para korban  pelanggaran HAM masa lalu termasuk perempuan dan lansia, perlu dilakukan sebagai langkah konkret awal pemenuhan hak-hak korban. Komnas Perempuan juga mengenali bahwa sejumlah perempuan korban kekerasan seksual dalam pelanggaran HAM Berat, seperti dalam kasus Tragedi Mei 1998, masih takut dan enggan untuk diidentifikasi. Karenanya, dibutuhkan proses-proses penguatan pada jaminan pelindungan dan dukungan bagi saksi dan korban, maupun komunitas terdampak, dengan pendekatan formal maupun kultural  sehingga tidak hanya terbatas pada lembaga yang berwenang untuk itu.

Untuk mengenali lebih dalam mengenai kerentanan dan kebutuhan spesifik perempuan korban, pemerintah dapat mengacu pada laporan pemantauan Komnas Perempuan. Sebagai lembaga nasional HAM, Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan pada kondisi perempuan dalam berbagai peristiwa yang berindikasi pelanggaran HAM Berat. Pemantauan ini menyasar pada perempuan korban baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya mengenai perkosaan dan kekerasan seksual lainnya, stigmatisasi, penghilangan hak-hak sipil politik dan sosial ekonomi dan perampasan properti, serta dampak penderitaan atas penculikan dan penghilangan paksa anggota keluarganya. Termasuk di dalam laporan pemantauan itu adalah yang terkait dengan peristiwa 1965, Tragedi Mei 98, dan peristiwa Rumah Geudong di Aceh 1989. 

Komnas Perempuan juga mendorong pemerintah untuk melibatkan komunitas korban, khususnya perempuan penyintas, dengan pendekatan partisipasi substantif dalam menindaklanjuti rekomendasi tim PPHAM. Selama lebih dua dekade, Komnas Perempuan bekerja bersama komunitas korban, khususnya perempuan penyintas, untuk menguatkan akses pemulihan dan membangun memorialisasi/memorabilia dengan dukungan dari pemerintah-pemerintah daerah. Hasil pemantauan dan refleksi kerja bersama ini juga telah disampaikan kepada berbagai otoritas nasional dan daerah dalam bentuk rekomendasi kebijakan. Pada isu penghilangan paksa dalam pelanggaran HAM berat, Komnas Perempuan juga telah menyerahkan kertas posisi terkait perspektif gender dalam tindak penghilangan paksa kepada DPR RI dan pemerintah. 

Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus atas pernyataan Presiden mengenai upaya non yudisial yang tidak menegasikan penyelesaian yudisial. Amanat pernyataan tersebut perlu ditindaklanjuti secara konkret oleh pemerintah dengan mendorong proses pengungkapan kebenaran, yang akan berkontribusi pada pemenuhan hak korban, memutus impunitas dan kunci penting untuk menjamin peristiwa yang sama tidak berulang. 

Atas hal tersebut di atas, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Menkopulhukam memastikan adanya perhatian khusus pada kerentanan dan kebutuhan spesifik perempuan korban, khususnya yang terkait kasus kekerasan seksual, dalam pelaksanaan tindak lanjut pernyataan Presiden RI mengenai pengakuan dan penyesalan 12 peristiwa pelanggaran HAM Berat maupun dalam peristiwa pelanggaran HAM Berat yang lainnya;
  2. Menkopolhukam memastikan pelibatan substantif dari komunitas korban terutama perempuan penyintas, lembaga nasional HAM - termasuk Komnas Perempuan, akademisi, peneliti dan berbagai pihak relevan lainnya dalam pelaksanaan tindak lanjut, terutama dan tidak terbatas pada pemulihan, penulisan ulang sejarah, pembangunan memorabilia, pendidikan publik dan pelembagaan dan instrumentasi HAM;
  3. Pemerintah mempercepat proses pemulihan korban, termasuk melalui kerja sama dengan LPSK untuk pendataan terpilah para korban pelanggaran HAM Berat di masa lalu dan keluarganya, dengan perhatian khusus pada perempuan, lansia, disabilitas dan kelompok termarginalkan lainnya;
  4. Menkopolhukam mengupayakan pengungkapan kebenaran pada ke-12 peristiwa pelanggaran HAM Berat tersebut di atas dan berbagai tindak peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemenuhan hak korban, memutus impunitas dan memastikan peristiwa serupa tidak berulang;
  5. DPR RI mengawal reformasi sektor keamanan dan meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa dalam kerangka upaya memutus keberulangan;
  6. Masyarakat sipil dan media massa agar mengawal implementasi rekomendasi Tim PPHAM untuk penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM yang berat, dengan berperspektif korban dan gender. 

Narasumber:

1.     Theresia iswarini

2.     Rainy Hutabarat

3.     Mariana Amiruddin

4.     Olivia C. Salampessy

Narahubung: +62 813-8937-1400


Pertanyaan / Komentar: