...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-XXI/2023

"Perkuat Pelindungan Hukum Bagi Perempuan Pasca Perceraian"

 

Jakarta, 28 September 2024

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-XXI/2023 terkait kepatuhan pada putusan pengadilan atas hak pengasuhan anak pada pasangan yang bercerai. Putusan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat akses perempuan pada hak keadilan dan hak perempuan terkait perkawinan. 

  • Keputusan MK tersebut di atas menegaskan bahwa frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHP juga termasuk ayah dan ibu dari anak yang membawa pergi anak sehingga bertentangan dari penetapan pengadilan mengenai kewenangan hak asuh anak. Putusan ini memberikan kepastian hukum karena menghapus celah multitafsir pada pasal tersebut. Sebelumnya, sebagaimana dikeluhkan pemohon, sejumlah pihak kepolisian ragu-ragu menindaklanjuti laporan dari pihak perempuan yang menghadapi perampasan hak asuh anak oleh mantan suami dengan alasan bahwa pelaku yang dilaporkan adalah ayah dari anak yang dibawa pergi itu.
  • Komnas Perempuan mencatat bahwa pengalaman pemohon judicial review (JR), yaitu lima perempuan yang menghadapi situasi perampasan hak asuh anak oleh mantan suami pasca perceraian mereka, adalah situasi yang juga dialami oleh banyak perempuan. Berdasarkan data pelaporan langsung kepada Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2019 hingga 2023, sebanyak sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) adalah terkait pengasuhan anak. Dicatatkan dari 93 kasus itu terjadi 364 tindak kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami; sepertiganya atau 126 tindakan kekerasan terkait langsung perebutan pengasuhan anak. Ada yang dengan cara anak diambil dengan paksa maupun dirayu agar mau mengikuti ayahnya dan kemudian diputus semua akses komunikasi atau tidak lagi diperbolehkan untuk bertemu dengan ibunya setelah anak tersebut diambil oleh pihak mantan suami.  Ada juga yang ‘dilarikan’ dan disembunyikan hingga tidak terlacak keberadaannya, bahkan sampai bertahun-tahun. Sebanyak 44 di antara 93 kasus tersebut terjadi meskipun para ibu itu telah mendapatkan hak pengasuhan anak berdasarkan keputusan pengadilan.
  • Perebutan hak asuh anak juga ditemukan dalam kasus ketika proses perceraian masih berlangsung. Sejumlah suami dengan sengaja menyembunyikan atau memutus hubungan anak dengan ibunya. Tindakan ini dilakukan untuk menyandera pihak istri agar tidak jadi menggugat cerai, atau dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pihak istri yang berkepanjangan. Dalam rentang 2019-2023, Komnas Perempuan mencatat 222 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang juga terkait dengan perebutan anak dari 3079 total kasus KTI. 
  • Komnas Perempuan mengenali peristiwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami sebagai tindak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Ini adalah  cara yang digunakan pelaku untuk menyatakan kuasa kendali suami/laki-laki pada pihak istri/perempuan ataupun sebagai balas dendam atas kondisi yang tidak dapat ia kendalikan ketika istri bersikeras untuk bercerai. Tindak perampasan hak asuh anak ini menyebabkan penderitaan psikis yang berkepanjangan dan dapat berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani pada perempuan. 
  • Selama ini dalam mempertahankan hak atas pengasuhan anak, perempuan rentan menjadi korban penundaan keadilan (delay in justice). Selain ragu-ragu dalam menindaklanjuti laporan dengan alasan bahwa pelaku adalah ayah dari anak tersebut, pihak kepolisian dilaporkan juga lebih  kerap menganggap kasus perebutan anak ini adalah urusan domestik/rumah tangga. Akibatnya, kepolisian cenderung lambat dalam penanganan kasus.
  • Pihak Kepolisian kini tidak perlu lagi ragu dalam memproses segera kasus perampasan hak asuh anak dengan mengacu pada putusan MK tersebut. Putusan MK memberikan kejelasan pada tafsir Pasal 330 Ayat (1) KUHP yang menempatkan ayah atau ibu yang melakukan perampasan hak pengasuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penyikapan segera dari kasus serupa ini juga perlu menjadi bagian dari kerja Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (DitPPA-PPO) yang baru saja dibentuk. Pada konteks perkawinan campuran, DitPPA-PPO juga penting melakukan upaya kerja sama dan koordinasi antar negara mengingat kemungkinan pemindahan anak terjadi hingga ke luar negara.
  • Komnas Perempuan mengenali bahwa hak atas pelindungan hukum saat berakhirnya perkawinan sesungguhnya adalah bagian tidak terpisahkan dari hak atas kesetaraan gender bagi perempuan dalam konteks perkawinan. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 16 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Sementara itu, hak atas pelindungan hukum dan hak untuk bebas dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi dalam Konstitusi Indonesia. Dengan demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga berkontribusi dalam memastikan penyelenggaraan tanggung jawab Konstitusional negara atas hak asasi manusia (HAM).
  • Putusan MK ini juga memiliki kontribusi pada pemenuhan hak anak atas tumbuh kembang, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hak ini juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan agar kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan penting dalam soal pengasuhan. Perampasan hak pengasuhan yang diikuti dengan pemutusan seluruh hubungan komunikasi antara ibu dan anak menyebabkan anak tidak dapat mengakses pengasuhan yang setara pasca perceraian, yang dikhawatirkan berdampak jangka panjang pada pertumbuhan dirinya. 

 

Narasumber:

  1. Andy Yentriyani
  2. Alimatul Qibtiyah 
  3. Theresia Iswarini 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: