Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Tentang Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA)
Jakarta,
21 Juni 2022
Hak maternitas merupakan hak asasi manusia yang khusus melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Fungsi ini bukan hanya bersifat personal, melainkan juga sosial karena berkait langsung dengan keberlangsungan kehidupan manusia dan bangsa. Karena itu, pemenuhan dan pelindungan hak maternitas adalah tanggung jawab semua pihak, terutama negara. Pemenuhan hak maternitas juga merupakan salah satu pemenuhan prinsip keadilan substantif berbasis gender sehingga tidak boleh berdampak pada pembakuan peran gender perempuan di ruang domestik, pembatasan pemenuhan hak bekerja dan berserikat bagi perempuan bekerja.
Pemenuhan dan pelindungan hak maternitas telah dijamin Konstitusi yaitu UUD NRI 1945, khususnya hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 28B ayat (1)), hak atas pelindungan diri pribadi dan keluarga (Pasal 28G ayat (1)), hak atas rasa aman untuk melakukan sesuatu yang merupakan hak asasinya (Pasal 28G ayat (1)), hak hidup sejahtera lahir dan batin, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat (1)) hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat (2)) dan hak untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 28I ayat (2)). Pemenuhan dan pelindungan hak maternitas ini juga berkait langsung dengan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)), hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat (2)), serta hak setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang (Pasal 28B ayat (2).
Jaminan pemenuhan hak ini dipertegas pula dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia: No. 39/1999. Juga amanat dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Pasal 4 ayat (2) CEDAW menyatakan tindakan afirmatif dalam “pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh negara pihak termasuk tindakan-tindakan yang termuat dalam konvensi ini yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi” dan Pasal 11 ayat (1) huruf e yang mengatur hak atas jaminan sosial di antaranya hak atas masa cuti berbayar. Konvensi ILO juga memastikan jaminan hak atas maternitas dan KILO 189 memastikan hak atas Kerja Layak. CEDAW pasal 5 secara khusus juga memandatkan kepada Negara Pihak untuk memastikan adanya pendidikan keluarga terkait pemahaman maternitas sebagai fungsi sosial dan oleh karena itu menjadi tanggung jawab bersama antara perempuan dan laki-laki untuk memastikan fungsi maternitas itu dapat membawa kesejahteraan.
Komnas
Perempuan mencermati, pemenuhan hak maternitas berpaut-erat dengan hak-hak
fundamental lainnya, yakni hak atas kesehatan termasuk kesehatan reproduksi dan
hak atas kerja layak sebagaimana dimandatkan Tujuan 8 Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) termasuk hak atas pengembangan diri atau karir dan hak
berorganisasi. Dengan demikian, perempuan berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.
Perlindungan hak maternitas juga telah ditegaskan pada Konvenan Internasional
mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui
Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2005. Pasal 10 ayat (2) Kovenan ini menyebutkan
“Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang
wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka waktu itu para ibu yang
bekerja harus diberikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang
memadai”. Larangan melakukan diskriminasi dan memberikan perlindungan
maternitas berupa cuti melahirkan, cuti keguguran, hak menyusui, dan larangan
pemutusan hubungan kerja saat cuti juga diatur dalam Kovenan ini. Hak
maternitas ini juga berkaitan dengan hak anak untuk tumbuh dan berkembang.
Pengaturan
tentang hak maternitas bagi perempuan pekerja saat ini merujuk pada UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 81 dan pasal 93 ayat (2)
huruf b tentang istirahat saat menstruasi, dan Pasal 82, 84 dan 153 terkait
cuti melahirkan dan keguguran, juga pasal 93 ayat (2) huruf b dan ayat (4)
huruf e bagi cuti pendampingan suami dari istri yang melahirkan atau keguguran.
Pada UU ini, hak cuti melahirkan adalah selama 3 bulan dan 1,5 bulan untuk
keguguran, yang keduanya berupah penuh dan tidak boleh menjadi alasan pemutusan
hubungan kerja. Sementara bagi suami, cuti pendampingan adalah sebanyak 2 hari
berupah penuh. Tentunya, pengaturan ini hanya berlaku bagi pekerja di
sektor formal, padahal lebih banyak lagi perempuan yang bekerja di sektor
informal. Termasuk di antaranya adalah perempuan pekerja rumah tangga yang
upaya advokasi pelindungan hukumnya telah berjalan hampir dua dekade.
Sementara
itu, implementasi dari hak maternitas dalam UU Ketenagakerjaan juga masih
menghadapi banyak rintangan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada tiga tahun
terakhir mendokumentasikan sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan dan
pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan. Kasus-kasus
tersebut setidaknya melibatkan empat (4) perusahaan yang melanggar hak
maternitas pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan.
Bentuk pelanggaran antara lain, pemutusan hubungan kerja karena hamil dan
melahirkan, serta perampasan hak cuti haid. Catahu 2021 mendokumentasikan
laporan 18 buruh perempuan keguguran yang diduga karena kondisi kerja yang
buruk. Sedangkan Catahu 2022 mencatat bahwa terjadi 108 kasus kekerasan di
dunia kerja, mencakup pelanggaran hak-hak dasar seperti hak perlindungan kerja
yang layak dan hak bebas dan diskriminasi dan kekerasan termasuk pelanggaran
hak maternitas (cuti haid, hamil, melahirkan). Komnas Perempuan juga menemukan
masih ada pembatasan kesempatan kerja oleh korporasi terkait fungsi reproduksi
perempuan.
Berdasarkan
aturan dan juga realitas tersebut, Komnas Perempuan menyambut baik upaya RUU
Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) karena juga memiliki kaitan yang erat
dengan upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan prasyarat tercapainya
kesetaraan dan keadilan gender dalam Tujuan 5 SDGs dan RPJMN 2020-2024 tentang
pemberdayaan perempuan. Diskriminasi juga mencakup jaminan pelindungan
ibu hamil dan anak dalam infrastruktur transportasi publik, tempat kerja dan
ruang publik.
Berkenaan
dengan RUU KIA, Komnas Perempuan berpandangan sebagai berikut:
- Mengapresiasi usulan cuti hamil
dan melahirkan selama 6 bulan sebagai bagian dari upaya menguatkan hak
maternitas perempuan, dimana 3 bulan pertama tetap dibayarkan upah 100%
dan 3 bulan berikutnya 75%. Serta hak pendampingan bagi suami selama
40 hari untuk kelahiran dan 7 hari untuk kasus keguguran. Sejumlah negara
atau organisasi masyarakat sipil juga sudah menetapkan hal serupa.
- Mengapresiasi adanya perhatian
khusus pada keterhubungan hak maternitas dengan isu kekerasan terhadap
perempuan dan pada kebutuhan perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses
hak maternitas
- Mengingatkan bahwa penerapannya
membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang
ketat, mengingat berbagai pelanggaran yang terjadi terhadap UU
Ketenagakerjaan selama ini. Negara perlu mengantisipasi pengalokasian
anggaran jika ada tempat kerja yang tidak sanggup, meskipun bersedia untuk
melaksanakannya.
- Mengenali pengaturan tersebut
dapat berpotensi menjadi penghambat hak bekerja perempuan yang juga
dilindungi oleh undang-undang. Pemastian korporasi untuk tunduk pada
aturan, termasuk tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa
rekrutmen perlu dilengkapi dengan langkah afirmasi tambahan untuk
memastikan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan
pengembangan karir.
- Mengidentifikasi adanya kebutuhan
kejelasan cuti pendampingan suami juga berbayar utuh sehingga suami saat
mengambil cuti tidak kuatir merisikokan penghasilan keluarga. Jika
suami/ayah meninggal atau berpisah, maka untuk cuti pendampingan dapat
diperluas bagi anggota keluarga terdekat.
- Menggarisbawahi tanggung jawab
negara dalam mengembangkan program pendidikan terkait keadilan gender,
kesehatan reproduksi termasuk fungsi maternitas di semua jenjang
pendidikan dan sektor. Program ini akan berkontribusi untuk memastikan
cuti pendampingan suami benar-benar digunakan untuk meringankan beban
kerja domestik dan pengasuhan dari pihak perempuan. Program ini terutama
penting dalam masyarakat patriarkis yang masih melekatkan peran domestik
sebagai tugas perempuan.
- Mengidentifikasi adanya risiko
pembakuan peran domestik berbasis gender terhadap perempuan, a.l. tampak
dalam pengaturan yang mengesankan penekanan kewajiban ibu pada tanggung
jawab pengasuhan seperti dalam pasal 4 ayat (1) huruf i tentang hak untuk
mendapatkan pendidikan perawatan, pengasuhan (parenting) dan tumbuh
kembang anak; pasal 4 ayat (2) huruf d tentang hak cuti untuk kepentingan
terbaik anak, dan pasal 10 ayat (1) mengenai kewajiban Ibu. Pengaturan
serupa ini mengurangi peran ayah, yang pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan memiliki
kewajiban bersama dengan Ibu dalam tanggung jawab memastikan kesejahteraan
anak.
- Mengenali kebutuhan legislasi
produk hukum baru dan harmonisasi peraturan perundang-undangan selain
ketentuan-ketentuan implementatif untuk mengoptimalkan penerapan RUU ini
setelah disahkan. Termasuk di dalam produk hukum baru yang dimaksud adalah
pengesahan segera RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga sehingga perempuan
yang bekerja di sektor ini dapat menikmati hak maternitas yang dilindungi
dalam RUU KIA. Untuk itu diperlukan kejelasan waktu untuk memastikan
proses legislasi baru dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, maka Komnas Perempuan merekomendasikan agar:
- DPR RI dan Pemerintah membahas
dan mengesahkan RUU KIA dengan mengukuhkan kesetaraan dan keadilan gender
di ruang domestik, ruang publik dan dunia kerja dan memastikan aspek pemenuhan
tanggung jawab negara dan pengawasan yang ketat dalam implementasi.
Pertimbangan butir c – h di atas perlu menjadi perhatian untuk memastikan
rumusan RUU KIA yang diharapkan tersebut.
- DPRI RI dan Pemerintah
memastikan proses legislasi yang partisipatif substantif dari berbagai
pihak berkepentingan dalam pembahasan RUU KIA, termasuk dan tidak terbatas
pada kelompok perempuan, serikat buruh perempuan maupun organisasi
perempuan yang bergerak di isu perburuhan dan kesehatan reproduksi;
- DPR RI dan Kementerian Tenaga
Kerja agar mempercepat pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga dan
menyelaraskan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, dan
kebijakan-kebijakan turunan lainnya dengan instrumen HAM internasional
terkait pemenuhan hak maternitas dan hak-hak terkait lainnya bagi
perempuan pekerja;
- Korporasi dan Pemberi Kerja
secara pro aktif memenuhi hak maternitas perempuan dan dukungan bagi
pelaksanaan peran orang tua dalam melaksanakan tanggung jawab atas
kesejahteraan anak;
- Lembaga agama mengembangkan
tafsir Kitab Suci dan ajaran agama yang mengukuhkan kesetaraan dan
keadilan gender dalam rumah tangga, ruang publik maupun lembaga
agama.
- Organisasi masyarakat sipil
agar mengawal dan memberi masukan-masukan bagi pemenuhan hak
maternitas dan hak-hak terkait lainnya bagi perempuan bekerja lintas
sektor, perempuan dalam rumah tangga serta infrastruktur transportasi
publik yang ramah perempuan hamil dan anak-anak.
- Keluarga dan masyarakat untuk
terlibat aktif dalam pendidikan kesetaraan gender sehingga tidak
membebankan masalah reproduksi dan pengasuhan hanya pada perempuan.
Narasumber:
- Alimatul
Qibtiyah
- Siti
Aminah
- Rainy
Maryke Hutabarat
- Th.
Sri Endras Iswarini
- Andy
Yentriyani
Narahubung: 0813-8937-1400