...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Tentang Revisi UU TNI

Kuatkan Pelaksanaan Amanat Reformasi Sektor Keamanan  

 

Jakarta, 18 Maret 2025

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menunda pengesahan dan membangun proses yang legislasi yang lebih partisipatif dan inklusif dalam upaya revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional (UU TNI). Komnas Perempuan juga mengingatkan agar revisi UU perlu ditempatkan dalam kerangka agenda Reformasi Sektor Keamanan (RSK) yang merupakan bagian integral dari spirit reformasi Indonesia sejak tahun 1998.

 

Proses legislatif yang partisipatif adalah sejalan dengan amanat Konstitusi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Amanat ini diperkuat dalam Undang-Undang terkait Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana disebutkan dalam asas keterbukaan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dengan memastikan proses legislasi yang transparan dan melibatkan masyarakat secara bermakna, maka kita semua dapat mengawal pembahasan revisi RUU TNI demi kepentingan bangsa, termasuk untuk menciptakan situasi kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 

 

Dalam kerangka reformasi sektor keamanan, revisi UU TNI perlu memformulasikan kebijakan, struktur dan dukungan kapasitas institusi dan kelompok yang ada dalam sektor keamanan agar menjadi lebih profesional, efektif, efisien, responsif pada kontrol demokrasi, selaras dengan kerangka pemajuan hak-hak asasi manusia (HAM), serta berorientasi pada mewujudkan keamanan sejati, perdamaian berkelanjutan, dan keadilan. Karenanya, setelah dua dekade, kebutuhan revisi UU TNI perlu diperbincangkan secara lebih komprehensif, dengan proses-proses konsultasi publik yang melibatkan secara substantif berbagai elemen masyarakat yang berkepentingan dan akan terdampak dengan perubahan tersebut. 

 

Kelompok perempuan, sebagaimana juga kelompok masyarakat sipil lainnya, memiliki kebutuhan yang spesifik untuk memastikan revisi UU TNI juga turut mengembangkan upaya  pemenuhan hak-hak konstitusional, terutama untuk bebas dari diskriminasi dan kekerasan atas dasar apa pun, dan untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil. Hal ini dapat dicapai dengan mengambil pembelajaran dari pengalaman perempuan korban kekerasan, terutama dan tidak terbatas pada di situasi konflik dan bencana, serta advokasi hak-hak asasi perempuan dalam konteks yang beragam. Juga, dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spesifik dan kerentanan-kerentanan khas perempuan, termasuk mereka yang memiliki kerentanan berlapis,  terkait isu keamanan dan pertahanan. 

 

Dalam rentang 2020-2024, Komnas Perempuan mencatat sekurangnya terdapat 190 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam relasi personal maupun di wilayah publik yang dilakukan oleh prajurit TNI yang merupakan tindak pidana umum yang diatur dalam Undang-Undang. Ketika hendak diproses secara hukum, semuanya masih melalui peradilan militer meskipun kasusnya merupakan tindak pidana umum. Dalam kasus-kasus yang diproses itu, Komnas Perempuan menerima keluhan dari pihak korban mengenai adanya hambatan bersifat substantif, struktural maupun kultural bagi perempuan korban dan pendamping untuk mengakses informasi, penanganan kasus dan proses yang lebih berorientasi pada pemulihan korban. Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat 10 kasus kekerasan di ranah negara pada 2020-2024 terkait kondisi konflik sumber daya alam, agraria dan tata ruang yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan dengan terlapor adalah prajurit TNI.  Perempuan adat menjadi pihak yang menghadapi kerentanan khusus dan dampak yang khas dari kekerasan yang terjadi di dalam konteks ini.

 

Komnas Perempuan memahami kritik-kritik  terkait pembahasan perubahan UU TNI yang tengah berlangsung sebagai aspirasi untuk turut mengawal demokrasi dan profesionalisme TNI, sekaligus pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara dalam pemerintahan. Termasuk di dalam kritik itu adalah potensi revisi UU TNI memperbesar supremasi militer di dalam pemerintahan sipil yang ditandai dengan perluasan posisi sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif dan dampaknya pada profesionalisme TNI, risiko memperbesar bottle neck atau sumbat karier perwira, dan kecenderungan lebih berpusat pada kepentingan institusi TNI daripada kepentingan umum yang lebih luas. 

 

Mengamati informasi yang berkembang terkait pembahasan revisi UU TNI dan merujuk pada  pembelajaran dari upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan unsur TNI, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk: 

  • menggunakan prinsip cermat tuntas (due diligence) dalam pembahasan mengenai perluasan fungsi TNI dan batas usia pensiun agar dapat menguatkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, mencegah tumpang-tindih kewenangan TNI dan Kepolisian; mengatasi tantangan profesionalisme dan akuntabilitasTNI, dan menyikapi kebutuhan afirmasi berperspektif HAM, termasuk penguatan kepemimpinan perempuan di sektor pertahanan;
  • menguatkan aturan dalam UU TNI untuk mengedepankan mekanisme sipil yang transparan, akuntabel dan berbasis HAM daripada pendekatan militer dalam penanganan konflik di domestik, termasuk dan terutama dalam konteks konflik sumber daya alam, agraria dan tata ruang. Hasil pemantauan dan pengamatan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan di situasi konflik tersebut kerap berakar pada tidak dipenuhinya hak masyarakat pada persetujuan awal sukarela dengan informasi yang lengkap (free, prior, informed consent) dalam perencanaan pembangunan dan pengerahan aparat keamanan dan pertahanan yang berlebihan. Pendekatan dengan mekanisme sipil dimaksudkan untuk mencegah eskalasi kekerasan di wilayah konflik, termasuk untuk mencegah eskalasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan untuk menjamin pelindungan hak-hak perempuan yang terdampak;
  • memperluas pembahasan revisi UU TNI untuk menguatkan penyelenggaraan ketentuan yang responsif pada kontrol demokrasi, termasuk Pasal 65 ayat 2 yang mengamanatkan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Pemisahan kewenangan ini penting untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, serta pemenuhan hak-hak korban dalam proses peradilan. Namun, sejak UU TNI disahkan di tahun 2004, semua kasus pelanggaran hukum pidana umum masih diselenggarakan di bawah peradilan militer;
  • menyelaraskan revisi UU TNI dengan upaya pemajuan HAM, termasuk dan tidak terbatas pada perbaikan Pasal 57 agar sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

 

Narasumber:

1.    Andy Yentriyani 

2.    Rainy Hutabarat

3.    Theresia Iswarini 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: