Jakarta, 03 Agustus 2024
§
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik ketentuan aborsi
bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang mengakibatkan kehamilan
tidak diinginkan. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP
Kesehatan). Komnas Perempuan berharap aturan ini mempercepat pengadaan dan
menguatkan akses layanan dalam rangka memastikan pemenuhan hak atas pemulihan
bagi perempuan korban.
§ Ketentuan tentang larangan aborsi perlu dipahami dalam bingkai upaya
pelindungan dan pemulihan korban TPKS. Aborsi masih menjadi tindak pidana dalam
sistem hukum nasional. Karenanya, sebagai aturan pelaksana, PP Kesehatan mengikuti
pengaturan kriteria dan syarat pelaksanaan pengecualian aborsi yang telah
dinyatakan di dalam Undang-Undang Kesehatan, yaitu sesuai dengan ketentuan
dalam kitab undang-undang hukum pidana;
o UU No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menyatakan: “Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun (Pasal 463 Ayat 1). Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal
perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan
seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi
14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis (Pasal 463
Ayat 2).
o Sebelumnya, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 75 mengecualikan
aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
o UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengakui
hak atas pemulihan kesehatan dan penguatan psikologis (Pasal 70).
o Ketentuan mengenai pengecualian aborsi diperkuat melalui UU No. 17 Tahun
2023 Tentang Kesehatan yang menegaskan kembali larangan melakukan aborsi,
kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab
undang-undang hukum pidana (Pasal 60). Ketentuan ini selanjutnya diatur secara
lebih rinci dalam PP No. 28 tahun 2024;
§ Layanan aborsi aman merupakan kebutuhan nyata dari korban kekerasan seksual
dan merupakan
bagian dari sistem pemulihan yang harus tersedia untuk korban. Layanan ini dimaksudkan untuk mengurangi ancaman gangguan kesehatan mental pada
korban akibat tekanan dari adanya kehamilan tidak diinginkan. Demikian pula
untuk mencegah dampak psikologis anak yang dikandung dalam situasi penolakan
dan tekanan pada korban untuk membesarkan anak akibat kekerasan seksual.
§ Komnas Perempuan mencatat bahwa terdapat 103 korban perkosaan berakibat
kehamilan yang melaporkan kasusnya langsung kasusnya ke Komnas perempuan sejak
2018 hingga 2023. Hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman.
Padahal, ketika layanan ini tidak tersedia, korban berisiko menempuh praktik
aborsi tidak aman yang berakibat fatal pada dirinya, ataupun kemudian
menempatkannya menjadi pihak berkonflik dengan hukum atas tuntutan aborsi
menghilangkan nyawa bayi yang baru dilahirkannya. Kondisi ini menjadikan korban
TPKS semakin terpuruk. Kasus di Jambi (2018) terhadap WA, 15 tahun, korban
perkosaan abang kandung yang dikriminalkan bersama dengan ibunya karena
melakukan aborsi dari kehamilan akibat perkosaan tersebut merupakan salah satu
contoh situasi yang dimaksud.
§ PP Kesehatan memberikan panduan prosedur untuk aborsi akibat tindak pidana
perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan
yaitu:
o Dibuktikan dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan
kejadian tindak pidana kekerasan seksual; dan keterangan penyidik mengenai
adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan
kehamilan (Pasal 118);
o Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat lanjut dan hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh
Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya sesuai dengan
pertimbangan dari Tim Pertimbangan Dokter (Pasal 1 19 sd 123);
o Korban diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan,
persalinan, dan pasca persalinan (Pasal 124).
§ Atas panduan prosedur tersebut di atas, Komnas Perempuan mengenali potensi pengurangan
akses korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak dikehendaki atas hak
pengecualian aborsi ini terkait pengaturan yang lebih membatasi dibandingkan
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016 Tentang
Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis
Dan Kehamilan Akibat Perkosaan (Permenkes).
o PP Kesehatan menyempitkan hanya pihak penyidik, yang mana sebelumnya
berdasarkan Permenkes dapat juga diberikan oleh psikolog dan/atau ahli lain
yang dapat memberikan keterangan adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan
seksual lain yang menyebabkan kehamilan,
o PP Kesehatan membatasi hanya fasilitas tingkat lanjut yang dapat memberikan
layanan pengecualian aborsi ini, sementara sebelumnya dapat dilakukan pula di
fasilitas kesehatan di puskesmas, klinik pratama, klinik utama atau setara dan
rumah sakit;
§ Atas potensi pengurangan akses ini, Komnas Perempuan merekomendasikan
kepada pihak pemerintah untuk menguatkan tugas pembinaan dan evaluasi guna
memastikan akses yang lebih baik bagi perempuan korban TPKS dalam pelaksanaan
layanan aborsi aman. Hasil evaluasi perlu digunakan dalam perbaikan ketentuan
mengenai hal ini ke depan.
§
Komnas Perempuan
mengapresiasi penegasan dalam PP Kesehatan bahwa keputusan untuk aborsi menjadi
otoritas pada korban. Juga, memastikan ketersediaan layanan konseling, baik
saat korban memutuskan untuk melakukan maupun untuk membatalkan untuk melakukan
aborsi dan selama mempertahankan kehamilannya. Demikian pula atas penegasan
tanggung jawab negara dalam hal pengasuhan anak ketika perempuan korban tindak
pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan
kehamilan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
§ Aturan mengenai layanan aborsi aman bagi perempuan korban perkosaan atau
kekerasan seksual lainnya merupakan bagian dari pewujudan amanat Konstitusi,
terutama mengenai hak konstitusional atas hak atas hidup sejahtera lahir dan
batin dan atas pelayanan kesehatan (Pasal 28H Ayat1). Juga amanat dari komitmen
negara pada pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.
o
Pasal 12 CEDAW secara
khusus menyebutkan kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam hal akses
terhadap layanan kesehatan, termasuk yang berkaitan dengan keluarga berencana. Juga,
bahwa negara perlu menjamin layanan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan sehubungan
dengan kehamilan, masa persalinan dan masa nifas, pemberian layanan gratis jika
diperlukan, serta nutrisi yang cukup selama kehamilan dan menyusui.
o
Rekomendasi Umum
CEDAW No. 24 mengatur prinsip aksesibilitas, ketersediaan, kelayakan, dan
kepastian atas kualitas layanan medis. Secara jelas dalam Pasal 12 butir (d) mengingatkan
pentingnya memastikan rasa hormat terhadap kerahasiaan pasien karena akan
berdampak merugikan bagi perempuan. Tanpa jaminan kerahasiaan, perempuan enggan
mencari nasihat dan pengobatan, terutama untuk
penyakit pada saluran genital, untuk kontrasepsi atau untuk aborsi tidak
lengkap dan dalam kasus dimana mereka mengalami kekerasan seksual atau fisik.
§ Penyediaan layanan aborsi aman bagi perempuan korban kekerasan seksual juga
merupakan pelaksanaan komitmen negara pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia (CAT) yang telah diratifikasi dalam UU No. 5 Tahun 1998.
Pemaksaan kehamilan dengan ketidaktersediaan layanan aborsi aman sehingga
mengakibatkan penderitaan yang luar biasa secara fisik dan psikis yang harus
dijalani oleh perempuan korban kekerasan dapat dimaknai sebagai tindak
penyiksaan.
§
Untuk pemenuhan hak
perempuan korban kekerasan seksual, Komnas Perempuan juga mengingatkan Kementerian
Kesehatan, UPTD PPA, Lembaga Layanan Pemulihan untuk; a) memberikan layanan pil
kontrasepsi darurat dalam hal TPKS dilaporkan dalam waktu 3 hari setelah
kejadian; b) memberikan informasi hak untuk aborsi pada korban TPKS dan c) menguatkan
mekanisme kerja antara aparat penegak hukum, lembaga pendamping korban dan
fasilitas kesehatan lanjutan.
§
Jaminan hukum untuk
layanan aborsi aman bagi korban TPKS diharapkan pula dapat menurunkan angka
kematian ibu (AKI) akibat aborsi. Data Sensus 2020 menunjukkan bahwa AKI masih
di 189 per 100.000 kelahiran hidup, jauh dari target 70 per 100.000 kelahiran hidup
dalam rencana pembangunan berkelanjutan. World Health Organization (2020)
memprediksi aborsi tidak aman berkontribusi sebanyak 4,7% - 13,2% terhadap
AKI. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2023)
memperkirakan bahwa kasus aborsi setiap tahunnya mencapai 2,4 juta jiwa, dimana
sekitar 700.000 kasus terjadi pada remaja. Penelitian Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes, 2012) menemukan bahwa 4.1% AKI di Indonesia
berkaitan dengan komplikasi akibat keguguran, termasuk aborsi yang tidak aman.
Pada 2018, hanya 46% rumah sakit di
Pulau Jawa yang memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi serta
serangkaian layanan esensial yang memadai untuk menyediakan perawatan 24 jam
bagi pasien keguguran. Sebuah penelitian
di pulau Jawa menunjukkan bahwa pada 2018 tingkat aborsi adalah 42,5 aborsi per
1000 perempuan berusia 15-49 tahun (Giorgio, M. M, et.al, 2020), lebih tinggi
dibandingkan tingkat aborsi secara global yaitu 39/1000 perempuan (WHO:2020).
Narasumber:
Andy
Yentriyani
Retty
Ratnawati
Siti Aminah
Tardi
Satyawanti Mashudi
Theresia Iswarini