Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Terhadap Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
Segera Atasi Potensi KUHP Mereduksi Pelindungan Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual, Hak Bebas Dari Diskriminasi Berbasis Gender dan Hak-Hak Dasar Warga Sipil
Jakarta, 9 Desember 2022
Meski memuat sejumlah kemajuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menyisakan berbagai persoalan dalam hal peneguhan hak asasi manusia (HAM), termasuk untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun, di antaranya atas dasar gender, dan juga pelindungan hak-hak dasar yang turut mempengaruhi kehidupan perempuan. Hasil revisi KUHP yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah pada 6 Desember 2022 memiliki potensi kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization) sehingga dapat merugikan perempuan secara tidak proporsional dan melegitimasi praktik-praktik kriminalisasi terhadap perempuan, termasuk perempuan pembela HAM (PPHAM). Hasil revisi serupa ini ditengarai disebabkan oleh belum dipenuhinya partisipasi penuh dari publik berupa dialog konstruktif dalam memahami dan menyusun RKUHP sebagai kodifikasi hukum pidana nasional yang selaras dengan instrumen HAM internasional dan nasional lainnya.
Berkait dengan revisi KUHP, Komnas Perempuan mengenali bahwa pentingnya sensitivitas gender telah dinyatakan dalam Naskah Akademik RUU Hukum Pidana sebagai acuan proses perumusan RUU Hukum Pidana untuk melindungi harkat dan martabat perempuan. Sebagai salah satu upaya pembentukan hukum nasional, RKUHP sudah digagas sejak tahun 1963 menggantikan hukum peninggalan kolonial Belanda yang juga bersifat patriarkis. Sebagai hukum yang lahir di negara demokratis, RKUHP haruslah menjamin pencegahan perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun, termasuk keadilan gender. Hal ini sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945. Guna mencapai persamaan dan keadilan, Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat 2 juga menjamin hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
Komnas Perempuan telah memantau dan memberikan saran dan rekomendasi terhadap RKUHP secara berkelanjutan sejak periode DPR RI 2014-2019 dan periode 2020-2024. Hal ini merupakan pewujudan pelaksanaan mandat Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional Hak Asasi Manusia berfokus pada upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. Tugas dan kewenangan Komnas Perempuan adalah termasuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan lembaga legislatif guna mendorong penyusunan dan perubahan dan/atau pembaruan hukum serta kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kerangka Konstitusional menjadi kerangka utama pertimbangan Komnas Perempuan yang dilengkapi dengan pemahaman pada UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), UU No. 5 Tahun 1998 tentang Menentang Penyiksaan, Penghukuman dan Perlakuan Lain yang Kejam atau Tindak Manusiawi, dan instrumen HAM internasional yang relevan lainnya.
Menyimak hasil persetujuan bersama DPR RI dan Pemerintah mengenai revisi KUHP, Komnas Perempuan mengapresiasi sejumlah kemajuan yang dapat menguatkan pemenuhan hak yang akan berkontribusi besar pada pemenuhan hak perempuan pada jaminan rasa aman dan bebas dari kekerasan, di antaranya:
- Adopsi definisi perkosaan sesuai dengan hukum internasional sehingga mencakup ragam tindak pemaksaan hubungan seksual dan memperhitungkan kerentanan-kerentanan khas perempuan korban, termasuk dalam kondisi tidak berdaya, disabilitas dan dalam relasi perkawinan;
- Memperluas jaminan menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan dari hanya atas alasan medis dan bagi korban perkosaan menjadi juga bagi semua korban kekerasan seksual dan hingga usia kehamilan dari 6 minggu menjadi 14 minggu;
- Memperingan ancaman pidana atas perempuan yang membuang anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain dengan maksud agar anak itu ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggungjawabnya atas anak yang dilahirkan (Pasal 430) ataupun yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak itu diketahui orang lain (Pasal 460). Hal ini menimbang kondisi serupa ini yang biasanya ditemukan terkait kekerasan seksual, khhususnya korban perkosaan dan eksploitasi.
- Memiliki pasal penghubung dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sehingga korban pada sejumlah pasal KUHP terkait kekerasan seksual juga dapat menikmati hak-haknya sebagaimana diatur dalam UU TPKS.
Namun, terlepas dari sejumlah kemajuan dalam perumusan pasal-pasal terkait kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan masih mencatat sejumlah ketentuan yang bermasalah berkaitan dengan upaya penanganan kekerasan seksual, penghapusan diskriminasi berbasis gender dan pemenuhan hak-hak dasar. Kondisi ini menempatkan KUHP berpotensi overkriminalisasi, melanggar hak-hak perempuan dan kebebasan hak sipil lainnya, termasuk dalam hal pembelaan hakKondisi ini antara lain ditunjukkan oleh:
1. Tindak Pidana Pencabulan masih ditempatkan sebagai tindak pidana kesusilaan. Bagian kelima dari Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan tentang pencabulan mengatur larangan perbuatan cabul secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap seseorang dalam keadaan pingsan, atau tidak berdaya termasuk kondisi disabilitas, yang diketahui atau patut diduga anak. Komnas Perempuan berpandangan bahwa tindak pidana pencabulan serupa lebih tepat ditempatkan sebagai Tindak Pidana terhadap Tubuh karena sarat muatan kekerasan seksual. Apalagi ada pasal khusus yang menyatakan bahwa semua tindakan pencabulan dan tindakan memudahkan pencabulan merupakan tindak pidana kekerasan seksual.
2. Tidak tersedia pasal penghubung antara tindak melarikan anak dan perempuan untuk tujuan penguasaan dalam perkawinan dengan UU TPKS. Pasal 454 KUHP melarang membawa pergi perempuan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan tersebut, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Tindakan ini termasuk dalam tindak pemaksaan perkawinan yang diatur dalam UU TPKS.
3. Berkurangnya daya pelindungan hukum pada tindak eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual telah diatur dengan definisi yang jelas dalam UU TPKS. KUHP tidak melakukan koreksi pada penggunaan istilah eksploitasi seksual ini terkait tindak pornografi (Pasal 172) karena tetap merujuk pada UU Pornografi.
4. Pengabaian hak korban kekerasan seksual akibat tidak adanya rumusan tindak pidana pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi. Tindak pemaksaan pelacuran disebutkan dalam Pasal 4 Ayat 2 huruf f dalam UU TPKS sebagai tindak kekerasan seksual yang diatur dalam UU lain tetapi perlu merujuk pada UU TPKS sebagai lex specialis dalam penanganannya. Karena KUHP tidak merumuskannya, maka tindak pemaksaan pelacuran tidak dapat dipidana. Demikian juga dengan pemaksaan aborsi yang kerap dihadapi oleh perempuan korban eksploitasi seksual. Akibatnya, korban eksploitasi seksual yang melakukan penghentian kehamilan dapat dengan gampang dikriminalisasi sementara pihak pelaku eksploitasi seksual justru bebas dari tanggung jawab hukum (impunitas) baik atas tindak eksploitasi seksual maupun pemaksaan aborsi itu.
5. Berkurangnya kepastian hukum dan potensi mendorong keberadaan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan akibat ketentuan keberlakuan hukum yang hidup di dalam masyarakat (pasal 2, pasal 66, pasal 96, pasal 97, pasal 116, pasal 120, pasal 597) karena:
a. Pasal ini menyimpang dari asas legalitas dimana tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan;
b. Dalam hukum yang hidup di masyarakat maupun hukum pidana adat, tidak ada kejelasan pembagian ranah pidana dan ranah perdata, serta tidak ada identifikasi jelas tentang pertanggungjawaban pidana dan identifikasi korban. Juga, tidak semua daerah masih memiliki hukum pidana adat dan pranata adat.
c. Ketentuan bahwa pidana adat akan diatur dalam Perda akan mendorong maraknya peraturan daerah diskriminatif yang memuat ketentuan pemidanaan sekaligus sanksi pidana dan mengkriminalkan kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak perempuan. Penyusunan Perda Pidana Adat akan menjadi ruang petarungan berbagai kepentingan yang berpotensi menempatkan perempuan dan anak perempuan sebagai sasaran pengaturan berdasarkan diskriminasi berdasarkan jenis kelaminnya.
6. Berkurangnya hak privasi dalam perkawinan dan overcriminalization terkait Tindak pidana perzinaan.Tindak Pidana Perzinahan pada Pasal 411 - 413 memuat 3 (tiga) larangan yaitu i) persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, ii) melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dan iii) persetubuhan dengan anggota keluarga batihnya.
a. Walau menjadi delik aduan, di mana hanya suami atau isteri dalam hal pelaku telah terikat perkawinan atau orang tua atau anak dalam hal pelaku tidak terikat perkawinan, kriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan dan kohabitasi melanggar hak privasi seseorang;
b. Perluasan delik aduan pada orang tua atau anak dalam hal pelaku tidak terikat perkawinan, dimana pasangannya justru terikat pada perkawinan akan mengurangi daya dari pihak suami/istri tersebut untuk memperbaiki kehidupan rumah tangganya. Komnas Perempuan dalam sidang Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review untuk memperluas definisi zina (2017) telah menerangkan bahwa pada banyak kasus pihak istri tidak mau melaporkan suaminya yang melakukan persetubuhan dengan pihak lain karena banyak pertimbangan, terutama masa depan anak-anaknya.
c. Tindak Pidana Kohabitasi, atau hidup berumah tangga tanpa ikatan perkawinan, berpotensi mengkriminalkan perempuan secara tidak proporsional. Penerapan pasal ini dapat menyasar perempuan yang memilih tidak terikat dalam lembaga perkawinan dengan berbagai alasan dan perkawinan tidak tercatat seperti perkawinan agama (sirri) dan perkawinan adat.
d. Persetubuhan dengan seseorang dalam keluarga batih (ayah atau ibu terhadap anak atau antar saudara) sarat relasi kuasa, baik kuasa orang tua terhadap anak, ataupun saudara laki-laki terhadap saudara perempuannya, dan relasi kuasa lainnya. Oleh karena itu, tindak pidana ini tidak tepat inses dikategorikan sebagai perzinaan, melainkan tindak pidana pencabulan, perkosaan atau kategori eksploitasi seksual di UU TPKS.
e. Tindak pidana perzinaan juga kerap sarat dengan isu moralitas berbasis agama sehingga berpotensi disalahgunakan dimana dalam praktiknya kerap memojokkan perempuan sebagai pihak yang disalahkan, sehingga menjadi rentan dikriminalisasi.
f. Overcriminalization juga merisikokan beban penegakan hukum yang tidak proporsional serta berpotensi menambah overcrowding di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan
7. Tidak adanya Perlindungan Terhadap Relawan Berkompeten yang Mensosialisasikan Alat Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan Terhadap Anak (Pasal 416 ayat (3)). Relawan berkompeten dan aktif mendukung program pemerintah belum tentu ditunjuk pejabat berwenang (BKKBN atau Dinkes). Mereka di antaranya: kader kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama terlatih, lembaga masyarakat, pihak swasta penyedia layanan, serta masyarakat umum yang berupaya memberikan informasi dan dengan cara inklusif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas termasuk layanan kontrasepsi dan hak korban TPKS untuk mengakses layanan aborsi aman. Tidak adanya perlindungan terhadap relawan ini, sementara di sisi lain kekerasan seksual maupun hubungan seksual terjadi pada usia anak termasuk anak perempuan disabilitas yang membutuhkan perlakuan khusus, akan menghambat upaya-upaya pencegahan kehamilan dan pemenuhan kesehatan reproduksi anak perempuan. Pasal ini juga menempatkan perempuan pembela HAM (PPHAM) dalam posisi rentan dipidanakan saat mereka melakukan kerja-kerja pembelaan hak perempuan termasuk hak atas kesehatan reproduksi dan seksualitas.
8. Tidak adanya pemberatan hukuman atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan atas dasar kebencian atas kebencian atau diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan atau yang dikenali dengan istilah femisida;
9. Pengingkaran jaminan atas hak hidup dan bebas dari penyiksaan akibat ketentuan pidana mati (pasal 98-102) meski dimaksudkan sebagai alternatif terakhir dan kemungkinan komutasi, yaitu dengan berlakunya masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun untuk kemudian beralih menjadi pidana seumur hidup. Hukuman mati melanggar hak asasi manusia paling dasar dan tidak dapat dikurangi (non-derogable right). Sementara itu, sejumlah kajian telah menunjukkan bahwa pemenuhan keadilan untuk korban tidak dapat dipenuhi dengan pidana mati. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa mereka yang berada dalam ‘deret tunggu pun kerap merasakan situasi yang tidak pasti dan justru menimbulkan siksaan mental dan fisik.
10. Risiko berkurangnya jaminan hak dasar karena rumusan multitafsir, antara lain atas kemerdekaan beragama/berkeyakinan dengan Pasal yang masih mengadopsi cara pandang proteksionis bagi kelompok mayoritas dan dominan pada kelompok agama tertentu, atas kemerdekaan berpendapat dan atas hak untuk pembelaan hak terkait tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara
- Melakukan langkah-langkah konstitusional untuk mengoreksi rumusan norma dalam KUHP;
- Merumuskan pedoman penafsiran KUHP yang meminimalisir reduksi jaminan pelindungan hak-hak konstitusional, di antaranya pada hak untuk bebas dari diskriminasi, atas rasa aman, atas hak hidup dan bebas dari penyiksaan serta hak-hak dasar lainnya; dengan perhatian khusus pada kerentanan perempuan yang berlapis;
- Menguatkan mekanisme pengawasan atas implementasi KUHP, termasuk lembaga nasional HAM seperti Komnas Perempuan.
Narasumber:
1. Siti Aminah Tardi
2. Theresia Iswarini
3. Rainy M Hutabarat
4. Andy Yentriyani
5. Olivia Salampessy
Narahubung: 0813-8937-1400