...
Pernyataan Sikap
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) Per 9 November 2022 dan Pembahasan RKUHP 24 November 2022

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan

Terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

(RKUHP) Per 9 November 2022 dan Pembahasan RKUHP 24 November 2022

 

 

Pastikan Revisi KUHP Meneguhkan Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, termasuk Kekerasan Seksual 

 


Jakarta, 28 November 2022

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai lembaga nasional HAM dengan fokus pelindungan dan pemajuan hak-hak perempuan, terutama untuk bebas dari segala bentuk kekerasan, memantau rapat dengar pendapat Pemerintah dengan DPR RI tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 24 November 2022. Merespons dengar pendapat tersebut, Komnas Perempuan mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk memastikan revisi KUHP tersebut meneguhkan upaya penghapusan segala bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. 

 

Atas draft RKUHP 9 November 2022 dan Pembahasan pada 24 November 2022 tersebut, Komnas Perempuan mengapresiasi  upaya Pemerintah dan DPR RI untuk memastikan RKUHP sinkron dan meneguhkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan antara lain: 


  1. Mengadopsi tanggapan DIM Komnas Perempuan dengan menegaskan bahwa delik pidana terkait memudahkan percabulan dan persetubuhan, percabulan, persetubuhan, dan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
    1. RKUHP Pasal 425 menyatakan: Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 416 sampai dengan Pasal 424 merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan Pasal 475 Ayat 2 butir (11)  yang menegaskan bahwa semua pengaturan tentang perkosaan merupakan tindak pidana kekerasan seksual. 
    2. Pasal 416-424 sendiri mengatur pemidanaan tentang pencabulan dengan ragam kualifisir di bagian kelima bab tindak pidana kesusilaan, di antaranya tindak pidana terkait memudahkan percabulan dan persetubuhan dan percabulan terhadap anak.
    3. Ketentuan Pasal 425 KUHP merupakan bridging article ke UU TPKS. Dengan demikian, korban TPKS yang delik pidananya diatur dalam (R)KUHP dapat mengakses hak-hak korban dan ditangani dengan hukum acara pidana khusus penanganan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 
  1. Mengadopsi pemahaman yang mutakhir dan kontekstual tentang tindak pidana perkosaan sehingga tidak terbatas pada penetrasi alat genitalia laki-laki pada perempuan; 
  2. Memperluas pelindungan bagi perempuan dari kehamilan yang tidak diinginkan akibat berbagai tindak kekerasan seksual; 

 

Namun, Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa ada sejumlah penyempurnaan yang perlu dilakukan untuk memastikan pelindungan kelompok rentan dari diskriminasi dan kekerasan, (perempuan, lansia, anak dan penyandang disabilitas), khususnya dari tindak kekerasan berbasis gender dengan antara lain:  


1.    Memastikan Revisi KUHP agar sinkron dan harmonis dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan hak-hak korban atas pelindungan, penanganan dan pemulihan dipenuhi negara, termasuk: 

  • Memperbaiki sejumlah redaksi dalam pengaturan tentang kejahatan atas kesusilaan yang memiliki perlintasan dengan persoalan kekerasan seksual, antara lain dengan melindungi perempuan yang mengalami eksploitasi seksual melalui janji kawin dari risiko kriminalisasi tindak pidana perzinahan; 
  • Mengurangi potensi kriminalisasi berlebih (overcriminalization), termasuk dengan a) memidanakan persetubuhan secara sukarela dengan seseorang yang bukan suami atau istrinya hanya ketika salah satunya di dalam ikatan perkawinan dan atas dasar delik aduan,  b) memidanakan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang dilakukan atas persetujuan bersama hanya ketika salah satunya di dalam ikatan perkawinan dan atas dasar delik aduan; 
  • Memperbaiki redaksi yang bersifat sumir, misal pada pasal 415 mengenai persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang diketahui merupakan anggota keluarga batih. Tindakan ini dapat merupakan sebuah tindak pelanggaran kesusilaan tetapi juga bisa jadi tindak kekerasan seksual.  
  • Memindahkan pasal 415 dan keseluruhan bagian kelima dari Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan tentang pencabulan sehingga bergabung dengan Bab XXII Tindak Pidana Terhadap Tubuh. Persetubuhan dengan seseorang dalam keluarga batih dan perbuatan cabul secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap seseorang dalam keadaan pingsan, atau tidak berdaya, yang diketahui atau patut diduga anak, tidak hanya melanggar kesusilaan masyarakat semata. Dalam kondisi-kondisi tersebut korban tidak dapat bersetuju atas perlakuan cabul tersebut tetapi karena berada dalam kondisi subordinat, rentan atau memiliki ketergantungan terhadap pelaku. Apalagi jika korban dalam kondisi pingsan, kondisi disabilitas atau tidak berdaya atau korban berusia anak;
  • Melakukan harmonisasi tindak pidana perampasan kemerdekaan seseorang untuk tujuan penguasaan di dalam perkawinan (Pasal 456 RKUHP) dengan Pasal tentang tindak Pidana Pemaksaan Perkawinan (Pasal 10 UU TPKS) dengan meningkatkan ancaman pidana dari 7 tahun penjara menjadi 9 tahun penjara dan dengan membuat pasal jembatan yang menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan tindak pidana kekerasan seksual;
  • Membuat norma yang lebih jelas mengenai pemidanaan pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi. Jika tidak diatur, maka pasal pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi tidak dapat dipidana karena tidak dinyatakan dalam rumusan unsur-unsur perbuatan yang dilarang.  
  1. Menghapus pasal 432 dan 462 yang melakukan over criminalization terhadap perempuan karena menempatkan ibu sebagai subjek pemberat hukuman pada tindak penelantaran anak dan pembunuhan bayi, dengan mengabaikan penelantaran oleh pihak laki-laki yang menyebabkan pihak perempuan tersebut takut bahwa kelahiran anak tersebut diketahui orang lain

 

  1. Memberikan pemberatan hukuman atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan atas dasar kebencian atas dasar apa pun, termasuk karena agama, ras, etnis, dan pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan atau yang dikenali dengan istilah femisida;

 

  1. Memastikan pencegahan atau tidak terjadi penghukuman terhadap perempuan korban dalam norma pemidanaan yang berkaitan dengan hak kebebasan masyarakat sipil serta kekerasan berbasis gender lainnya;


Komnas Perempuan merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI melakukan pembahasan substansi lanjutan dengan mengintegrasikan pandangan 1-4 di atas, serta sebagai catatan lain untuk penyempurnaan RKUHP yang telah disiapkan oleh Komnas Perempuan maupun menimbang masukan dari berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya, khususnya organisasi hak asasi manusia.

Juga, Komnas Perempuan mendukung dan mengajak masyarakat sipil, pemuka agama, akademisi, Lembaga Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan dan media massa untuk terus mengawal dan memberikan saran dan masukan terhadap pembahasan RKUHP. 

 

Narasumber:

1.     Siti Aminah Tardi

2.     Rainy M Hutabarat

3.     Theresia Iswarini

4.     Olivia Ch Salampessy

5.     Andy Yentriyani 

 

Narahubung: 0813-8937-1400

 

 

Lebih lengkap masukan Komnas Perempuan pada naskah RKUHP per 9 November dapat diunduh di lampiran di bawah ini.

 

 

 

 

 

 


Pertanyaan / Komentar: