...
Sambutan Ketua
Kata Sambutan dalam Media Briefing KuPP tentang Pekan Anti Penyiksaan

“Stop Penyiksaan, Tegakkan HAM”

 

Jakarta, 24 Juni 2024

 

Selamat pagi,

Salam Indonesia yang Bhinneka,

Yang terhormat Ibu dan Bapak Anggota KUPP, yakni perwakilan Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, Ombudsman RI, dan KND

Yang terhormat Ibu, Bapak dan Rekan-rekan perwakilan Kementerian dan Lembaga

Yang kami hormati, khususnya pendamping korban, akademisi, serta para tamu undangan dan tentunya rekan-rekan media yang kami banggakan,

 

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, serta dengan semangat kemanusiaan untuk menghapuskan segala bentuk penyiksaan, serta memastikan perlindungan HAM bagi semua, kita dapat berkumpul di sini untuk melaksanakan Media Briefing KuPP tentang Pekan Anti Penyiksaan yang mengusung tema "Stop Penyiksaan, Tegakkan HAM".

 

Ibu, Bapak, dan Rekan-rekan,

 

Kita semua paham bahwa Negara memiliki kewajiban untuk menjamin setiap warga negaranya untuk bebas dari penyiksaan dan juga mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk ancaman dan ketakutan. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Bahkan dalam Pasal 28I ayat (2) menyatakan bahwa ini adalah salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Sekalipun di dalam prosesnya sendiri memiliki sejumlah polemik, terutama terkait dengan bentuk-bentuk penghukuman, termasuk juga hukuman mati, yang ada kaitannya dengan hak untuk hidup.

 

Perlindungan pada hak yang sama untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejan dan juga tidak manusiawi ini juga tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan, yang mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam mencegah tindak penyiksaan. Berarti sudah 26 tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture/CAT) pada 28 September 1998. Langkah ini diambil sebagai bagian dari komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah segala bentuk penyiksaan serta perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

 

Langkah ratifikasi ini sebetulnya adalah penegasan dari komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia untuk memastikan bebas dari penyiksaan yang sebagaimana kita kenali. Dan ini juga merupakan langkah yang signifikan untuk menegakkan standar internasional dalam perlindungan hak asasi manusia, dengan memastikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang nasional lainnya sejalan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut.

 

Salah satu hal yang kini sedang diskusikan bersama dengan KuPP adalah bagaimana memastikan nanti revisi KUHAP kita akan juga menegaskan komitmen anti penyiksaan setelah revisi KUHP yang akan diberlakukan di tahun 2026 juga sudah menyebutkan secara eksplisit larangan melakukan penyiksaan. Karena KUHP sebelumnya tidak ada pernyataan eksplisit tentang penyiksaan tersebut.

 

Komnas Perempuan juga secara kelembagaan, di dalam statuta pendiriannya menjadi lembaga satu-satunya yang disebutkan secara eksplisit harus mengembangkan kerangka kerja selain dengan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sudah diratifikasi dengan UU no. 7 tahun 1984, juga dengan konvensi menentang penyiksaan dan pelakuan lain yang keji ataupun tidak manusiawi. Karena itu Komnas Perempuan mengembangkan sejumlah pemantauan seperti pemantauan di dalam proses penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan di kepolisian, 2) Penyiksaan dan ill treatment dalam konteks situasi di rutan, lapas, rudenim, atau instalasi tahanan militer, 3) konteks serupa tahanan baik yang dikelola secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam pengawasan pemerintah/instansi lainnya seperti praktik-praktik tradisi berbahaya/merendahkan martabat yang seharusnya dicegah (pemasungan, pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan/P2GP (FGM), dan 4) konteks lain untuk mengeksplorasi berbagai perbuatan penyiksaan dalam perspektif CAT, seperti praktik hukuman badan (corporal punishment), konflik sumber daya alam, intoleransi pada kelompok minoritas, delayed in justice kasus-kasus kekerasan seksual dan KDRT, serta Pelanggaran HAM masa lalu.

 

Dalam konteks pelanggaran HAM berat masa lalu, Komnas Perempuan mempelajari 122 kesaksian perempuan korban dan penyintas Peristiwa 1965 yang menunjukkan adanya indikasi kuat terjadinya penyiksaan seksual yang dilakukan oleh aparat mulai dari proses penangkapan hingga dalam penahanan.  Kemudian pemantauan pada Desember 2011 s/d Agustus 2012, Komnas Perempuan melakukan pemetaan kondisi perempuan dalam tahanan dan serupa-tahanan (panti rehabilitasi sosial) di Bali, Jakarta, Tangerang dan Malang. Hasilnya menunjukkan bahwa penyiksaan oleh petugas lapas berupa pemukulan serta kondisi yang tidak manusiawi seperti over capacity, akses air yang tidak memadai, korupsi sistemik dan lain sebagainya dibiarkan terjadi.

 

Selama 10 tahun terakhir, baik Komnas Perempuan maupun Komnas Perempuan bersama dengan KuPP melakukan beberapa kunjungan ke lembaga-lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan. Dan dari hasil pemantauan selam 10 tahun ini kami mengenali bahwa ada perbaikan-perbaikan kondisi yang signifikan sekalipun kondisi umum seperti over capacity masih dirasakan, hak maternitas yang belum terpenuhi, tetapi sekurang-kurangnya tindak-tindakan seperti hukuman badan itu semakin jarang kami temukan.

 

Dalam data yang terbaru Catatan Tahunan 2023, Komnas Perempuan mencatat tiga kasus yang menunjukkan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap perempuan narapidana dan perempuan berhadapan dengan hukum (PBH). Kasus pertama melibatkan seorang pekerja perempuan di Jawa Barat yang dituduh menyalahgunakan uang perusahaan. Korban dipaksa menulis surat pernyataan di bawah tekanan dan dilaporkan ke polisi meskipun sudah mengajukan permohonan untuk mencicil pengembalian uang. Tanpa pendampingan hukum, korban yang hamil delapan bulan dipenjara dalam kondisi tidak layak, tidur di atas tripleks, dan tidak mendapatkan akses pemeriksaan kehamilan.

 

Kasus kedua adalah kasus pelanggaran hak atas keadilan dan penyiksaan berbasis gender yang terjadi di Sumatera Barat.  Seorang pemandu karaoke dipersekusi oleh sekitar 300 orang yang menuduhnya sebagai penjaja seks. Korban ditelanjangi, dilecehkan, dan diancam dibakar serta dilempar ke laut. Polisi meminta korban dan massa berdamai, dengan korban dijamin tidak akan keluar malam lagi. Video persekusi viral, namun korban tidak mendapatkan hak atas pemulihan, tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai, dan pengurus rutan mengabaikan hak maternitas. Aparat penegak hukum lebih tunduk pada tekanan massa daripada memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban.

 

Kasus ketiga, yakni penyiksaan seksual yang dialami oleh transpuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa kelompok transpuan lebih rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasikan kelompok transpuan dari ekspresi gender, serta kuatnya stigma dan stereotipe yang dilegitimasi dengan ajaran-ajaran agama menurut tafsir mereka.

 

Komnas Perempuan mencatat perempuan yang berhadapan dengan hukum sering mengalami diskriminasi dan kriminalisasi karena konstruksi masyarakat yang patriarki. Meskipun ada peraturan untuk perlindungan perempuan dalam proses hukum, perlakuan terhadap mereka masih cenderung bias dan tidak berpihak pada perempuan. Persepsi diskriminatif yang sudah mengakar, sementara status korban yang rentan dan terpinggirkan, cenderung membuat mereka tidak mampu meminta pertanggungjawaban dari para pelaku, sehingga menumbuhkan impunitas. Stereotip gender kerap meremehkan rasa sakit dan penderitaan yang ditimbulkan oleh praktik-praktik tertentu terhadap perempuan, dan kelompok rentan lainnya.

 

Untuk menguatkan temuan dan pola penyiksaan serta ill treatment, Komnas Perempuan bersama Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KUPP) tengah menyiapkan Laporan 25 Tahun Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan. KUPP merupakan inisiatif kolaboratif yang melibatkan Komnas Perempuan, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Dengan menggabungkan tugas, fungsi, serta mandat spesifik masing-masing lembaga negara, sebetulnya kerja KUPP merujuk pada mekanisme pencegahan penyiksaan nasional (NPM) yang diamanatkan dalam Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) yang saat ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

 

Hadirnya OPCAT akan memperkuat komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM dan menyediakan kerangka kerja yang lebih baik untuk mencegah penyiksaan seksual di tempat penahanan. Penyiksaan seksual secara khusus telah diatur di dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sedangkan larangan penyiksaan secara umumnya juga secara eksplisit telah diatur dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  OPCAT memungkinkan pihak berwenang untuk secara berkala memeriksa tempat penahanan dan serupa tahanan, mengidentifikasi bentuk-bentuk dan dampak penyiksaan, dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan. Ratifikasi OPCAT akan memberikan perlindungan yang lebih komprehensif terhadap korban penyiksaan seksual dan memperkuat upaya pencegahan penyiksaan di Indonesia.

 

Ibu, Bapak, dan Rekan-rekan,


Melalui peliputan dan penyebaran informasi, media juga berperan untuk membantu proses pengawasan serta advokasi kebijakan publik yang mendukung perlindungan hak asasi manusia. Karenanya, atas dukungan kawan-kawan media Komnas Perempuan atas nama dan selaku koordinator KUPP mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerja sama. Perlu kami informasikan pula dalam peringatan Hari Anti Penyiksaan pada tahun ini dilaksanakan oleh sekurang-kurangnya 20 organisasi yang meliputi Anggota KUPP, akademisi dan organisasi masyarakat sipil di beberapa daerah, meningkat dari tahun lalu sebanyak 17 organisasi. Selain kegiatan yang digagas oleh KUPP kebanyakan akan dilaksanakan pada hari peringatannya, 26 Juni. Untuk lebih lengkap tentang agenda kegiatan akan disampaikan oleh rekan yang lain nanti dalam pembahasan. Jumlah organisasi yang terlibat dalam kampanye stop penyiksaan menunjukkan komitmen kita bersama yang terus tumbuh.

 

Ibu, Bapak, dan Rekan-rekan,


Perkenankan saya menggunakan kesempatan ini untuk juga berterima kasih kepada tim di Komnas Perempuan yang selama ini mengawal advokasi anti penyiksaan, terutama sub-komisi partisipasi masyarakat yang memastikan terselenggaranya media briefing hari ini. Juga kepada rekan-rekan tim media dari lembaga-lembaga anggota KUPP. Serta tentunya para komisioner yang berkenan menjadi pembicara dalam media briefing ini, yaitu Ibu Putu Elvina (Komisioner Komnas HAM), Bapak Veryanto Sitohang (Komisioner Komnas Perempuan), Ibu Dian Sasmita (Komisioner KPAI), Bapak Jemsly Hutabarat (Anggota Ombudsman RI), Bapak Alu Nursahid (Tenaga Ahli LPSK), Ibu Fatimah Asri (Komisioner KND).

 

Demikian kata sambutan saya sampaikan. Mari bersama-sama kita wujudkan Indonesia yang bebas dari penyiksaan dan menghormati hak asasi manusia.

 

Terima kasih.

Salam Indonesia yang Bhinneka,

 

Ketua

Andy Yentriyani


Pertanyaan / Komentar: