...
Sambutan Ketua
Kata Sambutan Ketua Komnas Perempuan di Konferensi Internasional Komnas Perempuan-Lemhannas (26 November 2020)

Kata Sambutan Ketua Komnas Perempuan di Konferensi Internasional Komnas Perempuan-Lemhannas

Building Grounded & Sustainable Peace: Women’s Experience in Post Conflict Situations and the Realm of Radicalism” 

Jakarta, 26 November 2020

 

 

Yang Saya hormati

  • Para perempuan penyintas dan perempuan pembela HAM yang hadir bersama
  • Gubernur Lemhannas, LetJen (Purn) Agus Widjojo
  • Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, atau yang mewakili
  • Wakil Gubernur Lemhannas, Marsdya TNI Wieko Syofyan
  • Sestama Lemhannas, Komjen Prof. Drs. Didid Widjanardi, S.H.  
  • Deputi Bidang Pengkajian StrategisLemhannas, Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P, serta jajaran
  • Direktur HAM dan Kerjasama, Kemenlu, Achsanul  Habib,
  • Direktur Instrumen HAM, Kementerian Hukum dan HAM, Timbul Sinaga
  • Para narasumber dan penanggap
  • Perwakilan dari UN Women dan Organisasi PBB lainnya, dari Kedutaan Besar Inggris, Kanada, Jerman dan lainnya serta para undangan
  • Rekan-rekankomisioner dan badan pekerja Komnas Perempuan yang saya banggakan

 

Selamat pagi, Selamat datang. Salam sehat dan salam nusantara.

Penuh syukur kita panjatkan kepada Sang Maha Pengasih yang memberikan nikmat sehat dan usia sehingga kita semua dapat berkumpul pada hari ini, baik secara online maupun onsite, untuk bersama-sama mengikuti konferensi internasional Perempuan, Perdamaian dan Masyarakat Inklusif, dengan topik Building Grounded & Sustainable Peace:  Women’s Experience in Post Conflict Situations and the Realm of Radicalism.

Konferensi ini  merupakan kerjasama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Membangun perdamaian yang membumi dan berkelanjutan adalah salah satu topik penting di tingkat global.

Di Indonesia, dalam perjalanan 22 tahun reformasi, kita terus bergumul dengan persoalan konflik. Daerah Operasi Militer di masa Orde Baru terus menghadapi situasi yang belum aman. 15 tahun perdamaian Aceh masih menyisakan banyak pertanyaan mengenai pemulihan korban, sementara tingkat kekerasan di Papua masih sangat memprihatinkan. Juga, persoalan di perbatasan Timor Barat yang terkait dengan ekses pengungsian pada masa referendum 1999 lalu. Berbagai upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu juga belum menemukan titik terang.

Ada pula daerah yang segera menghadapi situasi konflik antar kelompok masyarakat berbasis agama ataupun etnis di tengah masa transisi politik Indonesia. Potensi konflik ini terus laten hidup di dalam masyarakatnya dan terutama akan mencuat kembali ketika ada peristiwa kontestasi politik di daerah tersebut, misalnya dalam pemilihan kepala daerah.

Kita juga menghadapi situasi dimana konflik sumber daya alam dan agraria terus meningkat: Konsorsium Agraria mencatat bahwa sepanjang 2019 terjadi 279 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia, mencapai 734 ribu hektar lahan dan berdampak pada sekitar 109 ribu Kepala Keluarga (KK). 

Sepanjang tahun 2003 hingga 2020 saja, Komnas Perempuan telah menerima sekurangnya 57 laporan mengenai konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan atau perusahaan berkaitan dengan sengketa lahan untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam maupun dalam pembangunan infrastruktur.

Sama peliknya adalah konflik yang diakibatkan oleh intoleransi beragama yang terus menguat. Kita mengenali bahwa radikalisasi yang terjadi di dalam masyarakat bahkan menempatkan perempuan sebagai pelaku aktif kekerasan, termasuk bom bunuh diri.

Di dalam seluruh situasi yang saya sebutkan itu, perempuan menjadi korban secara langsung maupun tidak langsung dan posisi ini tidak lepas dari konstruksi gender di dalam masyarakatnya.

 

Ibu, Bapak, dan rekan-rekan sekalian

Penting untuk kita mencatat bahwa selain sebagai korban ataupun bagian dari kelompok bersenjata yang bertikai, perempuan juga hadir sebagai agen-agen perdamaian di dalam berbagai konteks konflik ini. Studi pada dokumen-dokumen perjanjian perdamaian di berbagai konteks konflik di seluruh dunia menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang terlibat dalam perundingan formal masih sangat terbatas. Namun, keterlibatan perempuan berkontribusi signifikan agar durasi perdamaian dapat lebih panjang. Dalam segenap keterbatasan dan minimnya dukungan, kelompok perempuan tidak pernah surut untuk terus mengupayakan agar persoalan atau dampak konflik dapat ditangani dan konflik serupa dapat dicegah untuk berulang kembali.

Hal ini mengingatkan kita bahwa ketika membincang upaya untuk membangun perdamaian yang membumi dan berkelanjutan, kita perlu berkaca dan membangun kekuatan dari pengalaman perempuan menyemai perdamaian, di dalam hal ini pada situasi pasca konflik dan juga di dalam menghadapi realitas radikalisme yang berlangsung.

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,

Bagi Komnas Perempuan, pemulihan perempuan korban konflik dan mendukung upaya-upaya perempuan untuk membangun perdamaian adalah salah satu isu utama yang digelutinya, sejak lembaga ini berdiri pada tahun 1998.

Sebagaimana yang kita tahu, Komnas Perempuan lahir di tengah tragedi kemanusiaan Mei 98 dimana terjadi penyerangan seksual terhadap perempuan di tengah perusakan dan penjarahan di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Tragedi kemanusiaan ini mendorong masyarakat sipil, khusus kelompok perempuan, mendesak kepada negara untuk bertanggung jawab pada kekerasan terhadap perempuan.

Presiden BJ Habibie kemudian mengeluarkan sebuah keputusan presiden yang menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan dengan mandat untuk mewujudkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. Keputusan presiden No. 181 Tahun 1998 ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.

Pelaksanaan mandat pemantauan, pencarian fakta, pendokumentasian dan kajian menjadi langkah Komnas Perempuan untuk menemukenali pengalaman perempuan dan menjadikannya sebagai pondasi untuk mendorong perubahan kebijakan, seperti dalam memastikan perlindungan bagi saksi dan korban, dalam penanganan bencana dan penanganan konflik sosial.

Di tingkat daerah, Komnas Perempuan menggandeng pemerintah setempat sehingga lahir a.l. Perdasus Papua untuk pemulihan korban ataupun kebijakan DKI Jakarta untuk penetapan memorialisasi Tragedi Mei 1998.

Sementara di tingkat internasional, Komnas Perempuan terlibat dalam perumusan rekomendasi umum no. 30 Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW) mengenai perempuan dan konflik.

 

Ibu, Bapak, dan rekan-rekan sekalian

Mengupayakan pemulihan bagi perempuan korban konflik dan mendukung kepemimpinan perempuan dalam membangun perdamaian merupakan langkah strategis untuk mendukung pemenuhan hak konstitusional, terutama pada jaminan atas rasa aman, kehidupan yang bermartabat dan bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun.

Komnas Perempuan sangat berbangga bahwa Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) juga memiliki aspirasi serupa. Hal ini tidak terlepas dari kepemimpinan Bpk Letjen (Purn) Agus Widjojo yang juga kita kenali kiprahnya di dalam mendorong upaya-upaya perdamaian dalam berbagai ruang.

Tentunya kami sangat berharap bahwa kerjasama dalam menyelenggarakan konferensi internasional  ini akan berlanjut dengan lebih menginstitusionalisasikan perspektif gender di dalam kajian-kajian dan pendidikan tentang ketahanan nasional. Hal ini terutama mengingat bawah isu perang-damai, keamanan dan pertahanan masih kental watak maskulin yang dapat menjadi penghalang bagi terselenggaranya agenda keadilan transformatif sebagai dasar bagi perdamaian yang sejati. Apalagi, kondisi yang aman dan damai merupakan modalitas penting dalam pembangunan, sekaligus capaian yang diharapkan dalam agenda pembangunan yang berkelanjutan 2030.  

 

Ibu, Bapak, dan rekan-rekan yang saya muliakan

Konferensi internasional yang menghadirkan para pembicara dan penanggap yang mumpuni: akademisi dan praktisi di tingkat internasional, regional dan nasional. Kami berterimakasih karena Prof Fabian Savioli, akademisi yang juga merupakan Pelapor Khusus PBB untuk Keadilan Transisi, serta Dr. Mossarat Nadim, akademisi dan praktisi deradikalisasi di Pakistan dapat turun rembug bersama Prof. Dr. Jenny Malik  dan Prof. Dr. Alimatul Qibiyah bersama para penanggap dan hadirin.

Semoga dari diskusi ini kita dapat memetik pembelajaran lebih lanjut dari upaya-upaya yang telah digulirkan oleh perempuan dalam menyemai damai, serta mendapatkan inspirasi untuk langkah-langkah strategis ke depan dalam membangun perdamaian yang membumi dan berkelanjutan.

Konferensi internasional ini juga dilaksanakan untuk memperingati hari internasional menentang kekerasan terhadap perempuan yang jatuh pada tanggal 25 November setiap tahunnya. Pada tahun ini juga kita tengah memperingati 20 tahun resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 yang merupakan dokumen komitmen negara-negara untuk mendukung inisiatif dan kepemimpinan perempuan dalam upaya perdamaian selain memastikan integrasi perspektif gender di dalam upaya mengatasi konflik.

 

Ibu, Bapak, dan rekan-rekan yang berbahagia

Kami sungguh mengapresiasi dukungan dari berbagai pihak, terutama kepada Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, para pemateri dan penanggap, dan moderator. Terimakasih juga kami sampaikan kepada tim dari Lemhannas dan Komnas Perempuan, rekan JBI, penerjemah semua pihak yang telah bekerja keras dalam menyiapkan kegiatan ini.

Bila ada kekeliruan dan juga kekurangan di dalam penyelenggaraan kegiatan ini, kami mohon maaf. Namun semoga hal itu tidak mengurangi nilai manfaat dari kegiatan ini, bagi diri kita masing-masing dan secara kelembagaan, baik di Indonesia maupun di negara lainnya, demi menghadirkan perdamaian dunia.  

Demikian yang dapat saya sampaikan dalam sambutan ini.

Terimakasih atas perhatian Ibu, Bapak dan Rekan-rekan sekalian.

Selamat pagi & selamat mengikuti konferensi.

  

 

Andy Yentriyani

(Ketua Komnas Perempuan)

 


Pertanyaan / Komentar: