Kata Sambutan Ketua Komnas Perempuan
Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara
Jakarta, 28 Oktober 2021
Yang terhormat,
· Para Perempuan/Ibu Nusantara yang sudah berpartisipasi dalam Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara
· Jaringan mitra Komnas Perempuan terutama kawan-kawan yang bergerak mengawal isu keberagaman untuk terus menjaga dan merawat kebangsaan
· Para narasumber:
-Ibu Niluk Djelantik founder dari brand Niluk Djelantik
- Bapak Athan Siahaan, seorang fashion designer yang berfokus pada wastra nusantara
· Moderator, Mbak Monica
· Ibu/Bapak Komisioner Komnas Perempuan dan komisioner purna bakti
· Rekan-rekan badan pekerja
Salam Nusantara,
Salam Kebajikan
Penuh rasa syukur kita kepada Sang Semesta yang masih memberikan kita nikmat sehat, waktu dan senang untuk bisa berjumpa bersama dalam rangkaian ulang tahun komnas perempuan ke 23 tahun dan hari Sumpah Pemuda yang kita peringati bersama hari ini melalui kegiatan Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara dengan berbagai ekspresi penutup kepala yang dipakai Ibu/Bapak hadirin peserta hari ini. Semoga kita terus tidak takut, malu atau ragu mengekrepresikan apa yang menjadi indentitas kita sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain..
Hadirin yang berbahagia,
Tepat dimomen Sumpah Pemuda hari ini, kita diberikan energi kembali untuk merefleksikan perjalanan bangsa yang lahir dari semangat anak muda dari berbagai latar belakang berbeda bersama-sama menyatakan diri mau menjadi sebagai satu kesatuan negara bangsa Indonesia. Dari janji ini, lahirlah Indonesia yang hari ini dihuni oleh lebih 270 juta penduduk dari lebih 300 kelompok etnis dengan 800 bahasa lokal dan dialek. Kaum perempuan terlibat aktif dalam konggres pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda tersebut. Konggres pemuda ini mempunyai keterhubungan dengan lahirnya konggres perempuan yang kita dikenal sebagai hari Ibu. Sejarah sumpah pemuda mencatat kontribusi peran perempuan sangat besar membangun bangsa hingga saat ini.
Jika kita melihat mobilitas perempuan dimasa itu sangat fleksibel tanpa ada hambatan dalam berkontribusi untuk bangsa dan dalam kehidupannya sehari-hari termasuk cara berbusana, dan lainnya, namun berbeda situasinya hari ini. Perempuan terbelenggu dalam kebijakan diskriminatif baik itu di tingkat pusat maupun daerah, yang dapat membatasi dirinya dalam ekspresi dan aktivitas sehari-hari. Yaitu meliputi pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan, kriminalisasi terhadap perempuan, pembatasan kebebasan berekspresi melalui penyeragaman busana baik di lingkungan pendidikan maupun layanan publik, serta pembatasan jam malam bagi perempuan yang keseluruhannya menjadikan perempuan mengalami kerentanan berlapis.
Pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kelahiran kebijakan yang diskriminatif berkait dengan penguatan politik identitas primordial, terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Juga, bertaut dengan percepatan otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yang mumpuni, serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripada substantif. Dalam kebijakan yang lahir di situasi ini, kelompok minoritas diperintahkan untuk “menyesuaikan diri” yang berarti tunduk pada pengaturan yang mengunggulkan identitas tunggal kelompok “mayoritas”.
Dalam hal ini, minoritas mencakup mereka yang berbeda agama/keyakinan ataupun seagama tetapi berbeda pandang dengan kelompok pengusung kebijakan itu. Komnas Perempuan sepanjang 2009-2020 mencatat bahwa pihak yang berbeda pandang mengenai aturan tersebut dapat merisikokan diri untuk mengalami diskriminasi dan pengabaian dalam layanan publik, memperoleh sanksi sosial berupa ejekan dan pengucilan, atau sanksi administratif jika bekerja sebagai pegawai, juga kemungkinan kekerasan dan persekusi. Akibatnya, banyak pihak yang berbeda pendapat memilih berdiam diri, tunduk pada aturan tersebut meski tidak sesuai dengan hati nurani. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan sebagai tanda “tidak ada yang berkeberatan” untuk menjustifikasi keberadaan kebijakan diskriminatif itu.
Ibu Bapak dan rekan-rekan sekalian,
Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara ini digagas oleh Komnas Perempuan karena kami meyakini banyak hal yang bisa kita gali dari bumi nusantara ini dalam melihat keragaman cara berbusana, salah satunya dengan menggali keberagaman penutup kepala yang digunakan para perempuan nusantara dalam mengekspresikan identitasnya sebagai bagian dari perekat Bhinneka Tunggal Ika.
Merawat kebangsaan, merayakan keberagaman merupakan tema festival ini untuk melawan bentuk-bentuk penyeragaman termasuk berbusana berdasarkan ajaran agama tertentu yang dilegalkan melalui beragam jenis kebijakan di daerah, yang terjadi baik di lingkungan pendidikan, pemerintahan maupun kantor-kantor swasta. Penyeragaman tersebut tentu saja bukan hanya berdampak pada pembatasan hak untuk berekspresi namun juga hak atas jaminan beragama dan berkeyakinan.
Pengaturan kewajiban busana berdasarkan agama tertentu tersebut, juga dicatatkan didasarkan atas nama “lokalitas”. Pemaksaan pengaturan busana berdasarkan keyakinan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan melalui pembatasan hak berekspresi, dan bentuk penyeragaman terhadap ekspresi perempuan dalam berbusana. Tentu pembatasan ini merupakan pelanggaran konstitusi, UUD 1945, yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara dan merupakan hukum yang fundamental, sebagai sumber legitimasi, landasan hukum atau peraturan peraturan perundang undangan lainnya di tingkat nasional maupun daerah.
Di Indonesia, penutup kepala merupakan khazanah budaya yang ada di nusantara dengan beragam nama dan fungsi, seperti rimpu dari kabupaten Dompu tengkuluk dari Jambi, bulang simalungun dari Sumatera Utara, tikuluak tanduk dari Sumatera Barat, udeng/destar, turban, dan lainnya. Penutup kepala merupakan simbol dan atribut budaya yang mempunyai landasan filosofis dari daerah/adat yang ada, Sayangnya pengetahuan tentang ini di Indonesia sangat terbatas. Dalam keseharian di masyarakat, perempuan justru lebih banyak memperkenalkan secara tidak langsung ketika melakukan aktivitasnya misalnya saat upcara adat, berladang, berkebun, ke pasar dan lainnya.
Mari kenali apa yang sebenarnya sudah kita miliki, namun karena sekat-sekat penyeragaman membuat kita menjadi “terbiasa” terhadap situasi tersebut sehingga luput untuk mendalami kekayaan nusantara ini yang lahir dan terus dirawat oleh perempuan, si Ibu Nusantara. Festival ini merupakan bagian dari kampanye #BhinnekaItuIndonesia yang sudah dilakukan Komnas Perempuan setiap tahunnya sejak tahun 2012.
Akhir kata, selamat menggali keberagaman perempuan nusantara melalui penutup kepala
Mari terus Merawat Kebangsaan, dan tidak takut/ragu mengekpresikan keberagaman!
Salam Nusantara
Andy Yentriyani