...
Sambutan Ketua
Sambutan ketua Komnas Perempuan Atas penandatanganan MoU Komnas Perempuan dan KKR Aceh, dan diskusi daring “Peluang Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Masa Lalu Untuk Menguatkan Peran Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh.”

Sambutan ketua Komnas Perempuan

Atas penandatanganan MoU Komnas Perempuan dan KKR Aceh,

dan  diskusi daring “Peluang Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Masa Lalu Untuk Menguatkan Peran Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi  Aceh.”

 

9 Maret 2023 

 

 

Perkuat Mekanisme Non-Yudisial Dengan Perspektif Keadilan Gender

Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu 

 

 

 

Selamat siang, salam Nusantara yang Bhinneka 

 

Yang kita hormati dan banggakan bersama, komunitas penyintas pelanggaran HAM masa lalu dan para pendamping, khususnya di Aceh. Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, Bang Masthur Yahya, Ketua Pokja Perempuan KKR Aceh Kak Shali Maidelina, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kak Atnike Nova Sagiro, Bapak Brigjen TNI Rudy Syamsir, Deputi 3 Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kempenkopolhukkam, Ibu, Bapak dan para hadirin yang berbahagia 

 

Penuh syukur karena kita dalam kondisi sehat dan diberikan waktu untuk berkumpul bersama pada hari ini untuk bersama-sama mendiskusikan tentang “Peluang Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Masa Lalu Untuk Menguatkan Peran Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi  Aceh.” Diskusi ini juga akan menjadi ruang untuk menegaskan keberlanjutan kerjasama Komnas Perempuan dan KKR Aceh, sekaligus dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional dan menjelang peringatan 25 tahun Reformasi. 

 

Ibu, Bapak dan para sahabat yang dimuliakan, 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah sebuah lembaga independen, putri sulung reformasi, yang berperan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia dengan mandat spesifik untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. 

 

Komnas Perempuan lahir dari tragedi Mei 1998 yang begitu menghentak rasa kemanusiaan kita semua. Pengungkapan kasus kekerasan seksual yang terjadi di tengah-tengah kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya memungkinkan kasus-kasus lain dari kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di berbagai daerah juga diungkapkan, khususnya yang terjadi di wilayah yang menjadi daerah operasi militer, yaitu Aceh, Papua dan Timor Timur (yang kini menjadi Timor Leste). Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah daerah yang lain di Indonesia mengalami gejolak konflik yang tak pernah kita saksikan sebelumnya, seperti di Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan barat dan Kalimantan Tengah, Lampung, dan lain-lain. Pada berbagai konteks konflik ini, kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, terhadap perempuan seolah tak terelakkan. 

 

Ibu, Bapak dan saudara-saudara yang berbahagia, 

 

Bagi Komnas Perempuan, perjumpaan dengan perempuan korban konflik di Aceh sudah dimulai sejak awal ia berdiri dan memiliki makna yang sangat pivotal dalam pengembangan peran Komnas Perempuan. 

 

Salah satu langkah awal Komnas Perempuan adalah memfasilitasi perjumpaan komunitas korban, termasuk perempuan Aceh, dengan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan yang melakukan misi kunjungan ke Indonesia di tahun 1998. Pembelajaran dari proses ini menjadi fondasi bagi engagement Komnas Perempuan dengan mekanisme HAM internasional, terutama dengan prosedur khusus mekanisme HAM PBB hingga saat ini. 

Dari pengungkapan pengalaman para perempuan korban/penyintas dan pendamping, termasuk dari Aceh, Komnas Perempuan bersama berbagai organisasi masyarakat sipil menggulirkan gagasan tentang payung hukum dan mekanisme pelindungan bagi saksi dan korban. Hal ini dimaksudkan untuk merespon kekuatiran korban atas jaminan pelindungan bagi keselamatan diri, keluarga dan komunitasnya jika ia melaporkan kasusnya. Juga, kebutuhan korban untuk pendampingan yang bersifat multi-dimensi sejak ia melaporkan kasusnya hingga pasca persidangan. Gagasan inilah yang kemudian melahirkan UU dan lembaga perlindungan saksi dan korban, yang kini semakin gagah berdiri dan berjuang untuk melaksanakan amanatnya dengan optimal. 

 

Pada pengalaman Aceh pula Komnas Perempuan mulai mengembangkan pemantauan pada pengalaman perempuan berhadapan dengan hukum dan yang menjadi tahanan. Di antara lembaga-lembaga nasional HAM, hanya Komnas Perempuan yang di dalam statuta pendiriannya secara eksplisit dimandatkan untuk menggunakan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Penghukuman atau Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi  atau Merendahkan Martabat Manusia sebagai rujukan untuk pengembangan kerangka kerjanya, selain Konstitusi dan UU No. 7 Tahun 1984 yang merupakan pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. 

 

Untuk itu, bersama dengan lembaga pendamping perempuan, di situasi konflik yang masih berkecamuk meski sempat diintrodusir Jeda Kemanusian untuk menghentikan penggunaan senjata api, Komnas Perempuan melakukan dokumentasi tentang para perempuan yang ditangkap secara sewenang-wenang, ataupun dengan tuduhan penjualan ganja, yang dilatarbelakangi kecurigaan bahwa menjadi pendukung Gerakan Aceh Merdeka. Dokumentasi pada tahun 2003 ini semakin membuka pengetahuan kita bersama tentang makna konstruksi gender pada konflik di mana perempuan menjadi proxy target, target antara, sehingga secara tidak proporsional meningkatkan risiko perempuan pada kekerasan dan diskriminasi. 

 

Pada kondisi di Aceh pula kita bersama mempelajari bagaimana rentannya negosiasi perdamaian tanpa keterlibatan perempuan akan menjadi ruang untuk pengabaian hak-hak perempuan korban dan bahkan terbuka peluang bentuk kekerasan baru. Berawal dari upaya meredam keinginan referendum dengan memberikan otonomi khusus pada pelaksanaan Syariat Islam, tindak pemaksaan busana dengan menggunakan kekerasan yang diarahkan kepada perempuan mulai dilaporkan ke Komnas Perempuan pada penghujung 2001. Kondisi ini membuat komnas perempuan waspada pada risiko kekerasan terhadap perempuan sebagai alat potensi politisasi identitas, yang ternyata menguat di banyak daerah pasca UU Otonomi daerah diberlakukan di tahun 2004. Kondisi yang menghantarkan Komnas Perempuan mendesak perhatian serius negara untuk mengatasi kebijakan-kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang menempatkan perempuan sebagai penanggung beban utama pelaksanaan kebijakan serupa itu. 

 

Peristiwa bencana tsunami yang memporak-porandakan Aceh, disusul dengan Perjanjian Damai Helsinki 2005, membuka lembar baru interaksi pemerintah pusat dan pemerintah Aceh yang ditandai dengan pemberlakuan UU Pemerintah Aceh. 

 

Berdasarkan UU Pemerintahan Aceh inilah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dibentuk, sebuah lembaga penting yang diamanatkan untuk mengungkap kebenaran sebagai basis untuk merajut kembali kondisi sosial kemasyarakatan yang tercabik akibat konflik. Namun upaya pengembangan kelembagaannya cukup berliku, hingga akhirnya kebijakan daerah tentang pembentukan KKR disahkan pada 2013 dan lembaga ini dibentuk pada tahun 2016.  Padahal sebelumnya, ada dua badan lain yang telah dibentuk, yaitu Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh yang memfokuskan pada kondisi Aceh pasca bencana tsunami dan Badan Reintegrasi Aceh untuk menjalankan amanat MoU Helsinki. 

 

Hingga kini, Komnas Perempuan terus memantau perkembangan kondisi di Aceh, baik melalui pendokumentasian bersama, konsultasi dengan masyarakat sipil, dan dialog konstruktif dengan berbagai unsur pemerintahan. Pemantauan ini mencakup dampak konflik pada upaya perbaikan kondisi korban bencana tsunami, penyikapan pada pengalaman perempuan korban konflik, khususnya kekerasan seksual, dalam tata kelola reintegrasi, dukungan pemulihan dan pemberdayaan korban, serta dalam pelaksanaan otonomi khusus. 

 

Singkatnya, Komnas Perempuan pun bertumbuh bersama seiring dengan perkembangan situasi perempuan korban/penyintas berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan di Aceh. 

 

Ibu, Bapak, dan rekan-rekan yang dimuliakan 

 

Saya menyampaikan ini semua untuk menegaskan arti penting kerja bersama KKR Aceh bagi Komnas Perempuan. Kerjasama ini memikul pesan dari begitu banyak perempuan penyintas di Aceh dalam perjalanan Komnas Perempuan tentang makna damai dan adil bagi mereka. Pemaknaan yang tidak saja berporos pada kondisi diri sendiri atau keluarga, tetapi bagi komunitas dan masyarakat luas, sebagaimana yang dapat dibaca dalam berbagai publikasi Komnas Perempuan dari hasil kerja bersama dengan komunitas penyintas dan pendamping korban di Aceh. 

 

Kerjasama dengan KKR Aceh telah dimulai sejak periode pertama KKR Aceh, sekaligus periode kepemimpinan Komnas Perempuan 2014-2019. Dalam kerjasama ini, Komnas Perempuan memfokuskan dalam berbagi daya untuk menguatkan kelembagaan KKR Aceh dalam mengidentifikasi kekerasan berbasis gender di situasi konflik melalui kegiatan pengembangan kapasitas, perumusan instrumen pengambilan kesaksian, maupun dalam menghimpun data dan analisis. Juga untuk mengembangkan daya kepemimpinan perempuan korban dalam berpartisipasi secara substantif pada kerja-kerja KKR.  Proses penulisan analisis masih berlanjut dan ruang kerja sama terbuka luas untuk kita eksplorasi bersama, yang akan kita kukuhkan melalui penandatanganan MoU lanjutan kerjasama Komnas Perempuan dan KKR Aceh pada siang hari ini.   

 

Komnas Perempuan mengapresiasi langkah KKR untuk mengembangkan reparasi mendesak, yang tahap pertamanya telah terealisasi di tahun 2022 sekalipun tentunya ada ruang untuk perbaikan. Juga, untuk menggulirkan ruang-ruang rekonsiliasi, termasuk melalui dengan memorialisasi. 

 

Sebagai bentuk dukungan pada kepemimpinan perempuan, khususnya perempuan penyintas, dan upaya membentuk ruang pembelajaran publik untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM, Komnas Perempuan mendukung gagasan memorialisasi, termasuk pada lokasi Rumah Gedong yang dapat menjadi simbol komitmen untuk mencegah kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam kondisi apa pun. Semoga ini ke depan juga dapat segera terealisasi. 

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang dimuliakan

 

Dalam peran sebagai lembaga HAM, Komnas Perempuan menggunakan hasil pemantauan dan pencarian fakta serta pendokumentasian untuk mendorong upaya memutus impunitas dan pemenuhan hak korban, serta mencegah keberulangan. Komnas Perempuan juga telah melakukan sejumlah langkah non yudisial dilakukan dengan mempertimbangkan kemendesakan korban pada pemulihan dan untuk memastikan efektivitas pencegahan keberulangan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM yang berat. Upaya non yudisial ini terutama penting di tengah kebuntuan proses yudisial dan proses hukum yang masih mengabaikan pengalaman perempuan korban. 

 

Demikian pula halnya dengan KKR Aceh yang merupakan mekanisme non yudisial berskala lokal.  Upaya-upaya non yudisial yang telah ditempuh oleh KKR Aceh perlu menjadi bahan pembelajaran dan diperkuat sebagai bagian tidak terpisahkan dari mekanisme penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM masa lalu yang digulirkan oleh Presiden belum lama ini. 

 

Atas pemikiran inilah diskusi pada siang hari ini digagas oleh Komnas Perempuan, untuk memperoleh respon dan masukan dari berbagai pihak. Karenanya, perkenankan saya atas nama Komnas Perempuan dan KKR mengucapkan terima kasih kepada Pak Rudy Syamsir sebagai wakil dari Kemenkopolhukam dan ketua Komnas HAM, Ibu Atnike Nova Sigiro dan rekan komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini  yang berkenan memberikan pandangannya pada hari ini, dan komisioner KKR Aceh Sharli Maidelina yang akan menjadi moderator diskusi. 

 

Besar harapan kita bahwa diskusi ini akan semakin menguatkan akses korban pelanggaran HAM masa lalu untuk memperoleh pemulihan, juga kebenaran dan keadilan, terutama bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender di berbagai peristiwa pelanggaran HAM, khususnya di Aceh.   Tentunya kita semua dalam satu prinsip bahwa mekanisme non yudisial ini tidak boleh menjadi penghalang bagi proses yudisial yang juga memiliki peran penting dalam memastikan kemajuan negara bangsa Indonesia. 

 

Saya akan cukupkan sambutan pada siang hari ini dengan mengucapkan terima kasih atas atensi semua pihak, kepada sub komisi pengembangan sistem pemulihan di Komnas Perempuan dan Pokja Perempuan KKR Aceh yang memungkinkan kegiatan pada hari ini berlangsung. 

 

Dan Secara resmi kegiatan diskusi saya buka. Selamat berdiskusi,

 

Salam Nusantara yang bhinneka. 

 

 

Bangkok, 9 Maret 2023

 

Andy Yentriyani 


Pertanyaan / Komentar: