...
Sambutan Ketua
Sambutan Ketua Komnas Perempuan dalam Diskusi Publik Webinar Peringatan Hari Internasional Orang Hilang atau Penghilangan Secara Paksa

Sambutan Ketua Komnas Perempuan Diskusi Publik 

Webinar Peringatan Hari Internasional Orang Hilang atau Penghilangan Secara Paksa

 

(Jakarta, 30 Agustus 2022)

 

 

Yang kita banggakan dan hormati

  1. Para penyintas dan perempuan pembela HAM
  2. Fitri Nganthi Wani, Putri Wiji Thukul 
  3. Galuh Wandita, Direktur Asia Justice and Rights 
  4. Dra. Betni Humiras Purba, M.Si, Direktur Instrumen HAM, Kemenkumham RI
  5. Anthonio Prasdjasto Hardojo, moderator webinar
  6. Theresia Iswarini, Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan
  7. Veryanto Sitohang, Komisioner dan Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan
  8. Rekan pimpinan, komisioner dan badan pekerja Komnas Perempuan
  9. Para peserta sekalian

 

 

Selamat pagi, salam sehat, salam nusantara 

 

Puji dan syukur kita selalu panjatkan kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang karena memberikan kita nikmat sehat dan waktu untuk dapat berkumpul dan menyimak Diskusi Publik “Penghilangan Paksa dan Dampaknya pada Perempuan” dalam rangka memperingati Hari Internasional Orang Hilang atau Penghilangan Secara Paksa yang jatuh tepat pada hari ini, 30 Agustus 2022.

 

Perkenankan saya memulai sambutan ini dengan mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber, moderator serta semua peserta yang berkenan menyediakan waktu dan energi untuk menyampaikan pandangan tentang urgensi ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa  dengan mengelaborasi fakta-fakta penghilangan paksa pada setiap peristiwa atau tragedi yang terjadi di Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap orang sekitar termasuk keluarga terutama para perempuan yang ditinggalkan. 

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang saya muliakan

 

Penuntasan kasus penghilangan paksa adalah hutang reformasi yang terus tertunda selama hampir seperempat abad. 

 

Penghilangan orang secara paksa didefinisikan sebagai kejahatan HAM, dan praktik-praktik penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematis atau dalam situasi tertentu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Penghilangan orang secara paksa merupakan kejahatan yang terus berlanjut (continuing crimes), terutama terkait dampak yang berkelanjutan (continuing effects) dimana para korban penghilangan paksa yang tidak pernah ditemukan dan tidak diketahui nasibnya dan mengakibatkan dampak luas bagi korban dan keluarganya, termasuk perempuan seperti istri, ibu, anak perempuan dan anggota keluarga perempuan lainnya. Karena sifatnya yang sistematis, dan dalam situasi tertentu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, penghilangan paksa merupakan salah satu kejahatan yang diatur dalam hukum internasional. 

 

Di Indonesia, Praktik penghilangan paksa terjadi khususnya pada masa Orde Baru, di antaranya peristiwa 1965–1966, Timor–Timur 1975-1999, Tanjung Priok (Jakarta) 1984, Tragedi Talangsari (Lampung) 1989, Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985, dan Penculikan Aktivis 1997-1998. Kasus-kasus ini memiliki hubungan dengan Tragedi Mei 1998, sebagaimana juga disebutkan dalam Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. 

 

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang terhormat,

 

Tragedi Mei 1998 menjadi latar pendorong lahirnya Komnas Perempuan. Karenanya, penuntasan penghilangan paksa merupakan bagian yang penting bagi perjuangan Komnas Perempuan. Lebih dari itu, penuntasan kasus penghilangan paksa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, mengingat dampak berdimensi gender yang dialami perempuan baik sebagai korban langsung maupun tidak langsung dari penghilangan paksa. 

 

Dalam praktik penghilangan paksa, perempuan menjadi korban langsung dalam penghilangan paksa adalah mereka yang dihilangkan, ada yang dikembalikan – ada yang tidak, dan ada yang ditemukan kembali. Dalam situasi ini, perempuan korban penghilangan paksa mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, sangat rentan menjadi korban penganiayaan dan menjadi sasaran kekerasan seksual sekaligus menghadapi penderitaan dan penghinaan yang merendahkan martabatnya. Bagi korban tidak langsung, sebagai anggota keluarga dari korban penghilangan paksa, mereka harus menghadapi situasi ketidakpastian nasib keluarganya yang hilang, menghadapi stigma serta dianggap sebagai musuh Negara yang berlangsung hingga saat ini, masalah kesehatan fisik dan psikologis, dan dampak sosial lainnya yang semua itu turut mempengaruhi keberlanjutan hidup mereka, sebagai perempuan, anggota keluarga, anggota masyarakat dan warga.  

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang kami muliakan

 

Penghilangan paksa terjadi di berbagai negara di dunia. Karenanya komitmen global untuk menuntaskan penghilangan paksa telah diwujudkan melalui pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance), yang merupakan hukum HAM internasional. Konvensi ini menyediakan panduan komprehensif bagi negara anggota untuk melakukan pencegahan dan perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa, serta mekanisme pemulihan hak bagi korban dan keluarganya. Konvensi ini disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 dan mulai berlaku pada 23 Desember 2010. 

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 27 September 2010, tetapi tak kunjung meratifikasinya. Ratifikasi Konvensi ini menjadi mandat dari rekomendasi DPR RI (periode 2004-2009) untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, butir ke–4: “merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.” Rencana ratifikasi juga pernah masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM yakni pada periode 2011-2014. Dalam evaluasi kinerja HAM melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) siklus ketiga di bawah Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council), Mei 2017, Pemerintah RI kembali menegaskan komitmennya untuk segera merafikasi Konvensi.4 Di tahun 2021, Kementerian Hukum dan HAM menargetkan UU Ratifikasi Penghilangan Paksa bisa disahkan pada 10 Desember 2021, namun sampai hari ini RUU ratifikasi ini belum pernah dibahas di DPR. 

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang berbahagia,

 

Menyimak dampak berdimensi gender dari penghilangan paksa terhadap perempuan, maka upaya menuntaskan kasus penghilangan paksa, termasuk dengan mendorong ratifikasi Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari komitmen Indonesia menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai negara pihak dari CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Indonesia wajib mengadopsi UU yang melarang segala bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (dan anak perempuan) serta menyelaraskan hukum nasional dengan konvensi. Baik eksekutif, legislatif dan yudikatif harus memastikan agar aturan ini harus memuat ketentuan yang peka terhadap usia dan gender serta perlindungan hukum yang efektif, termasuk sanksi terhadap pelaku dan reparasi bagi korban dan penyintas. 

Di dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, upaya penanganan kasus penghilangan paksa juga memegang andil penting berkait kerentanan khusus dan dampak khas berdimensi gender yang dihadapi oleh perempuan sebagai korban langsung dan tidak langsung dari penghilangan paksa. Kerentanan khusus dan dampak khas yang hadir akibat dari konstruksi di dalam masyarakat yang membedakan antara perempuan dan laki-laki seperti potensi mengalami kekerasan seksual saat penangkapan atau penahanan, penderaan psikologis dan disfungsi keluarga, beban ganda berlapis dan ketimpangan gender, persoalan terkait administrasi kependudukan, stigma dan marginalisasi, serta pengurangan penikmatan hak konstitusional mereka. Karenanya, Ratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa juga direkomendasikan oleh Komite CEDAW dalam kesimpulan pengamatan pada laporan Indonesia tahun 2021.

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang saya banggakan,

 

Melalui diskusi hari ini, kita akan mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai situasi yang dihadapi oleh komunitas korban akibat penghilangan paksa yang dapat semakin meneguhkan upaya kita untuk mendorong pemerintah dan DPR RI segera meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. 

 

Sekali lagi perkenankan saya mengucapkan terimakasih kepada para narasumber dan moderator, rekan-rekan komisioner dan badan pekerja di Komnas Perempuan, kawan juru bahasa isyarat yang memungkinkan kegiatan ini berjalan lancar.

 

Demikian sambutan ini saya sampaikan. Besar harapan tentunya, ruang ini dapat menguatkan sinergi kerjasama kita di dalam upaya mendorong ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa dan upaya penghapusan kekerasan terhadap Perempuan guna mewujudkan Indonesia yang adil, makmur dan sentosa.

 

Selamat berdiskusi, salam sehat, salam Nusantara yang Bhinneka

 

 

Jakarta, 30 Agustus 2022

Andy Yentriyani, 

Ketua Komnas Perempuan

 


Pertanyaan / Komentar: