...
Sambutan Ketua
Sambutan Ketua Komnas Perempuan dalam Seminar Publik Peringatan Hari Anti Penyiksaan (25 Juni 2021)

Sambutan Ketua Komnas Perempuan

dalam Seminar Publik Peringatan Hari Anti Penyiksaan

” Cegah dan Kenali Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OpCAT”

 

 

Yang saya hormati,

 Ibu Bapak dan rekan-rekan dari komunitas korban dan perwakilan organisasi pembela HAM,

 

Ibu Bapak pimpinan dari Lembaga yang tergabung dalam Kelompok Kerja untuk Pencegahan Penyiksaan

1. Bapak Amiruddin - Wakil Ketua Komnas HAM dan Ibu Sandra Moniaga

2. Bapak Veryanto Sitohang - Komisioner Komnas Perempuan

3. Ibu Putu Elvina - Komisioner KPAI

4. Bapak Jemlsy Hutabarat - Anggota Ombudsman RI

5. Bapak Maneger Nasution - Wakil Ketua LPSK

 

Para narasumber

1. Bapak Reynhard Silitonga - Direktur Jenderal Pemasyarakatan

2. Bapak Taufik Basari - Anggota Komisi III DPR RI

3. Ibu Poengky Indarti, Anggota Kompolnas

4. Bapak Rivanlee Anandar - Wakil Koordinator II KontraS

 

Para tamu undangan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait seperti

1. Timbul Sinaga - Direktur Instrumen HAM  Kemenkumham

2. Achsanul Habib - Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu

3. Perwakilan Kementerian Sosial

4. Perwakilan Kementerian Kesehatan

5. Perwakilan LAPAS

6. Perwakilan Kepolisian RI

 

Moderator acara ini Mbak Stefani Ginting, Presenter Kompas TV; jaringan masyarakat sipil dan peserta publik lainnya yang turut hadir dan Rekan-rekan Komisioner dan badan pekerja Komnas Perempuan serta seluruh panitia tim KuPP yang menyiapkan acara ini. 

 

Selamat Pagi dan Salam Nusantara

Puji dan syukur kepada Sang Maha Pengasih karena atas rahmatnya kita dalam berkumpul bersama keadaan sehat yang merupakan kemewahan di tengah pandemi Covid-19. Selamat datang dalam seminar publik daring menyambut Peringatan Hari Anti Penyiksaan yang akan jatuh pada 26 Juni 2021 dengan tema:” Cegah dan Kenali Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OpCAT”

 

Ibu Bapak dan rekan-rekan sekalian,

Beberapa hari ini kita dibuat geram dengan berita mengenai perkosaan yang terjadi di sebuah kantor kepolisian di Maluku Utara, dimana korban selain mengalami tindak kekerasan seksual itu juga harus menghadapi pemerasan yang dilakukan oleh pelaku yang berbeda tetapi keduanya sama-sama dari unsur kepolisian. Kasus ini sungguh bukan kasus kekerasan seksual biasa, melainkan tindak penyiksaan seksual. Disebut penyiksaan karena selain dilakukan oleh aparat, peristiwa tersebut terjadi di tengah proses penahanan korban yang awalnya dimaksudkan untuk mengambil keterangan. Kasus ini sungguh menampar kita semua, terjadi tepat di dalam masa kita sedang mengampanyekan aksi “Menentang Penyiksaan”.

Bebas dari penyiksaan adalah salah satu hak konstitusional di Indonesia yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun. Hal ini tertuang dalam Pasal 28I Ayat 1 UUD NRI 1945. Komunitas internasional menempatkan penyiksaan sebagai salah satu pelanggaran martabat manusia yang paling brutal dan tidak dapat diterima seluruh umat manusia. Dan sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (dikenal CAT) atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Komitmen negara untuk pemenuhan hak untuk bebas dari penyiksaan juga tertuang a.l. dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Secara khusus, Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan memandatkan penggunaan Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut, selain Konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sebagai rujukan utama dalam pengembangan kerangka kerja dalam membangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan. 

Di dalam berbagai aturan itu larangan penyiksaan bersifat mutlak. Negara wajib mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan lainnya yang efektif untuk memastikan pencegahan penyiksaan. Tidak ada satu pun pengecualian untuk membenarkan tindakan penyiksaan. Bahkan dalam semua kondisi, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik maupun keadaan darurat lainnya, wabah, ataupun dengan alasan menuruti perintah pejabat yang berwenang.

Di Indonesia, meskipun sudah memiliki banyak kerangka normatif, praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi dan berulang. Masih kita ingat berbagai kasus yang terungkap di berbagai wilayah di Indonesia, lintas jenis kelamin, juga usia. Tindakan tersebut masih kita jumpai terutama di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan seseorang, seperti rumah-rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, panti-panti sosial dan situasi-situasi serupa tahanan lainnya. Secara khusus, perempuan karena peran dan posisi gendernya menghadapi kerentanan pada bentuk-bentuk spesifik dari praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. Kasus perkosaan terhadap tahanan perempuan yang pada awal sambutan ini saya ceritakan adalah salah satu bentuknya. 

Hanya saja, sampai saat ini pengakuan dan jaminan untuk bebas dari penyiksaan belum dilengkapi dengan langkah pemidanaan yang tegas guna memutus impunitas maupun dukungan yang komprehensif bagi pemulihan korban. Tindak pidana penyiksaan hanya dikenali dalam UU Pengadilan HAM dan karenanya terbatas sebagai bagian dari peristiwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam situasi lain, kasus-kasus penyiksaan disikapi sebagai kasus penganiayaan dengan pemberatan.

Karenanya, di dalam kesempatan ini perkenankan saya meminta dukungan dari Ibu, Bapak dan saudara-saudara sekalian untuk turut menguatkan jaminan hukum memutus impunitas pelaku penyiksaan dalam revisi UU KUHP. Juga dukungan untuk mendorong pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengajukan pengaturan khusus terkait penyiksaan seksual.

 

Ibu Bapak dan rekan-rekan sekalian,

Dalam upaya menentang penyiksaan, selain penindakan, tentunya tidak kalah penting upaya pencegahan. Karena itu. lima lembaga negara yang tugas pokok dan fungsinya bertaut langsung dengan isu ini, yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombusdman Republik Indonesia (ORI) dan LPSK telah berkesepakatan untuk mengembangkan Mekanisme Pencegahan Penyiksaan; sesuai dengan kewenangan lembaga masing-masing. Kerjasama sejak lima tahun lalu kemudian disebut Kelompok Kerja untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), yang mengupayakan dialog konstruktif dan pengembangan kapasitas aparat dalam pencegahan penyiksaan. Untuk itu, KuPP bekerjasama dengan institusi lainnya seperti pihak Kementerian Hukum dan HAM dan Kepolisian untuk mengembangkan instrumen pemantauan kondisi tahanan, melakukan ujicoba pemantauan, mendialogkan hasil sebagai dasar pengembangan langkah-langkah kebijakan dan juga melakukan pelatihan bersama. Di samping itu, KuPP juga menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan publik untuk menggalang dukungan menentang penyiksaan, termasuk melalui kegiatan diskusi kita pada pagi hari ini.

Lebih lanjut mengenai kerja masing-masing lembaga terkait isu ini maupun dalam kerangka kerjasama KuPP juga tadi disampaikan di pengantar koordinator KuPP, Mas Anton Prajasto, dan  akan kita elaborasi lebih lanjut dalam diskusi di sesi 1, sementara tanggapan dari berbagai institusi lain yang terkait baik itu pihak penyelenggara negara maupun wakil dai masyarakat sipil akan kita diskusikan di sesi ke-2. Ada pula serangkaian kegiatan kampanye lain yang akan diselenggarakan dalam kerjasama dengan berbagai pihak, yang informasi lebih detilnya akan disampaikan kemudian oleh panitia. 


Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang berbahagia,

Guna meneguhkan komitmen negara dalam menentang penyiksaan, kita juga mengenal adanya Optional Protocol dari Konvensi Menentang Penyiksaan atau yang kerap disingkat OPCAT. Protokol ini memberikan pedoman pada pembentukan mekanisme nasional pencegahan penyiksaan (NPM – National Preventive Mechanism) yang cara kerja utamanya adalah dengan melakukan pemantauan berkala dan tanpa pemberitahuan ke lokasi-lokasi tahanan. Hal ini mensyaratkan keterbukaan akses, kebebasan bertemu berbagai pihak yang berkepentingan, kerja bersifat rahasia-independen dan non ajudikatif. Dalam upaya peneguhan ini, OPCAT juga mengatur mengenai peluang pemantauan dan kerjasama internasional. Hasil dari pemantauan ini menjadi basis untuk membangun kebijakan-kebijakan korektif yang bersifat sistemik institusional, di samping menguatkan upaya memutus impunitas dan pemulihan korban.

Sejak tahun 2006 atau sekitar 15 tahun lalu, lebih 90 negara sudah yang menandatangani OPCAT, sayangnya Indonesia bukan salah satu negara peratifikasi meskipun kita selalu menegaskan komitmen pada HAM sehingga bahkan terpilih dengan suara terbanyak sebagai anggota Dewan HAM PBB pada tahun 2019 lalu.  Padahal, jika Indonesia meratifikasi OPCAT dan menerapkan mekanisme yang dimuatnya, maka komitmen pemerintah Indonesia untuk memerangi penyiksaan sebagaimana dinyatakan melalui ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan sejak 1998 semakin dapat diperkuat.


Ibu Bapak dan rekan-rekan sekalian

Dalam Hari Peringatan Hari Anti Penyiksaan tahun ini, Komnas Perempuan dan tentu empat lembaga lainnya yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) mengapresiasi keterbukaan dan sikap kooperatif yang telah ditunjukkan berbagai pihak di pemerintahan, yaitu Kemenkopolhukam, Kemlu, Polri, Kemenkumham, terutama Ditjen Pemasyarakatan dan Ditjen Imigrasi. Serta dukungan dari berbagai Kemeterian Lembaga dan jaringan masyarakat sipil yang turut memantau dan melakukan kerja-kerja pencegahan hingga publik semakin lama juga semakin bisa mengenal apa itu penyiksaan.

Kami juga mengajak semua pihak untuk terus mendorong Indonesia meratifikasi Optional Protocol CAT yang urgensinya telah dijelaskan tadi, di samping memutus impunitas pelaku penyiksaan dan menghadirkan pemulihan korban melalui revisi UU KUHP dan juga pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ratifikasi OPCAT akan menjadi peneguh komitmen kita pada pemenuhan hak konstitusional untuk bebas dari penyiksaan, mewujudkan Indonesia yang berperikemanusiaan dan perikeadilan yang tentunya tidak membenarkan tindak penyiksaan dan perbuatan kejam yang semena-mena lainnya terjadi.

Sekali lagi saya ucapkan Selamat Hari Anti Penyiksaan! Semoga gerakan kampanye Cegah dan Kenali Anti Penyiksaan ini semakin dikenal dan mampu mendorong Negara untuk meratifikasi OpCAT guna mendekatkan kita pada terwujudnya Indonesia yang adil, makmur, setara dan sejahtera.

Selamat mengikuti Seminar Publik ini dan selamat berdiskusi!


Salam Sehat, Salam Nusantara

Andy Yentriyani

Ketua Komnas Perempuan




Pertanyaan / Komentar: