Sambutan
Ketua Komnas Perempuan
dalam Seminar Publik Peringatan Hari Anti
Penyiksaan
” Cegah dan Kenali Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OpCAT”
Yang saya hormati,
Ibu Bapak pimpinan dari Lembaga yang tergabung dalam Kelompok
Kerja untuk Pencegahan Penyiksaan
1. Bapak Amiruddin - Wakil Ketua Komnas HAM dan Ibu Sandra Moniaga
2. Bapak Veryanto Sitohang - Komisioner Komnas Perempuan
3. Ibu Putu Elvina - Komisioner KPAI
4. Bapak Jemlsy Hutabarat - Anggota Ombudsman RI
5. Bapak Maneger Nasution - Wakil Ketua LPSK
Para narasumber
1. Bapak Reynhard Silitonga - Direktur Jenderal Pemasyarakatan
2. Bapak Taufik Basari - Anggota Komisi III DPR RI
3. Ibu Poengky Indarti, Anggota Kompolnas
4. Bapak Rivanlee Anandar - Wakil Koordinator II KontraS
Para tamu undangan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait seperti
1. Timbul Sinaga - Direktur Instrumen HAM
Kemenkumham
2. Achsanul Habib - Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu
3. Perwakilan Kementerian Sosial
4. Perwakilan Kementerian Kesehatan
5. Perwakilan LAPAS
6. Perwakilan Kepolisian RI
Moderator acara ini Mbak Stefani Ginting, Presenter
Kompas TV; jaringan
masyarakat sipil dan peserta publik lainnya yang turut hadir dan Rekan-rekan
Komisioner dan badan pekerja Komnas Perempuan serta seluruh panitia tim KuPP
yang menyiapkan acara ini.
Selamat Pagi dan Salam Nusantara
Puji dan syukur kepada Sang Maha Pengasih karena atas rahmatnya kita dalam berkumpul bersama keadaan sehat yang merupakan kemewahan di tengah pandemi Covid-19. Selamat datang dalam seminar publik daring menyambut Peringatan Hari Anti Penyiksaan yang akan jatuh pada 26 Juni 2021 dengan tema:” Cegah dan Kenali Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OpCAT”
Ibu Bapak dan rekan-rekan sekalian,
Beberapa hari ini kita dibuat geram dengan berita
mengenai perkosaan yang terjadi di sebuah kantor kepolisian di Maluku Utara,
dimana korban selain mengalami tindak kekerasan seksual itu juga harus
menghadapi pemerasan yang dilakukan oleh pelaku yang berbeda tetapi keduanya
sama-sama dari unsur kepolisian. Kasus ini sungguh bukan kasus kekerasan
seksual biasa, melainkan tindak penyiksaan seksual. Disebut penyiksaan karena
selain dilakukan oleh aparat, peristiwa tersebut terjadi di tengah proses
penahanan korban yang awalnya dimaksudkan untuk mengambil keterangan. Kasus ini
sungguh menampar kita semua, terjadi tepat di dalam masa kita sedang
mengampanyekan aksi “Menentang Penyiksaan”.
Bebas dari penyiksaan adalah salah satu hak
konstitusional di Indonesia yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun.
Hal ini tertuang dalam Pasal 28I Ayat 1 UUD NRI 1945. Komunitas internasional
menempatkan penyiksaan sebagai salah satu pelanggaran martabat manusia yang
paling brutal dan tidak dapat diterima seluruh umat manusia. Dan sebagai bagian
dari komunitas global, Indonesia telah meratifikasi the United Nations
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (dikenal CAT) atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia, melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi,
atau Merendahkan Martabat Manusia.
Komitmen negara untuk pemenuhan hak untuk bebas
dari penyiksaan juga tertuang a.l. dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 12 tahun 2005
tentang Pengesahan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Secara khusus, Keputusan
Presiden No. 181 tahun 1998 yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
memandatkan penggunaan Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut, selain
Konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan, sebagai rujukan utama dalam pengembangan kerangka kerja dalam
membangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan.
Di dalam berbagai aturan itu larangan penyiksaan bersifat
mutlak. Negara wajib mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial
atau tindakan lainnya yang efektif untuk memastikan pencegahan penyiksaan.
Tidak ada satu pun pengecualian untuk membenarkan tindakan penyiksaan. Bahkan
dalam semua kondisi, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik maupun
keadaan darurat lainnya, wabah, ataupun dengan alasan menuruti perintah pejabat
yang berwenang.
Di Indonesia, meskipun sudah memiliki banyak
kerangka normatif, praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang merendahkan
martabat manusia (ill treatment)
masih terus terjadi dan berulang. Masih kita ingat berbagai kasus yang
terungkap di berbagai wilayah di Indonesia, lintas jenis kelamin, juga usia. Tindakan tersebut masih kita jumpai
terutama di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan seseorang, seperti
rumah-rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, panti-panti sosial dan situasi-situasi
serupa tahanan lainnya. Secara khusus, perempuan karena peran dan posisi
gendernya menghadapi kerentanan pada bentuk-bentuk spesifik dari praktik
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. Kasus perkosaan terhadap tahanan
perempuan yang pada awal sambutan ini saya ceritakan adalah salah satu
bentuknya.
Hanya saja, sampai saat ini pengakuan dan jaminan
untuk bebas dari penyiksaan belum dilengkapi dengan langkah pemidanaan yang
tegas guna memutus impunitas maupun dukungan yang komprehensif bagi pemulihan
korban. Tindak pidana penyiksaan hanya dikenali dalam UU Pengadilan HAM dan
karenanya terbatas sebagai bagian dari peristiwa pelanggaran HAM berat dalam
bentuk genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam situasi lain,
kasus-kasus penyiksaan disikapi sebagai kasus penganiayaan dengan pemberatan.
Karenanya, di dalam kesempatan ini perkenankan
saya meminta dukungan dari Ibu, Bapak dan saudara-saudara sekalian untuk turut menguatkan
jaminan hukum memutus impunitas pelaku penyiksaan dalam revisi UU KUHP. Juga
dukungan untuk mendorong pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
yang mengajukan pengaturan khusus terkait penyiksaan seksual.
Ibu Bapak dan
rekan-rekan sekalian,
Dalam upaya menentang penyiksaan, selain
penindakan, tentunya tidak kalah penting upaya pencegahan. Karena itu. lima lembaga
negara yang tugas pokok dan fungsinya bertaut langsung dengan isu ini, yaitu Komnas
HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombusdman Republik Indonesia (ORI) dan LPSK telah berkesepakatan
untuk mengembangkan Mekanisme Pencegahan Penyiksaan; sesuai dengan kewenangan
lembaga masing-masing. Kerjasama sejak lima tahun lalu kemudian disebut Kelompok
Kerja untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), yang mengupayakan dialog konstruktif
dan pengembangan kapasitas aparat dalam pencegahan penyiksaan. Untuk itu, KuPP
bekerjasama dengan institusi lainnya seperti pihak Kementerian Hukum dan HAM
dan Kepolisian untuk mengembangkan instrumen pemantauan kondisi tahanan,
melakukan ujicoba pemantauan, mendialogkan hasil sebagai dasar pengembangan
langkah-langkah kebijakan dan juga melakukan pelatihan bersama. Di samping itu,
KuPP juga menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan publik untuk menggalang
dukungan menentang penyiksaan, termasuk melalui kegiatan diskusi kita pada pagi
hari ini.
Lebih lanjut mengenai kerja masing-masing lembaga
terkait isu ini maupun dalam kerangka kerjasama KuPP juga tadi disampaikan di
pengantar koordinator KuPP, Mas Anton Prajasto, dan akan kita elaborasi lebih lanjut dalam diskusi
di sesi 1, sementara tanggapan dari berbagai institusi lain yang terkait baik
itu pihak penyelenggara negara maupun wakil dai masyarakat sipil akan kita
diskusikan di sesi ke-2. Ada pula serangkaian kegiatan kampanye lain yang akan
diselenggarakan dalam kerjasama dengan berbagai pihak, yang informasi lebih
detilnya akan disampaikan kemudian oleh panitia.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang berbahagia,
Guna meneguhkan komitmen negara dalam menentang
penyiksaan, kita juga mengenal adanya Optional Protocol dari Konvensi Menentang
Penyiksaan atau yang kerap disingkat OPCAT. Protokol ini memberikan pedoman
pada pembentukan mekanisme nasional pencegahan penyiksaan (NPM – National
Preventive Mechanism) yang cara kerja utamanya adalah dengan melakukan
pemantauan berkala dan tanpa pemberitahuan ke lokasi-lokasi tahanan. Hal ini
mensyaratkan keterbukaan akses, kebebasan bertemu berbagai pihak yang
berkepentingan, kerja bersifat rahasia-independen dan non ajudikatif. Dalam
upaya peneguhan ini, OPCAT juga mengatur mengenai peluang pemantauan dan
kerjasama internasional. Hasil dari pemantauan ini menjadi basis untuk
membangun kebijakan-kebijakan korektif yang bersifat sistemik institusional, di
samping menguatkan upaya memutus impunitas dan pemulihan korban.
Sejak tahun 2006 atau sekitar 15 tahun lalu, lebih
90 negara sudah yang menandatangani OPCAT, sayangnya Indonesia bukan salah satu
negara peratifikasi meskipun kita selalu menegaskan komitmen pada HAM sehingga
bahkan terpilih dengan suara terbanyak sebagai anggota Dewan HAM PBB pada tahun
2019 lalu. Padahal, jika Indonesia
meratifikasi OPCAT dan menerapkan mekanisme yang dimuatnya, maka komitmen
pemerintah Indonesia untuk memerangi penyiksaan sebagaimana dinyatakan melalui
ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan sejak 1998 semakin dapat diperkuat.
Ibu Bapak dan rekan-rekan sekalian
Dalam Hari Peringatan Hari Anti
Penyiksaan tahun ini, Komnas Perempuan dan tentu empat lembaga lainnya yang
tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) mengapresiasi
keterbukaan dan sikap kooperatif yang telah ditunjukkan berbagai pihak di
pemerintahan, yaitu Kemenkopolhukam, Kemlu, Polri, Kemenkumham, terutama Ditjen
Pemasyarakatan dan Ditjen Imigrasi. Serta dukungan dari berbagai Kemeterian
Lembaga dan jaringan masyarakat sipil yang turut memantau dan melakukan
kerja-kerja pencegahan hingga publik semakin lama juga semakin bisa mengenal apa
itu penyiksaan.
Kami juga mengajak semua pihak untuk terus
mendorong Indonesia meratifikasi Optional Protocol CAT yang urgensinya telah
dijelaskan tadi, di samping memutus impunitas pelaku penyiksaan dan
menghadirkan pemulihan korban melalui revisi UU KUHP dan juga pengesahan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual. Ratifikasi OPCAT akan menjadi peneguh komitmen
kita pada pemenuhan hak konstitusional untuk bebas dari penyiksaan, mewujudkan Indonesia yang
berperikemanusiaan dan perikeadilan yang tentunya tidak membenarkan tindak
penyiksaan dan perbuatan kejam yang semena-mena lainnya terjadi.
Sekali lagi saya ucapkan Selamat
Hari Anti Penyiksaan! Semoga gerakan kampanye Cegah dan Kenali Anti Penyiksaan
ini semakin dikenal dan mampu mendorong Negara untuk meratifikasi OpCAT guna
mendekatkan kita pada terwujudnya Indonesia yang adil, makmur, setara dan
sejahtera.
Selamat mengikuti Seminar Publik
ini dan selamat berdiskusi!
Salam Sehat, Salam Nusantara
Andy
Yentriyani
Ketua Komnas Perempuan