Sambutan Ketua Komnas Perempuan
di Peringatan 23 Tahun Tragedi Mei ‘98 dan Hari Eropa 2021
DISKUSI
PUBLIK
“Perempuan,
Rasisme dan Kekerasan Seksual: Pembelajaran dan Langkah Koreksi yang Telah Diupayakan, Capaian dan Tantangan”
Komnas Perempuan & Delegasi Uni Eropa untuk
Indonesia
Jakarta, 6 Mei 2021
Yang saya hormati
1. H.E Vincent Piket (Duta Besar Uni Eropa)
2. Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM)
3. Gustav Dahlin (Wakil Duta Besar Swedia)
4. Syahar Banu (Divisi Pemantauan Impunitas KontraS)
5. Yacko (Rapper, Founder Hands Off Movement)
6. Sahabat Savina selaku moderator dan Dewi Nova yang akan menjamu kita
dengan puisi
7. Sarah Gerard itu First
Secretary, Embassy of Belgium dan Rekan-rekan
dari delegasi EU dan kedutaan besar negara sahabat,
8. Para tamu undangan dan peserta webinar yang kami hormati,
9. Serta Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan), Veryanto
Sitohang, dan rekan Komisioner lainnya
dan Badan Pekerja Komnas Perempuan, yang saya banggakan,
Selamat pagi, salam sehat, salam Nusantara, juga selamat Hari Eropa 2021
Syukur tentunya kita sampaikan pada Sang Maha Pengasih karena limpahan
berkahnya yang memungkinkan kita dalam kondisi sehat berkumpul pada hari ini,
di dalam kegiatan webinar “Perempuan, Rasisme dan Kekerasan Seksual:
Pembelajaran dan Langkah Koreksi yang telah diupayakan, Capaian dan Tantangan”
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang berbahagia,
Persoalan kekerasan terhadap perempuan yang berakar pada diskriminasi
berbasis gender memiliki ketertautan yang erat dengan berbagai ketimpangan
sosial lainnya, salah satunya adalah rasisme, sebuah ketimpangan relasi sosial
yang telah berurat akar selama berabad lamanya atas dasar keyakinan serta
prasangka bahwa satu kelompok ras lebih utama/superior daripada lainnya. Dalam
ketertautan ini, maka kelompok perempuan dari satu kelompok ras tertentu akan
dapat memiliki pengalaman yang berbeda dari perempuan di kelompok ras yang
berbeda.
Tentunya, perempuan dari kelompok ras yang lebih inferior akan jauh lebih
rentan pada diskriminasi dan kekerasan. Pemahaman mengenai ketertautan inilah
yang kemudian benih tumbuhnya pemikiran mengenai interseksionalitas, yang
sangat penting dalam mengenali persoalan dan langkah korektif –transformatif
yang perlu dilakukan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Tragedi Mei 1998 adalah wujud nyata ketertautan antara rasisme dan
diskriminasi berbasis gender. Di tengah kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan
beberapa kota besar lainnya yang diarahkan kepada komunitas Tionghoa, tindak
kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual terjadi. Tim Gabungan
Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mengonfirmasi bahwa sekurangnya terjadi
85 tindak kekerasan seksual yang diarahkan kepada perempuan Tionghoa, 52 di
antaranya adalah perkosaan.
Ini bukan pertama kalinya kerusuhan berbasis ras yang diarahkan kepada
komunitas Tionghoa di Indonesia. Sejarah justru mencatat bahwa kerusuhan serupa
telah berulang kali terjadi tanpa proses hukum yang jelas serta komitmen
politik untuk mencegahnya berulang. Akibatnya, ketakutan pada peristiwa itu
menyebabkan gelombang eksodus dan sikap membungkam dengan tidak ada satu pun
perempuan korban yang tampil di hadapan publik. Kondisi ini justru dijadikan
asupan prasangka berbasis ras yang juga dikaitkan dengan nasionalisme serta
asupan bagi budaya penyangkalan pada kekerasan seksual terhadap perempuan.
Namun, respon publik, khususnya kelompok perempuan, mendorong tanggung
jawab negara pada kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998, menjadikan Tragedi
Mei 1998 menjadi titik balik perubahan. Tragedi yang menjadi latar lahirnya era
reformasi ini memungkinkan sejumlah perbaikan dalam hal substansi hukum maupun
struktur demokrasi dan transformasi budaya menuju relasi sosial yang lebih
setara, termasuk dalam hal kekerasan terhadap perempuan dan rasisme.
Lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) sebagai lembaga nasional hak asasi manusia dengan mandat khusus pada
pewujudan kondisi yang kondusif untuk penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan juga pemajuan hak-hak perempuan, UU dan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Mahkamah Konstitusi, dan Keputusan Presiden No.
6 Tahun 2000 yang menjadi tonggak
berakhirnya diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia, ratifikasi Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi berbasis Ras yang
diperkuat dengan UU No. 40 tahun 2008 untuk penghapusan segala bentuk
diskriminasi berbasis ras dan etnis
adalah sejumlah contoh perbaikan yang dimaksud. Semua ini adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan mandat konstitusional, khususnya
dalam menjamin penikmatan pada hak atas rasa aman dan bebas dari dikriminasi,
atas dasar apapun
Ibu, Bapak dan Rekan-rekan sekalian
Berbagai langkah-langkah perbaikan lebih lanjut untuk mengatasi
diskriminasi berbasis ras, secara terpisah maupun bertautan dengan isu
kekerasan seksual telah diupayakan di dalam 23 tahun terakhir. Namun,
ketimpangan sosial yang telah berurat akar tidaklah gampang dengan segera
dihapus, melainkan terus menghadapi tentangan baik dari mereka yang memperoleh
keuntungan dari ketimpangan ini maupun yang telah terbiasa sehingga justru
beranggapan bahwa isu ini mengada-ada atau luput dari perhatian. Karenanya
tidak terlalu mengherankan bahwa kasus kekerasan seksual yang memuat isu
rasisme masih jarang terangkat ke permukaan bahkan tidak menjadi pertimbangan
di dalam pengadilan, seperti kasus perkosaan yang terjadi di angkutan umum
sekitar 1 dekade lalu.
Tantangan baru juga hadir sejalan dengan dinamika ekonomi, sosial dan
politik yang terjadi baik di tingkat lokal/nasional maupun global. Lihat saja
bagaimana isu ras masih dengan mudah digunakan sebagai komoditi politik
terutama dalam pertarungan kuasa untuk kepala pemerintahan pada Pilpres atau
Pilkada, atau bagaimana isu ras yang memiliki signifikansi dalam persoalan
Papua tetapi saat bersamaan kerap disangkal.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,
Pergulatan untuk menghapuskan rasisme dan kekerasan terhadap perempuan
adalah perjuangan bersama berskala global. Karenanya Komnas Perempuan
mengapresiasi kesempatan bekerja sama dengan Uni Eropa pada hari ini yang juga
berbagi pengalaman dan pembelajarannya dalam persoalan ini, baik dalam
penggalan sejarah di masa lalu maupun dalam tantangan di masa kini yang
dihadapi oleh negara-negara di Eropa, termasuk terkait dengan laju globalisasi
yang berdampingan dengan persoalan kesejahteraan sehingga mengasah prasangka
pada orang asing (xenophobia).
Persoalan tentang rasisme dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya
kekerasan seksual juga semakin relevan kita bahas hari ini berkait dengan
krisis di masa pandemi Covid-19. Di berbagai belahan dunia, ketakutan pada
Covid-19 dan dampaknya yang diprovokasi dengan siar kebencian maupun kebohongan
telah memicu tindak kekerasan berbasis ras, sebagaimana kita simak dari berita
dari Eropa dan terutama di Amerika.
Di Indonesia, juga ada penelitian yang menunjukkan indikasi penggunaan
isu covid 19 sebagai cara memperdalam sentimen berbasis ras untuk berbagai
tujuan, termasuk merekrut kelompok ekstrimisme dengan kekerasan.
Juga, seperti disampaikan oleh Duta Besar EU, pandemi memberikan dampak
kerugian yang lebih besar dan disproposional bagi perempuan. Hasil kajian Komnas Perempuan pada
dampak Pandemi dan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan mengonfirmasi ini, di
mana perempuan menghadapi beban berlipat ganda, serta kerentanan yang
bertambah, termasuk pada kekerasan seksual yang meningkat hingga 18% dari tahun
sebelum pandemi.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,
Melalui diskusi pada pagi hari ini yang merupakan bagian dari rangkaian
kegiatan memperingati 23 Tahun Tragedi Mei 1998, serta kegiatan hari Eropa
2021, kita akan simak lebih lanjut dari
para pemateri tentang berbagai upaya yang telah digulirkan untuk menyikapi
persoalan rasisme dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan
seksual, baik itu di tanah air maupun dalam pengalaman Uni Eropa, sekaligus
refleksi pada capaian maupun tantangannya ke depan.
Mengingat pentingnya topik ini, sekali lagi terimakasih kami di Komnas
Perempuan kepada Uni Eropa atas kerjasama penting ini, kepada para pemateri dan
panitia sehingga bisa dapat terselenggaranya kegiatan ini. Semoga melalui
diskusi ini kita akan mampu bekerja sama lebih erat lagi, dari berbagai sektor,
lintas tapal batas negara, meneguhkan komitmen dan langkah-langkah korektif
menghadirkan masyarakat dunia yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi atas
dasar apapun, termasuk karena gender maupun ras.
Selamat berdiskusi, salam sehat dan salam damai
Jakarta, 6 Mei 2021
Andy
Yentriyani
Ketua Komnas Perempuan