...
Sambutan Ketua
Sambutan Ketua Komnas Perempuan di "Workshop Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kampanye Anti Penyiksaan" (Jakarta, 2 - 3 Juni 2021)

Sambutan Ketua Komnas Perempuan

Workshop Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kampanye Anti Penyiksaan

Jakarta, 2 - 3 Juni 2021

 

 

  

Yang saya hormati

  1. Komisioner Komnas HAM/Koordinator KuPP – Sandra Moniaga
  2. Ibu dan Bapak, kawan-kawan tamu undangan jaringan masyarakat sipil yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
  3. Kawan Indri selaku moderator yang akan memandu jalannya workshop pada hari ini
  4. Bapak Anton serta sekretariat Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP)
  5. Komisioner Veryanto Sitohang dan Satyawanti Mashudi, dan Badan Pekerja Komnas Perempuan, yang saya banggakan.

 

 

Selamat pagi, salam Nusantara

 

Puji dan syukur kepada Sang Maha Pengasih karena atas rahmatnya kita dalam keadaan sehat dan aman pada hari ini, di dalam kegiatan Workshop Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kampanye Anti Penyiksaan yang sedianya berlangsung pada hari ini 2 Juni hingga besok.

 

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang saya hormati,

 

Hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan hak warga negara yang disebut sebagai hak-hak konstitusional, yakni hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Kelalaian, pengabaian, atau pelanggaran atas hak konstitusional warga, baik yang disengaja maupun tidak, mengindikasikan negara telah melakukan tindakan yang inkonstitusional. Di antara hak-hak tersebut, ada yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, salah satunya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan.

 

Dua puluh tiga tahun yang lalu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan, atau Penghukuman Lain yang Kejam melalui UU No. 5 Tahun 1998. Di dalam Konvensi ini kita dapat mengenali definisi dari penyiksaan sebagai sebuah tindakan pencideraan fisik maupun non fisik untuk memperoleh informasi maupun sebagai hukuman oleh ataupun dengan sepengetahuan aparat negara. Pada konvensi ini kita juga mengenali bahwa pengaturan ini juga memuat larangan hukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Pada implementasi Konvensi, karenanya ada perhatian khusus diberikan kepada perempun dan kelompok rentan kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai tindak hukuman dan perlakuan kejam, yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, seperti hukuman mati, hukuman cambuk, pengarakan yang kerap didahului dengan penelanjangan, pemasungan, juga tindak sunat perempuan, perundungan transpuan dan berbagai pembiaran negara pada kekerasan yg bersifat masif dan sistemik seperti perkosaan dan kdrt.  Kembali pada Konstitusi kita, semua hal ini tentunya tidak saja melanggar hak untuk bebas dari penyiksaan tetapi juga hak-hak yang beratutan lainnya seperti hak atas rasa aman (Pasal 28 G Ayat 1),  perlindungan dan kepastian hukum (28D Ayat 1), juga untuk bebas dari diskriminasi (28I Ayat 2)

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang kami muliakan,

 

Jelang tujuh puluh enam tahun Indonesia merdeka, kekerasan terhadap perempuan sebagai warga negara tercatat angkanya meningkat setiap tahun baik yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarki, kebijakan dan regulasi yang tidak adil terhadap perempuan maupun politik dan hukum yang tidak berperspektif perempuan, serta praktik-praktik penyiksaan kerap dialami oleh perempuan. Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus yang meliputi kekerasan dalam ranah personal, komunitas dan negara. Diantara kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan meliputi penganiayaan, penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia. Tindak kekerasan ini juga  kita jumpai, terutama di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan seseorang, seperti rumah-rumah tahanan, lapas, panti-panti sosial dan tempat-tempat menyerupai rumah tahanan lainnya.

 

Bapak dan Ibu dan rekan-rekan sekalian,

 

Jaminan  hukum untuk bebas dari diskriminasi juga dapat kita jumpai dalam UU HAM, UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, maupun dalam UU Pengadilan HAM. Secara khusus, Komnas Perempuan adalah satu-satunya lembaga HAM yang di dalam peraturan pendiriannya dimandatkan untuk menggunakan kerangka CAT selain Konstitusi dan CEDAW.

 

Menyadari bahwa diperlukan banyak energi dan otoritas untuk bisa menyingkap dan mencegah praktik-praktik penyiksaan di Indonesia, maka Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersepakat untuk berkerjasama dalam rangka mencegah praktik penyiksaan dan menyusun strategi bersama untuk mendorong terbentuknya Mekanisme Nasional Pencegahan Penyiksaan (NPM) di Indonesia. Kerja sama ini disebut sebagai Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP).

 

Kerja sama ini telah berjalan selama lima (5) tahun. Sejumlah kegiatan telah dilakukan, sejumlah hasil telah dicapai. Capaian tersebut dapat dilihat pertama, pada penerapan prinsip-prinsip National Preventive Mechanism (NPM) sebagaimana Optional Protocol Convention Against Torture (OpCAT) secara nyata. KuPP telah melakukan pemantauan pada sejumlah lapas/rutan pada tahun 2019. Melalui dialog konstruktif KuPP bersama Ditjen Pemasyarakatan temuan pemantauan didiskusikan secara intensif yang menghasilkan kesepakatn ‘rencana aksi bersama’ yang menjadi rujukan untuk menilai kembali sejauh mana perubahan-perubahan terjadi. Salah satu tindak lanjutnya adalah Pelatihan bagi Pelatih (Training of Trainers) bagi staf Ditjen PAS untuk dilanjutkan dengan pelatihan di berbagai tempat di Indonesia, dalam wilayah kerja Ditjen PAS.

 

Tercatat 25 peserta (36% diantaranya perempuan) mengikuti pelatihan dengan fasilitator berpengalaman. Peningkatan kapasitas ini diharapkan berkontribusi pada semakin baiknya perlakuan terhadap warga binaan di lapas, lapas perempuan, LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) sesuai dengan norma dan standar hak asasi manusia, dan tempat-tempat tersebut semakin mendekati standar internasional. Capaian yang lain adalah dukungan Menko Polhukam Bapak Mahfud MD dan berbagai kementerian/lembaga akan perlunya ratifikasi Protokol Pilihan Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol CAT).

 

Salah satu yang menjadi fokus dari Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) ini adalah melakukan kampanye publik untuk memperkuat Gerakan Anti Penyiksaan yang dilakukan di berbagai medium. Menyambut Hari Anti Penyiksaan pada 26 Juni mendatang, tim KuPP lintas 5 lembaga negara mengambil pesan kampanye Kenali dan Cegah Penyiksaan dengan tujuan kampanye ini untuk mendorong ratifikasi OPCAT.

Ibu, Bapak dan Rekan-rekan,

 

Tentunya selain kerjasama lima lembaga, kampanye pencegahan penyiksaan perlu melibatkan rekan-rekan jaringan masyarakat sipil untuk membangun kesadaran publik dengan masif serta menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

 

Dalam kesempatan ini, kita akan sama-sama bertukar pikir untuk menyatukan pandang, membangun strategi, berbagi sumber daya sambil menyikapi segenap tantangan maupun peluang yang kita hadapi, termasuk yang hadir dari dampak pandemi Covid 19.

 

Semoga kerjasama serta kolaborasi dalam upaya pencegahan penyiksaan bersama ini dapat terbangun untuk meminalisir dan mencegah terjadinya tindakan penyiksaan, merendahkan martabat dan tidak manusiawi kembali serta memutus impunitas pelaku.

 

Saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kehadiran kawan-kawan, selamat mengikuti Workshop Kampanye Anti Penyiksaan.

 

Jakarta, 2 Juni 2021

 

 

 

 

Andy Yentriyani




Pertanyaan / Komentar: