Bentara
Budaya Jakarta, 24-27 April 2024
Selamat malam, salam Indonesia yang Bhinneka
Yang kita banggakan bersama, Ibu, kakak, saudara-saudara, para perawat dan pelanjut warisan budaya nusantara dalam bentuk wastra nusantara
Puji syukur kepada Sang Maha Pengasih lagi Penyayang karena kita diberikan nikmat sehat dan waktu untuk berkumpul bersama pada hari ini menyaksikan pembukaan pameran “Kartini Negeri”
Atas nama Komnas Perempuan dan sebagai individu, saya ingin memulai dengan mengucapkan terima kasih kepada Bentara Budaya dan rasa hormat karena diberikan kesempatan penting ini, untuk bersama-sama memaknai peringatan Hari Kartini dalam relevansi dan urgensinya dengan kondisi kehidupan perempuan masa kini dan di masa deppan, perempun sebagai sosok yang senantiasa menunjukkan ketangguhan dan kepemimpinannya dalam berbagai sektor kehidupan.
Saya menangkap bahwa kegiatan pada hari ini adalah perpaduan dari pemaknaan yang bersifat individual sebagaimana yang dihadirkan oleh para perupa dari karya dalam rentang 8 dekade, yaitu 1941 hingga 2019; dalam kisah wastra yang disajikan oleh para kolektor, maupun buah pikir yang dibagikan dalam percakapan oleh masing-masing pengisi acara dialog, rekan-rekan UMKM dan antar peserta yang mengikuti rangkaian kegiatan ini.
Selain itu, juga ada pemaknaan kolektif yang diwakilkan oleh narasi kurator yang menjalinkan pemaknaan individual sebagai pernyataan pengakuan pada pengalaman perempuan dan dukungan pada kepemimpinan perempuan. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan tajuk “ per- EMPU-an”, yang merujuk pada pemaknaan sosok perempuan sebagai sang ahli, para petarung yang penuh welas kasih, sebagaimana disampaikan dalam sambutan pihak Bentara Budaya.
Karenanya, apresiasi saya kepada para kurator, semua panitia, dan secara khusus kepada Bentara Budaya dan semua mitra yang memungkinkan kegiatan penting ini menjelma menjadi sebuah panggung penghormatan pada seluruh jerih upaya perempuan lintas sektor dan generasi.
Ibu, Bapak, dan sahabat2 yang berbahagia
Perkenankan saya memperkenalkan Komnas Perempuan, atau Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Ini adalah lembaga independen, berdiri sendiri sebagai mitra sejajar baik dengan kementerian maupun lembaga-lembaga negara lainnya.
Lembaga ini lahir tragedi Mei 1998 dan diamanatkan untuk melakukan upaya-upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak perempuan. Di antaranya adalah dengan melakukan pemantauan, pencarian fakta, pendokumentasian, kajian yang seluruh hasilnya dapat dimanfaatkan untuk pendidikan publik dan perubahan kebijakan.
Mungkin di sini Ibu, Bapak dan saudara2 hadir ada
yang mengenal ibu Saparinah Sadli. Beliau adalah ketua pertama dari Komnas
Perempuan yang dalam usianya ke-97 menjadi salah satu tokoh perempuan lansia
tangguh. Dalam percakapan kami, saya kerap ditanya tentang apa yang berubah
dari persoalan kekerasan terhadap perempuan. Apalagi jika disimak sejak masa
Kartini bahwa ada sejumlah persoalan kekerasan terhadap perempuan yang terus
hadir, seolah berurat akar gulma, seperti perkawinan anak, pemotongan / pelukaan
genitalia yang kerap disebut sunat perempuan, pemaksaan perkawinan, KDRT,
rendahnya pendidikan perempuan dan angka kematian ibu. Meski peningkatan
kesadaran masyarakat dan upaya pemerintah untuk mengatasinya dapat diamati,
namun kemajuan dalam penanganannya masih terlalu pelan.
Karenanya, pemaknaan bersama dalam peringatan Kartini hari ini adalah juga penting untuk mengingatkan kita pada sejumlah PR yang perlu dikerjakan bersama. Termasuk melalui ekspresi seni dan budaya, kegiatan pameran yang memantik percakapan kolaborasi bagi pemajuan hak-hak perempuan.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang dimuliakan
Setiap tahunnya Komnas Perempuan mengeluarkan dokumen Catatan Tahunan, sebuah kompilasi data nasional kasus-kasus yang dilaporkan kepada berbagai lembaga yang diselenggarakan oleh negara maupun masyarakat. Pada tahun 2023 lalu, dari 123 lembaga yang berkontribusi secara sukarela untuk penyusunan CATAHU, diketahui ada 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, dimana mayoritasnya masih kekerasan di dalam rumah tangga.
Untuk tahun 2023, pelaporan langsung ke Komnas Perempuan berjumlah 4.374 pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan 3.303 kekerasan berbasis gender dimana 25%nya adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di ranah personal, publik maupun negara. Kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022 tampaknya mempengaruhi kecenderungan ini, terutama mengamati adanya peningkatan pelaporan kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Para perempuan penyintas kekerasan adalah sosok-sosok yang tangguh karena mereka berjuang menghadapi dampak dari kekerasan, baik itu dampak fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial dan budaya. Sering sekali mereka bahkan tidak pernah menceritakan kekerasan yang mereka hadapi karena tuntutan keluarga atau sosial yang menyebabkan mereka harus bungkam.
Dalam konteks lain, kita juga melihat para perempuan bertarung setiap harinya untuk dapat menjadi penyangga kelangsungan kehidupan keluarganya. Sebuah pengalaman yang bisa jadi begitu berbeda dari yang laki-laki. Saya ambil contoh pengalaman di commuter line Jabodetabek. Sering saya ditanya, mengapa gerbong campur terasa lebih ramah daripada gerbong khusus perempuan, antara lain ditandai oleh masih ada yang mau berbagi tempat duduk.
Sebetulnya tidak mengherankan, karena perempuan sebelum tiba di gerbong seringkali telah banyak melakukan kerja-kerja yang melelahkan: memastikan seluruh anggota keluarga siap menjalankan aktivitasnya. Sementara yang laki-laki boleh jadi hanya perlu menyiapkan dirinya sendiri, itu pun jika ia tidak hanya menunggu apa yang sudah disiapkan oleh anggota keluarganya yang perempuan. Karenanya, bagi perempuan berada di gerbong khusus perempuan bisa jadi adalah satu-satunya waktu sendiri, “me time”, duduk sebentar untuk menata energinya, sebelum nanti harus menghadapi hiruk-pikuk kerja. Sementara bagi yang laki-laki, energi pagi masih utuh untuk dapat bangkit memberikan tempat duduk bagi rekan perempuan yang ada di gerbong campur.
Contoh lain dari perempuan petarung adalah saudara-saudara kita yang merupakan bagian dari komunitas adat atau kelompok agama minoritas. Mereka harus menghadapi tantangan dalam konteks politisasi identitas yang mengarah pada pengunggulan satu identitas tertentu, termasuk dengan menggunakan kuasa kebijakan publik untuk menghadirkan kebijakan yang diskriminatif terhadap mereka, antara lain, kebijakan pemaksaan busana atas intepretasi agama tertentu. Karenanya, apresiasi saya pada sambutan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Peindungan Anak di dalam kesempatan ini yang menggarisbawahi pentingnya kita, para pelestari budaya nusantara, memiliki kesadaran kritis dan terus bergotong-royong merawat kebhinnekaan di dalam masyarakat Indonesia. Upaya kita bersama ini akan memiliki kontribusi yang serius pada kehidupan saudara-saudara perempuan kita, khususnya dari masyarakat adat dan agama minoritas.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang dimuliakan,
Kegiatan kita pada hari ini juga mengingatkan pada satu lagi jenis perempuan petarung. Mereka adalah pekerja di sektor informal, yang mayoritasnya adalah perempuan. Misalnya dalam sektor pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan, yang model usaha ini juga dikenali dalam ekosistem produksi wastra. Sebagai pekerja di sektor informal mereka hampir tidak mendapatkan perlindungan hukum. UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau mereka, sementara UU Cipta Kerja justru semakin memudahkan sistem outsourcing yang mengurangi kewajiban perusahaan dalam memastikan pemenuhan hak-hak normatif pekerja, termasuk dengan penggunaan istilah “mitra”.
Akibat ketiadaan perlindungan hukum ini, pekerja informal, terutama perempuan mengakibatkan mereka rentan mengalami eksploitasi dengan upah yang rendah dan waktu kerja yang panjang. Apalagi karena perempuan upah mereka dilihat hanya sebagai nafkah tambahan bagi keluarganya. Bagi buruh batik misalnya, Kompas dan berbagai media pernah mengungkapkan ini, misalnya nilai upah yang diterima dalam laporan tahun 2022 bisa berkisar hanya 500 ribu per bulan, atau kurang dari 20 ribu per hari kerja, dengan nilai bisa jadi kurang dari 10% harga jual dari tiap lembar batik tulis yang dihasilkannya.
Para perempuan pekerja sektor informal juga menghadapi kekerasan psikis dalam bentuk ancaman kehilangan pekerjaan jika mengadukan atau memprotes kondisinya, termasuk ketika mengalami kekerasan seksual seperti pelecehan seksual dari majikan atau pihak pemberi kerja, perantara, atau mandor, bahkan sesama pekerja.
Pada pekerja rumahan, karena lokasi kerja adalah juga rumah maka mereka juga langsung menghadapi beban berlipat ganda pada saat bersamaan. Mungkin saat ini pasca pandemik covid-19 lebih gampang kita memahami beban berlipat ganda pada saat bersamaan ini- menjadi pekerja tapi saat bersamaan harus melaksanakan tugas sebagai ibu mendampingi anak bersekolah, melayani suami yang juga bekerja di rumah, dan merawat rumah dan anggota keluarga lainnya. Ketiadaan pembedaan ruang kerja dan rumah mengakibatkan kerentanan baru pada kekerasan dalam lingkup rumah tangga ketika pasangan atau anggota keluarga yang lain menuntut perhatian yang lebih di tengah pekerjaan yang harus dilakukan.
Karena pekerja informal mereka juga kerap tidak mendapatkan fasilitas keselamatan kerja. Akibatnya, sebagai contoh pada perempuan pekerja wastra, mereka gampang terpapar masalah kesehatan, seperti gangguan muskoleskeletal yang menyerang otot, saraf, urat, sendi dan tulang yang terkait dengan posisi kerja yang cenderung statis selama berjam-jam gangguan pernafasan, liver, ginjal, pusat saraf dan lainnya akibat menghisap unsur kimia yang digunakan, dan bahkan gangguan kesehatan reproduksi yang dapat diteruskan kepada janin yang sedang dikandung.
Bila terjadi gangguan kesehatan, mereka juga tidak dapat leluasa mengakses layanan kesehatan atau izin sakit karena akan mengurangi waktu kerja yang berarti semakin sedikit upah yang dapat mereka peroleh, padahal merupakan kontribusi penting jika bukan tulang punggung kehidupan ekonomi keluarga. Hal serupa juga dihadapi ketika perempuan pekerja informal termasuk di sektor wastra enggan untuk mengambil cuti hamil dan melahirkan.
Ibu, Bapak dan para sahabat yang saya muliakan
Menyimak kondisi yang dihadapi para pekerja perempuan sektor wastra dan industri informal lainnya, saya ingin mengakhiri sambutan ini dengan mengajak Ibu, Bapak dan saudara-saudara sekalian untuk turun mendukung upaya memberikan pelindungan hukum sehingga kesejahteraan mereka dapat membaik. Di antaranya adalah dengan mendukung pengesahan UU Pelindungan Pekerja Rumah tangga yang telah tertunda hampir 2 dekade, mendorong adanya aturan hukum bagi pekerja rumahan, memastikan aturan di perusahaan, dan membangun bisnis wastra yang lebih berkeadilan bagi pekerja.
Dengan perbaikan tersebut, produktivitas mereka juga akan meningkatnya dan terutama, kita semua dapat berkontribusi menghadirkan Indonesia yang bermartabat dan sentosa. Inilah yang sesungguhnya menjadi roh dari semangat Kartini, yang menempatkan emansipasi perempuan sebagai bagian yang tidak terlepas dari visi mewujudkan peradaban yang berperikemanusian dan keadilan.
Ibu, Bapak dan saudara-sauda sekalian
Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan, semoga sambutan ini dapat menjadi pemantik kolaborasi kita ke depan dalam berbagai isu pemajuan hak perempuan dalam kesetaraan dan keadilan.
Terima kasih atas atensi dan dukungannya, serta selamat menikmati pameran.
Salam Indonesia yang bhinneka
Jakarta, 24 April 2024