Sambutan Ketua Komnas Perempuan pada Seminar Publik
Memerangi Penyiksaan dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang terkait Kekerasan Seksual
Yang kita banggakan bersama, Ibu, Kakak, saudara-saudari kita penyintas penyiksaan dan kekerasan seksual di berbagai tempat di Indonesia, Rekan-rekan perempuan pembela HAM yang terus teguh dalam juang.
Yang terhormat,
Bpk Stéphane MECHATI, Deputy Head of Mission untuk Indonesia dan Brunei Darussalam
Sahabat kita, Kompol Ema Rahmawati, KANIT II/PPA SUBDIT III DIT TIPIDUM BARESKRIM POLRI
dan Mbak Iyik, Dr. Sri Wiyanti Edyono, SH, LLM, dosen hukum pidana di Universitas Gajah Mada yang kita kenali aktif dalam perumusan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (atau UU TPKS) dan revisi Kitab UU Hukum Pidana (atau KUHP) yang akan kita diskusikan pada pagi hari ini.
Juga, rekan kita Dian Novita, Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, yang juga aktif dalam mengawal kedua produk hukum ini.
Dan juga Ibu Putu Elvina, S.Psi, MM., komisioner Komnas HAM yang berkenan memoderatori kegiatan pagi hari ini.
Yang kami muliakan, para tamu para undangan yang minta maaf tidak dapat saya sapa satu persatu baik di dalam ruangan ini maupun di online, rekan2 pimpinan dan komisioner Komnas Perempuan, khususnya kak Rainy Hutabarat yang juga akan menjadi narasumber dalam kegiatan kita, dan Sdr. Veryanto Sitohang yang mengawal pelaksanaan kegiatan ini bersama rekan-rekan badan pekerja Komnas Perempuan.
Selamat pagi, salam Indonesia yang Bhinneka.
Penuh syukur ke hadirat Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena kita diberikan nikmat sehat dan waktu sehingga dapat bersama-sama berkumpul pada pagi hari ini untuk berpartisipasi dalam seminar publik “Memerangi Penyiksaan dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang terkait Kekerasan Seksual”
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang kami muliakan
Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Demikian janji konstitusi kita dan juga komitmen global yang salah satunya tertuang dalam Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan lain yang Kejam, Merendahkan Martabat dan tidak Manusiawi. Konvensi ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, menjadikannya bagian dari hukum nasional sejak 25 tahun yang lalu melalui UU No. 5 Tahun 1998. Karenanya, kegiatan seminar publik ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan 25 tahun ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.
Masih dalam rangkaian kegiatan peringatan 25 tahun Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, pada hari kemarin, tepat pada Hari Menentang Penyiksaan, 26 Juni 2023, kita juga menyaksikan konferensi pers bersama 6 lembaga Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (atau KuPP), yang terdiri dari Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Dalam konferensi pers kemarin, kami menekankan pentingnya untuk terus menguatkan kerja sama lintas pihak yang telah terbangun sejak KuPP dibentuk pada tahun 2016, termasuk untuk mendorong pelaporan berkala Indonesia mengenai perkembangan menentang penyiksaan, dan juga untuk meratifikasi Optional protocol CAT yang menjadi salah satu rekomendasi kunci selama empat siklus Universal Periodic ReviewIndonesia.
Dalam kesempatan pagi hari ini, kita akan membahas topik yang lebih khusus mengenai tindak penyiksaan dengan terutama berangkat dari pengalaman perempuan korban kekerasan berbasis gender dan keterkaitannya dengan perkembangan peraturan perundang-undangan kita, khususnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan revisi Kitab UU Hukum Pidana
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang terhormat,
Bagi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), UU No. 5 tahun 1998 yang mengesahkan Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan lain yang Kejam, Merendahkan Martabat dan tidak Manusiawi, adalah salah satu rujukan kunci yang disampaikan di dalam peraturan presiden pembentukan Lembaga ini.
Isu penyiksaan, khususnya penyiksaan seksual, sesungguhnya tidak asing bagi Komnas Perempuan, yang lahir dari desakan masyarakat sipil sebagai wujud tanggung jawab negara pada tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998. Segera setelah kasus ini terungkap di masyarakat, tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam berbagai konteks konflik di Indonesia juga terungkap, termasuk dalam bentuk penyiksaan seksual baik yang dilakukan sebagai cara untuk memperoleh informasi, menghukum, ataupun sebagai proxy target atau target antara bagi anggota keluarganya yang lain. Sejumlah kasus-kasus penyiksaan ini telah didokumentasikan dalam publikasi hasil pemantauan dan pencarian fakta Komnas Perempuan, misalnya dalam konteks di Aceh, Papua, Timor Timur (yang kini menjadi negara Timor Leste), dan Poso.
Sebagai komitmen untuk menentang penyiksaan, Komnas Perempuan menempatkan isu ini sebagai salah satu isu prioritas setiap periodenya: Memberikan perhatian khusus pada kondisi perempuan berhadapan dengan hukum yang menjadi tahanan ataupun warga binaan; yang menghadapi hukuman mati ataupun hukuman badan lainnya; saudara-saudara kita yang menghadapi kondisi serupa tahanan, misalnya di pusat-pusat rehabilitasi; dan juga praktik-praktik di dalam masyarakat yang dapat menjadi bagian dari apa yang dikenali sebagai penyiksaan, penghukuman ataupun perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Hasil dari pendokumentasian ini menjadi bagian dari isu yang kita advokasi pada saat merumuskan UU TPKS sehingga ada satu pasal khusus, yaitu pada Pasal 11, mengenai tindak penyiksaan seksual. Lebih lanjut mengenai konstruksi hukumnya akan kita bahas bersama para narasumber yang juga akan membincang tentang tantangan – tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan UU tersebut.
Ibu, Bapak dan Rekan-rekan yang berbahagia,
Di tingkat global, pembahasan tentang keterhubungan antara Konvensi Menentang Penyiksaan itu dengan berbagai tindak kekerasan berbasis gender juga terus berkembang. Isu-isu kesehatan reproduksi, praktik tradisi yang berbahaya bagi perempuan, sampai dengan kekerasan di dalam rumah tangga menjadi perhatian serius.
Pada saat Komnas Perempuan bersama dengan mitra-mitra di 3 region membuat background study untuk pelaporan 25 tahun ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, terungkap bahwa bagi sebagian besar organisasi perempuan Konvensi ini masih asing untuk digunakan sebagai bagian dari alat advokasi.
Karenanya, seminar publik pada hari ini diharapkan akan dapat memperdalam pengetahuan mengenai kerangka konvensi menentang Penyiksaan sehingga dapat menguatkan strategi advokasi kita ke depan.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang kami muliakan
Komnas Perempuan juga menggunakan kesempatan seminar publik ini sebagai ruang untuk kick off atau mempublikasikan kerja bersama Komnas Perempuan dengan European Union , yang hari ini diwakili oleh Bapak Stéphane Mechati, Deputy Head of Mission EU untuk Indonesia dan Brunei Darussalam. Kerja sama ini akan dilakukan selama hampir 2,5 tahun ke depan untuk penguatan peran Komnas Perempuan sebagai Lembaga nasional hak asasi manusia yang berfokus pada penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan seksual. Dukungan dari EU ini juga memungkinkan keberlanjutan upaya dari kerja bersama 6 lembaga dalam KuPP, serta dukungan kapasitas bagi Lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan seksual yang akan disalurkan melalui mekanisme Pundi Perempuan yang dikelola oleh Komnas Perempuan bersama Indonesia untuk Kemanusiaan.
Pak Stéphane Mechati, apresiasi kami untuk dukungan dari EU yang sangat berarti ini. Terima kasih.
Akhir kata, saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan terima kasih sekali lagi kepada semua narasumber, moderator dan Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang telah menyediakan waktu dan perhatian untuk kegiatan seminar publik kita pada pagi hari ini. Kepada komisioner pengampu Subkomisi Partisipasi Masyarakat dan Tim Advokasi Internasional rekan Komisioner Veryanto Sitohang, Bahrul Fuad, Tyasri Windani dan Rainy Marike Hutabarat, Ibu Sekjen, serta kawan2 badan pekerja khususnya Yulita, Siti, Elsa, Kak Friskha, Ridah dan kawan-kawan DU, Keuangan dan PME, juga Mas Antonio Pradjasto Hardojo selaku program manager dari kerja sama Komnas Perempuan dan EU, Terima kasih atas kerja keras sehingga kegiatan ini dapat berlangsung.
Juga terimakasih kepada rekan-rekan juru Bahasa isyarat, penerjemah simultan Bahasa Inggris-Indonesia dan rekan-rekan Global Bahasa yang memungkinkan diskusi hari ini dapat diakses lebih luas.
Saya akhiri sambutan di sini sekaligus membuka dengan resmi seminar publik “Memerangi Penyiksaan dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang terkait Kekerasan Seksual”, pada hari ini, Selasa 27 Juni 2023.
Semoga hasil dari diskusi ini terus meneguhkan komitmen kita bersama untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari penyiksaan atas dasar apa pun, dalam bentuk apa pun. Indonesia yang bermartabat, adil dan makmur.
Selamat berdiskusi.
Jakarta, 27 Juni 2023
Andy Yentriyani
Ketua