...
Sambutan Ketua
Sambutan Ketua Komnas Perempuan Peringatan Tragedi Mei 1998

SEMINAR NASIONAL:

“PELANGGARAN HAM MASA LALU DI PERSIMPANGAN JALAN”

Jakarta, 13 Mei 2024

Kepada Yth.

Ibu/Bapak Para Penyintas Pelanggaran HAM Masa Lalu dalam berbagai konteks pelanggaran Ham yang berat maupun pelanggaran Ham lainnya, yang kita kenali proses penamaan ini lekat bukan saja pada proses hukum tetapi juga proses politik. Kepada kawan-kawan pembela HAM, khususnya pendamping komunitas penyintas.

Ibu/Bapak narasumber dan moderator:

  1. Perwakilan korban/pendamping mewakili masing-masing isu: Mei 98, 65/66, Aceh, Papua, Tanjung Priok.
  2. Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers periode 2016-2019.
  3. M. Choirul Anam, Komisioner Purnabakti Komnas HAM Periode 2017-2022, Perwakilan Anggota PPHAM tahun 2023.
  4. Ita F Nadia, Komisioner Purnabakti Periode 1998-2001& 2003-2006 dan Pendamping Korban Mei 98.
  5. Mariana Amiruddin, Wakil Ketua  Komnas Perempuan
  6. Moderator, Indria Fernida, AJAR

Pengisi Acara, Paduan Suara Ibu-Ibu Dialita , PINTI dan Wanodja Binangkit

Ibu/Bapak tamu undangan baik dari pemerintah provinsi DKI dan pemerintah daerah lainnya seperti Medan, Solo, Semarang, Surabaya, Kupang, Palu, Aceh, KKR Aceh, Papua, MRP Papua dan Papua Barat

 

Ibu/Bapak dari dinas Pendidikan DKI Jakarta, beserta guru-guru dari perwakilan SMA di DKI Jakarta serta beberapa murid yang turut hadir dan juga Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Timur yang mengupayakan terus merawat Memorialisasi Monumen Mei 98 di makam massal korban Mei TPU Pondok Ranggon.

Mitra Komnas Perempuan lainnya baik dari lembaga layanan, rekan-rekan media serta seluruh undangan dan para hadiri yang kami hormati baik luring dan daring.

Serta Keluarga Besar Komnas Perempuan: Komisioner, Komisioner Purna Bakti, Sekjen, Badan Pekerja dan seluruh jajaran di Komnas Perempuan yang terus merawat kerja-kerja terkait pemenuhan hak asasi korban, termasuk korban pelanggaran HAM Masa Lalu yang hingga saat ini belum sepenuhnya mendapatkan hak-haknya. 

Selamat pagi, salam sehat, salam nusantara 

Puji dan syukur kita selalu panjatkan kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang karena memberikan kita nikmat sehat dan waktu untuk dapat berkumpul dan mengikuti serangkaian peringatan Mei 98 tahun ini dengan dibuka sebelumnya, minggu 12 Mei melalui agenda Napak Reformasi sekaligus tabur bunga di makam massal korban Mei 98 PTU Pondok Rangon dan dilanjutkan hari ini dalam seminar dan konsolidasi nasional isu pelanggaran HAM Masa Lalu bersama penyintas, pendamping serta pemerintah daerah pada 13-14 Mei 2024.

Perkenankan saya memulai sambutan ini dengan mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber, moderator, pengisi acara serta semua peserta yang berkenan menyediakan waktu dan energi untuk menyampaikan pandangan situasi terkini, tantangan dan arah ke depan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM Masa Lalu termasuk pada dimensi kekerasan terhadap perempuan dan pemajuan hak-hak Perempuan pada situasi konflik masa lalu.

Ibu/Bapak dan hadirin yang saya Muliakan

Pagi ini, dua puluh enam tahun yang lalu sejumlah rekan Ibu, Bapak dan rekan-rekan serta saya terhenyak dengan sebuah kondisi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Saya berada dalam rombongan yang berusaha pulang dari Jakarta dengan kereta api terakhir menuju Depok. Saat itu saya berupaya menyelamatkan dua orang adik yang baru hari kedua tiba di Jakarta untuk persiapan ujian masuk universitas. Seorang bapak di kereta itu mengingatkan untuk pulang, jangan keluar lagi untuk tetap aman.

Belakangan kita mengetahui bahwa di tengah kerusuhan tersebut juga terjadi kekerasan seksual, yang menurut Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, kerusuhan menjalar ke berbagai penjuru kota Jakarta, dengan bergerombol orang yang menyemangati masyarakat untuk melakukan penjarahan, sementara Gedung dan rumah banyak ditandai dengan gelar sejadah, kata Allahu Akbar atau Tuhan Maha Besar dalam huruf Arab, serta pernyataan “milik pribumi”. Semua tanda ini dimaksudkan untuk menghindari menjadi target kerusuhan, sekaligus merujuk kepada siapa dari target kerusuhan itu.

Dalam proses memperingati ini kita diingatkan bahwa Indonesia pada masa itu, dan mungkin juga mendialogkan seberapa jauh Indonesia sudah berubah setelah 26 tahun, bahwa militerisme, kapitalisme yang menajamkan jurang sosial, rasisme, seksisme, dan strategi mengubah konflik vertikal menjadi horisontal, menjadi faktor-faktor yang mengakibatkan Tragedi Mei dapat terjadi, sulit ditangani, dan mungkin berulang. Situasi ini juga dihadapi di berbagai daerah.

Tetapi saya ingin menggarisbawahi bahwa di tengah peristiwa ini kita juga menyimak gerakan solidaritas lintas kelompok masyarakat. Kita yang memilih untuk melakukan dukungan bagi korban mengalami proses yang meneguhkan itikad untuk memastikan peristiwa serupa tidak lagi berulang, mengupayakan pemenuhan hak korban atas kebenaran-keadilan dan pemulihan, serta memutus impunitas pelaku. Saya meyakini ini juga terjadi dalam berbagai konteks pelanggaran HAM dan juga konflik di berbagai daerah di Indonesia.

Solidaritas lintas kelompok masyarakat ini adalah modalitas kita, Ibu, Bapak dan rekan2 yang dimuliakan. Di tengah keterbatasan dan segenap ketidakpastian, menjadi basis gerakan HAM di Indonesia yang menghadirkan sejumlah perbaikan dalam berbagai aspek. Dalam payung hukum, kita jadi punya UU HAM di tahun 1998, UU pengadilan HAM, UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta berbagai UU yang terkait dengan penegakan hak asi manusia, termasuk UU terkait ratifikasi 8 dari 9 Konvensi dan konvenan kunci. Kini kita semua menanti kapan janji ratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa akan direalisasi.

Selain itu juga kini ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan tonggak transformasi hukum pidana Indonesia. Dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta sebanyak 85 kasus dapat diverifikasi, dimana 52 di antaranya adalah perkosaan, selain ada juga perkosaan yang dilakukan dengan menggunakan barang selain penetrasi genital laki-laki. Penggolongan ini sesungguhnya juga menunjukkan keterbatasan payung hukum Indonesia saat itu dalam mengenali kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Karenanya, transformasi hukum pidana menjadi salah satu rekomendasi utama dari TGPF dan juga dari Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap Perempuan dalam misinya ke Indonesia untuk Tragedi Mei 1998 dan di Daerah Operasi Militer yaitu Aceh, Papua dan Timor Timur.  

Kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan kerja panjang kita semua untuk memastikan ada perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual dalam berbagai rentetan peristiwa pelanggaran HAM dan kekerasan lainnya di masa lampau maupun yang bergulir dua puluh empat tahun setelah Tragedi Mei 98 dan juga mengantisipasi berbagai peristiwa seksual setelah 2022. Tentunya saat ini banyak sekali dari kita yang ikut turut mengawal implementasinya.

Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,

Modalitas penting lain yang kita miliki adalah inisiatif masyarakat sipil dalam mengupayakan pemenuhah hak korban dengan mendorong negara untuk bekerja tetapi juga terus mengisi keksosongan sebagai inspirasi proses berkelanjutan yang memulihkan korban.

Ada kawan-kawan yang bergerak dalam pendokumentasian kasus-kasus secara mandiri. Ini bukan tugas yang mudah, dan bahkan semakin sulit ketika dia berulang karena kita akan menghadapi resistensi dari korban yang bertanya, kali ini dokumentasi untuk apa lagi? Juga ada kawan-kawan yang berkarya di upaya memorialisasi untuk memelihara ingatan bahwa PR kita masih terbentang.

Menggunakan peristiwa  Mei 1998 misalnya ada kawan-kawan dari Solidaritas Nusa dan Bangsa yang bersama dengan ibu-Ibu yang tergabung dalam komunitas penyintas Mei 98 membuat memorialisasi dan rekonsiliasi melalui pembuatan  boneka Mei  98 dan Prasasti Jarum Mei 98 di Klender, yang kini ditempatkan di Komnas Perempuan. Juga ada Ibu-Ibu dari Persatuan Indonesia Tionghoa  yang membuat selendang persahabatan, yang kemarin secara langsung telah dijelaskan bagi kawan-kawan peserta Napak Reformasi. Di Trisakti, ada museum Mei atas peristiwa penembakan mahasiswa yang merupakan rangkaian dari Tragedi mei 199. Ada juga ibu-ibu yang bergabung dalam paduan suara sebagai ruang mengingatkan kesewenangan terhadap perempuan yang ditangkap dan ditahan tanpa peradilan yang adil. Inisiatif serupa juga tampak di berbagai peristiwa pelanggaran HAM di berbagai daerah, yang nanti akan juga bisa kita dengarkan langsung dari saudara-saudara kita baik dari penyintas maupun pendamping. 

Komnas Perempuan berupaya untuk meneguhkan inisiatif memorialisasi yang dilakukan oleh masyarakat. Semangat inilah yang menjadi dasar bagi Komnas Perempuan menggagas Napak Reformasi di tahun 2010, sebagai sebuah metode untuk pendidikan sejarah, memastikan komitmen bersama mencegah keberulangan di samping menjadi ruang meneguhkan inisiatif yang ada di dalam masyarakat. Metode ini dilakukan dengan mengunjungi situs-situs ingatan dan memperkenalkan berbagai rupa dari upaya memorialisasi, juga menjelaskan akar masalah dan faktor pemicu dari sebuah pelanggaran HAM, dampak, proses penanganan dan konsekuensinya.

Komnas Perempuan berbangga bahwa sebagai sebuah metode, Napak Reformasi menjadi inspirasi bagi kawan2 di daerah pula, seperti Napak Damai di Ambon terkait konflik berulang di provinsi itu, ataupun Naganamo di Palu untuk mengingatkan peristiwa kerja paksa terhadap tahanan terkait tragedi 1965. Juga, ada Lorong Ingatan di Aceh.

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang terhormat,

Kita semua pada hari ini ada dalam lintasan sejarah untuk memastikan kemajuan-kemajuan yang sudah ada akan terus berjejak di masa mendatang. Karenanya secara khusus, karena Komnas Perempuan lahir dari Tragedi Mei 1998, setelah memorialisasi di Pondok Rangon dan lainnya, Komnas Perempuan bersama komunitas korban dan pendamping terus mendorong dukungan yang lebih luas dari pemerintah DKI Jakarta, termasuk untuk menjadikan Napak Reformasi sebagai muatan lokal pendidikan sejarah. Langkah serupa yang juga masih terus kita upayakan memorialisasi di Solo yang rencanakan akan dilakukan di tahun ini (2024), mengingat di daerah itu juga ada makan yang tidak dapat diidentifikasi dari Tragedi Mei 1998.

Juga, mendukung inisiatif rencana memorialisasi di kampus Universitas Negeri Medan yang memiliki Sejarah temuan kekerasan seksual aparat terhadap mahasiswi yang berdemo saat peristiwa Mei ‘98. Surabaya, dengan isu penghilangan paksanya dan juga temuan kasus kekerasan seksual pada rentetan menjelang dan sesudah peristiwa Mei 98. Kupang untuk gagasan memoriliasi terkait Tragedi 1965 yang digagas masyarakat sipil, terutama dimulai dari para tokoh agama Perempuan.

Pad akesempatan ini saya juga ingin menginformasikan bahwa di  Semarang, ada komunitas Rasa Darma yang membuat sinci Ita Martadinata, yang kita ketahui kematiannya tidak lama berselang dari upaya pengungkapan kasus dalam Tragedi Mei 1998. Kematiannya menjadi mengintimidasi keluarganya dengan luar biasa, menjadi PR bagi kita dalam hal perlindungan saksi dan korban. Komunitas Rasa Dharma juga membuat simbolisasi Rujak Pare, yang akan juga kita cicipi bersama di akhir seminar ini. Simbolisasi ini tidak saja untuk mengingatkan rasa pahit Tragedi Mei 1998, tetapi juga meneguhkan upaya bersama dari kita untuk memutus peristiwa serupa.

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang dimuliakan,

Dalam upaya memastikan inisiatif masyarakat diketahui, diakui dan didukung oleh pemerintah, Komnas Perempuan menggunakan peluang yang hadir dari komitmen penyelesaian pelanggaran HAM yang Berat di Masa Lalu dengan mekanisme non judisial. Dalam berbagai diskusi dengan Tim ini kami mengingatkan agar selain pendataan, berbagai inisiatif yang telah ada perlu menjadi bagian dari program.

Tampaknya ini masih menjadi sebuah langkah yang panjang dan penuh tantangan. Karena seperti disampaikan oleh rekan-rekan di Aceh, dalam proses pelaksanaannya ada berbagai kondisi yang menimbulkan ketegangan. Antara lain adalah proses memorialisasi yang dianggap kurang partisipatif. Atau proses yang menimbulkan pertanyaan baru tentang keseriusan untuk menyelesaikan persoalan secara tuntas, misalnya ketika ada informasi tentang adanya tulang belulang yang ditemukan di area Rumoh Geudong yang menjadi titik memorialisasi itu. Juga ada kritik pada program pemulihan korban dimana bukan saja dikhawatirkan bantuan tidak dapat dinimakati oleh semua, tidak sesuai kebutuhan, dan dapat menimbulkan konflik baru di masyarakat antara yang memperoleh dan tidak memperoleh bantuan.

Saat ini keberlanjutan dari upaya perbaikan-perbaikan dalam menjalankan komitmen penyelesaian non yudisial dalam pertanyaan besar. Dari penjelasan pendamping yang saya peroleh dalam diskusi yang digagas Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKP), sebuah kelompok kerja masyarakat sipil untuk penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, sejumlah bantuan yang disediakan itu sangat dibutuhkan. Sementara, tugas dari Tim telah berakhir di Desember 2023 lalu dan kini telah memasuki bulan kelima di tahun 2024. Karenanya kita semua berharap, komitmen untuk menjalankan ini akan dilakukan lintas periode kepemimpinan nasional, dan ada percepatan dalam pembentukan tim pemantaunya.

Komnas Perempuan sendiri memilih untuk tidak berada di dalam bagian langsung dari tim pemantau melainkan memainkan peran sebagai pengawas dari luar tim sehingga dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi dari waktu ke waktu terhadap tim tersebut.

Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,

Kita semua yang mendukung mekanisme non yudisial juga menginginkan agar ia hadir berdampingan dengan mekanisme judisial yang akuntabel. Saat ini ada sejumlah peristiwa pelanggaraan HAM yang diupayakan diproses secara hukum. Informasi mengenai fakta-fakta peristiwa yang sudah dikumpulkan oleh Komnas HAM kemudian menjadi berkas yang bolak-balik dikembalikan oleh pihak kejaksaan sehingga menyebabkan ketertundaan memproses kasus perlu kita atasi bersama.

Tetapi kita juga sudah menyaksikan bagaimana mekanisme persidangan juga telah digunakan untuk menjadi ajang untuk tidak memperlihatkan pertanggungjawaban komando. Sebaliknya, ia turut menjadi ruang impunitas pelaku. Karena itu, di tengah upaya mendorong mekanisme yudisial kita perlu betul-betul mendorong reformasi peradilan itu sendiri, memastikan agar akuntabilitasnya terjamin.  

Hal lain yang ingin saya sampaikan dengan menggunakan momentum peringatan Mei 1998 ini adalah  tentang kelembagaan. Komnas Perempuan yang menyebut dirinya sebagai putri sulung reformasi karena menjadi lembaga independen pertama setelah masa Orde Baru,  tidak pernah lepas dari isu soal peleburan. Seringkali hingga kini kami dihadapkan dengan pertanyaan dengan canda, “kalau ada Komnas perempuan, mengapa tidak ada Komnas Laki-laki?” Pertanyaan ini seolah orang lupa bahwa kelahiran Komnas Perempuan pada masa itu bukan berarti tidak ada perhatian pada rekan yang laki-laki. Dalam proses institusionalisasinya, saat itu juga telah ada Komnas HAM yang telah berdiri dari 1993. Tetapi ada kebutuhan yang mendesak untuk dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan, kekerasan berbasis gender dengan sebuah lembaga yang bersifat independen.

Lahir di tengah pusaran sejarah itu Komnas Perempuan seringkali dianggap anomali. Sampai saat ini tidak punya ASN, satker masih bersama dengan Komnas HAM. Dalam banyak kesempatan diposisikan sebagai lembaga independen yang berkontribusi pada berbagai isu melalui kerja-kerja nyatanya. Di saat lain, terutama ketika berhadapan dengan birokrasi keuangan/penganggaran, sublim, kadang diingat kadang tidak untuk diundang. Bahkan kami diberitahu bahwa dalam diskusi perubahan UU HAM, wacana peleburan terus digulirkan.

Dua puluh enam tahun tentunya situasi sudah jauh berbeda dari tahun 1998 ketika Komnas Perempuan dilahirkan. Sebuah lembaga tentunya tidak bisa sekedar hadir sebagai klaim sejarah, tetapi ia perlu mampu membuktikan dan dinyatakan bersama tentang relevansi untuk terus hadir. Untuk itu saya ingin mengajak kita semua untuk menggunakan momentum peringatan Mei 1998 untuk membayangkan kelembagaan Komnas Perempuan. 

Satu lagi lembaga yang juga perlu dipikirkan adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan, yang dulu di masa Orde Baru disebut Kantor Urusan Peranan Wanita. Masa Reformasi memungkinkan untuk menjadi kementerian yang lebih berdaya. Saat ini dengan peraturan presiden, kementerian ini telah diberikan kewenangan sebagai rujukan akhir penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan unit-unit layanan terpadu di bawah koordinasi pemerintah daerah. Beberapa hari ini sudah ada rumour tentang peleburan kementerian ini. Sebetulnya kondisi ini tidak asing, karena dalam catatan sejarah Komnas Perempuan sejak kelahiran kami perlu terus-menerus melakukan pembelaan mengenai pentingnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Bagi kawan-kawan di daerah, ini juga bukan hal baru. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bisa jadi dinas yang paling panjang papan namanya karena sering digabungkan dengan Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana, juga kadang ditambahkan dengan Dinas Sosial dan/atau Dinas Pemuda dan Olahraga.

Karenanya, sekali lagi saya ingin mengajak agar momentum peringatan Mei 1998 selain melihat keterhubungannya dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang lain, juga melihat pada persoalan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang tumbuh bersama dengan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kita perlu menempatkannya dalam kerangka arsitektur yang lebih kokoh untuk pemajuan HAM perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Ibu, Bapak dan rekan-rekan yang berbahagia,

Isu lain yang juga krusial adalah pelindungan bagi pembela HAM. Kita kenali ini bukan saja dari situasi-situasi intimidasi dan ancaman yang dihadapi, bahkan juga sudah banyak kawan-kawan kita pembela HAM yang wafat atau dibunuh karena aktivismenya. Salah satunya adalah Munir, yang menjadi simbol. Saya sebutkan karena Munir juga sosok yang selalu mengingatkan untuk menempatkan isu kekerasan terhadap perempuan dalam pelanggaran HAM sebagai isu yang diangkat secara khusus mengingat tindak kekerasan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan sebagai strategi penguasa.

Saat ini kita  sudah memiliki perubahan KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026. Sudah ada banyak kritik yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil pada UU tersebut, termasuk tentang bagaimana KUHP baru tidak memberikan pembelaan yang lebih baik bagi pembela HAM. Inisiatif kita untuk membentuk payung hukum tersendiri bagi pembela HAM juga masih belum berwujud. Jika ada kesempatan melalui perubahan UU HAM, mungkin ini salah satu peluang, tetapi juga tantangan sendiri.

Dalam upaya memberikan pelindungan bagi pembela HAM, Komnas Perempuan, Komnas HAM juga LPSK telah membentuk kesepakatan tentang mekanisme respon cepat. Di Komnas Perempuan agenda ini dikawal oleh Subkomisi Pemulihan, yang juga dalam proses memastikan kesepakatan ini dapat diimplementasi. Sekali lagi, momentum peringatan Tragedi Mei 1998 adalah saat penting untuk memastikan pelindungan bagi pembela HAM.

Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,

Saya menitipkan isu-isu ini sebagai bagian dari pembahasan baik dalam seminar pagi hari ini yang bertajuk “Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan”, maupun dalam diskusi di ruang konsolidasi yang akan kita laksanakan dari siang sampai besok hari.

Tema Seminar ini yaitu “Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan” mengajak kita semua berefleksi tentang jalan mana yang akan kita tempuh, strategi apa yang akan kita bangun dan siapa-siapa saja pihak lain yang perlu kita rengkuh agar kita bisa mencapai tujuan kita bersama, yaitu memastikan pemenuhan hak korban, memutus impunitas, dan mencegah berulang. Semoga, seminar nanti akan memantik inisiatif-inisiatif baru yang bisa kita kerjakan bersama.

Akhir kata, sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih kepada semua narasumber, seluruh jejaring dan mitra Komnas Perempuan, rekan-rekan Pembela HAM dan Ibu, Bapak, Saudara-Saudari dari komunitas penyintas yang tak pernah surut dalam berjuang sekalipun lejar menjadi tantangan.

Tak lupa juga kepada seluruh tim Komnas Perempuan, para komisioner, sekjen dan badan pekerja terutama Subkom Parmas, Pemulihan Pendidikan, DU, PME, Keuangan yang bertugas dalam serangkaian peringatan Mei 98, EO Bahasa Global, JBI, dan Penyusun Prosiding dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Jika ada kekurangan mohon dimaafkan, tetapi juga perlu disampaikan ke kami sebagai catatan perbaikan ke depan.

Akhir kata, selamat berseminar kawan-kawan, juga selamat berdiskusi dalam kegiatan konsolidasi nasional nanti. Semoga kita diberikan kemudahan untuk mencapai cita-cita kita bersama, Indonesia dengan peradaban yang berperikemanusiaan  dan berperikeadilan.

Terimakasih, Selamat pagi, salam Indonesia yang Bhinneka.

Dengan resmi saya buka kegiatan kita pada hari ini.

 

Andy Yentriyani

Ketua Komnas Perempuan 


Pertanyaan / Komentar: