SEMINAR
NASIONAL:
“PELANGGARAN
HAM MASA LALU DI PERSIMPANGAN JALAN”
Jakarta, 13 Mei 2024
Kepada Yth.
Ibu/Bapak Para Penyintas Pelanggaran HAM Masa Lalu dalam
berbagai konteks pelanggaran Ham yang berat maupun pelanggaran Ham lainnya,
yang kita kenali proses penamaan ini lekat bukan saja pada proses hukum tetapi
juga proses politik. Kepada kawan-kawan pembela HAM, khususnya pendamping
komunitas penyintas.
Ibu/Bapak narasumber dan moderator:
- Perwakilan korban/pendamping
mewakili masing-masing isu: Mei 98, 65/66, Aceh, Papua, Tanjung Priok.
- Yosep Adi Prasetyo,
Ketua Dewan Pers periode 2016-2019.
- M. Choirul Anam,
Komisioner Purnabakti Komnas HAM Periode 2017-2022, Perwakilan Anggota
PPHAM tahun 2023.
- Ita F Nadia, Komisioner
Purnabakti Periode 1998-2001& 2003-2006 dan Pendamping Korban Mei 98.
- Mariana Amiruddin,
Wakil Ketua Komnas Perempuan
- Moderator, Indria
Fernida, AJAR
Pengisi Acara, Paduan Suara Ibu-Ibu Dialita , PINTI dan
Wanodja Binangkit
Ibu/Bapak tamu undangan baik
dari pemerintah provinsi DKI dan pemerintah daerah lainnya seperti Medan, Solo,
Semarang, Surabaya, Kupang, Palu, Aceh, KKR Aceh, Papua, MRP Papua dan Papua
Barat
Ibu/Bapak dari dinas
Pendidikan DKI Jakarta, beserta guru-guru dari perwakilan SMA di DKI Jakarta
serta beberapa murid yang turut hadir dan juga Dinas Pertamanan dan Hutan Kota
Jakarta Timur yang mengupayakan terus merawat Memorialisasi Monumen Mei 98 di
makam massal korban Mei TPU Pondok Ranggon.
Mitra Komnas Perempuan lainnya baik dari lembaga layanan,
rekan-rekan media serta seluruh undangan dan para hadiri yang kami hormati baik
luring dan daring.
Serta Keluarga Besar Komnas Perempuan: Komisioner,
Komisioner Purna Bakti, Sekjen, Badan Pekerja dan seluruh jajaran di Komnas
Perempuan yang terus merawat kerja-kerja terkait pemenuhan
hak asasi korban, termasuk korban pelanggaran HAM Masa Lalu yang hingga
saat ini belum sepenuhnya mendapatkan hak-haknya.
Selamat pagi, salam sehat,
salam nusantara
Puji dan syukur kita selalu panjatkan kepada Sang Maha
Pengasih dan Penyayang karena memberikan kita nikmat sehat dan waktu untuk
dapat berkumpul dan mengikuti serangkaian peringatan Mei 98 tahun ini dengan
dibuka sebelumnya, minggu 12 Mei melalui agenda Napak Reformasi sekaligus tabur
bunga di makam massal korban Mei 98 PTU Pondok Rangon dan dilanjutkan hari ini
dalam seminar dan konsolidasi nasional isu pelanggaran HAM Masa Lalu bersama
penyintas, pendamping serta pemerintah daerah pada 13-14 Mei 2024.
Perkenankan saya memulai sambutan ini dengan mengucapkan
terima kasih kepada seluruh narasumber, moderator, pengisi acara serta semua
peserta yang berkenan menyediakan waktu dan energi untuk menyampaikan pandangan
situasi terkini, tantangan dan arah ke depan penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM Masa Lalu termasuk pada dimensi kekerasan terhadap perempuan
dan pemajuan hak-hak Perempuan pada situasi konflik masa lalu.
Ibu/Bapak dan hadirin yang
saya Muliakan
Pagi
ini, dua puluh enam tahun yang lalu sejumlah rekan Ibu, Bapak dan rekan-rekan
serta saya terhenyak dengan sebuah kondisi kerusuhan di Jakarta dan beberapa
kota besar lainnya. Saya berada dalam rombongan yang berusaha pulang dari
Jakarta dengan kereta api terakhir menuju Depok. Saat itu saya berupaya menyelamatkan
dua orang adik yang baru hari kedua tiba di Jakarta untuk persiapan ujian masuk
universitas. Seorang bapak di kereta itu mengingatkan untuk pulang, jangan
keluar lagi untuk tetap aman.
Belakangan
kita mengetahui bahwa di tengah kerusuhan tersebut juga terjadi kekerasan
seksual, yang menurut Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, kerusuhan
menjalar ke berbagai penjuru kota Jakarta, dengan bergerombol orang yang
menyemangati masyarakat untuk melakukan penjarahan, sementara Gedung dan rumah
banyak ditandai dengan gelar sejadah, kata Allahu
Akbar atau Tuhan Maha Besar dalam huruf Arab, serta pernyataan “milik
pribumi”. Semua tanda ini dimaksudkan untuk menghindari menjadi target
kerusuhan, sekaligus merujuk kepada siapa dari target kerusuhan itu.
Dalam
proses memperingati ini kita diingatkan bahwa Indonesia pada masa itu, dan
mungkin juga mendialogkan seberapa jauh Indonesia sudah berubah setelah 26
tahun, bahwa militerisme, kapitalisme yang menajamkan jurang sosial, rasisme,
seksisme, dan strategi mengubah konflik vertikal menjadi horisontal, menjadi
faktor-faktor yang mengakibatkan Tragedi Mei dapat terjadi, sulit ditangani,
dan mungkin berulang. Situasi ini juga dihadapi di berbagai daerah.
Tetapi
saya ingin menggarisbawahi bahwa di tengah peristiwa ini kita juga menyimak
gerakan solidaritas lintas kelompok masyarakat. Kita yang memilih untuk
melakukan dukungan bagi korban mengalami proses yang meneguhkan itikad untuk
memastikan peristiwa serupa tidak lagi berulang, mengupayakan pemenuhan hak
korban atas kebenaran-keadilan dan pemulihan, serta memutus impunitas pelaku.
Saya meyakini ini juga terjadi dalam berbagai konteks pelanggaran HAM dan juga
konflik di berbagai daerah di Indonesia.
Solidaritas lintas kelompok masyarakat ini adalah
modalitas kita, Ibu, Bapak dan rekan2 yang dimuliakan. Di tengah keterbatasan dan segenap ketidakpastian, menjadi
basis gerakan HAM di Indonesia yang menghadirkan sejumlah perbaikan dalam
berbagai aspek. Dalam payung hukum, kita jadi punya UU HAM di tahun 1998, UU
pengadilan HAM, UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta berbagai UU yang
terkait dengan penegakan hak asi manusia, termasuk UU terkait ratifikasi 8 dari
9 Konvensi dan konvenan kunci. Kini kita semua menanti kapan janji ratifikasi
Konvensi Menentang Penghilangan Paksa akan direalisasi.
Selain
itu juga kini ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan tonggak
transformasi hukum pidana Indonesia. Dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta
sebanyak 85 kasus dapat diverifikasi, dimana 52 di antaranya adalah perkosaan,
selain ada juga perkosaan yang dilakukan dengan menggunakan barang selain
penetrasi genital laki-laki. Penggolongan ini sesungguhnya juga menunjukkan
keterbatasan payung hukum Indonesia saat itu dalam mengenali kekerasan seksual,
khususnya perkosaan. Karenanya, transformasi hukum pidana menjadi salah satu
rekomendasi utama dari TGPF dan juga dari Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan
terhadap Perempuan dalam misinya ke Indonesia untuk Tragedi Mei 1998 dan di
Daerah Operasi Militer yaitu Aceh, Papua dan Timor Timur.
Kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS) yang merupakan kerja panjang kita semua untuk memastikan ada
perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual dalam
berbagai rentetan peristiwa pelanggaran HAM dan kekerasan lainnya di masa
lampau maupun yang bergulir dua puluh empat tahun setelah Tragedi Mei 98 dan
juga mengantisipasi berbagai peristiwa seksual setelah 2022. Tentunya saat ini
banyak sekali dari kita yang ikut turut mengawal implementasinya.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan sekalian,
Modalitas penting lain yang kita miliki adalah
inisiatif masyarakat sipil dalam mengupayakan pemenuhah hak korban dengan
mendorong negara untuk bekerja tetapi juga terus mengisi keksosongan sebagai
inspirasi proses berkelanjutan yang memulihkan korban.
Ada kawan-kawan yang bergerak dalam pendokumentasian
kasus-kasus secara mandiri. Ini bukan tugas yang mudah, dan bahkan semakin
sulit ketika dia berulang karena kita akan menghadapi resistensi dari korban
yang bertanya, kali ini dokumentasi untuk apa lagi? Juga ada kawan-kawan yang
berkarya di upaya memorialisasi untuk memelihara ingatan bahwa PR kita masih
terbentang.
Menggunakan peristiwa
Mei 1998 misalnya ada kawan-kawan dari Solidaritas Nusa dan Bangsa yang
bersama dengan ibu-Ibu yang tergabung dalam komunitas penyintas Mei 98 membuat
memorialisasi dan rekonsiliasi melalui pembuatan boneka Mei
98 dan Prasasti Jarum Mei 98 di Klender, yang kini ditempatkan di Komnas
Perempuan. Juga ada Ibu-Ibu dari Persatuan Indonesia Tionghoa yang membuat selendang persahabatan, yang
kemarin secara langsung telah dijelaskan bagi kawan-kawan peserta Napak
Reformasi. Di Trisakti, ada museum Mei atas peristiwa penembakan mahasiswa yang
merupakan rangkaian dari Tragedi mei 199. Ada juga ibu-ibu yang bergabung dalam
paduan suara sebagai ruang mengingatkan kesewenangan terhadap perempuan yang
ditangkap dan ditahan tanpa peradilan yang adil. Inisiatif serupa juga tampak
di berbagai peristiwa pelanggaran HAM di berbagai daerah, yang nanti akan juga
bisa kita dengarkan langsung dari saudara-saudara kita baik dari penyintas
maupun pendamping.
Komnas Perempuan berupaya untuk meneguhkan inisiatif
memorialisasi yang dilakukan oleh masyarakat. Semangat inilah yang menjadi
dasar bagi Komnas Perempuan menggagas Napak Reformasi di tahun 2010, sebagai
sebuah metode untuk pendidikan sejarah, memastikan komitmen bersama mencegah
keberulangan di samping menjadi ruang meneguhkan inisiatif yang ada di dalam
masyarakat. Metode ini dilakukan dengan mengunjungi situs-situs ingatan dan
memperkenalkan berbagai rupa dari upaya memorialisasi, juga menjelaskan akar masalah
dan faktor pemicu dari sebuah pelanggaran HAM, dampak, proses penanganan dan
konsekuensinya.
Komnas Perempuan berbangga bahwa sebagai sebuah metode, Napak
Reformasi menjadi inspirasi bagi kawan2 di daerah pula, seperti Napak Damai di
Ambon terkait konflik berulang di provinsi itu, ataupun Naganamo di Palu untuk
mengingatkan peristiwa kerja paksa terhadap tahanan terkait tragedi 1965. Juga,
ada Lorong Ingatan di Aceh.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan
yang terhormat,
Kita semua pada hari ini ada dalam lintasan sejarah untuk
memastikan kemajuan-kemajuan yang sudah ada akan terus berjejak di masa
mendatang. Karenanya secara khusus, karena Komnas Perempuan lahir dari Tragedi
Mei 1998, setelah memorialisasi di Pondok Rangon dan lainnya, Komnas Perempuan
bersama komunitas korban dan pendamping terus mendorong dukungan yang lebih
luas dari pemerintah DKI Jakarta, termasuk untuk menjadikan Napak Reformasi
sebagai muatan lokal pendidikan sejarah. Langkah serupa yang juga masih terus
kita upayakan memorialisasi di Solo yang rencanakan akan dilakukan di tahun ini
(2024), mengingat di daerah itu juga ada makan yang tidak dapat diidentifikasi
dari Tragedi Mei 1998.
Juga, mendukung inisiatif rencana memorialisasi di kampus
Universitas Negeri Medan yang memiliki Sejarah temuan kekerasan seksual aparat
terhadap mahasiswi yang berdemo saat peristiwa Mei ‘98. Surabaya, dengan isu
penghilangan paksanya dan juga temuan kasus kekerasan seksual pada rentetan
menjelang dan sesudah peristiwa Mei 98. Kupang untuk gagasan memoriliasi
terkait Tragedi 1965 yang digagas masyarakat sipil, terutama dimulai dari para
tokoh agama Perempuan.
Pad akesempatan ini saya juga ingin menginformasikan
bahwa di Semarang, ada komunitas Rasa Darma
yang membuat sinci Ita Martadinata, yang kita ketahui kematiannya tidak lama
berselang dari upaya pengungkapan kasus dalam Tragedi Mei 1998. Kematiannya menjadi
mengintimidasi keluarganya dengan luar biasa, menjadi PR bagi kita dalam hal
perlindungan saksi dan korban. Komunitas Rasa Dharma juga membuat simbolisasi Rujak
Pare, yang akan juga kita cicipi bersama di akhir seminar ini. Simbolisasi ini
tidak saja untuk mengingatkan rasa pahit Tragedi Mei 1998, tetapi juga
meneguhkan upaya bersama dari kita untuk memutus peristiwa serupa.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan
yang dimuliakan,
Dalam upaya memastikan inisiatif masyarakat diketahui,
diakui dan didukung oleh pemerintah, Komnas Perempuan menggunakan peluang yang
hadir dari komitmen penyelesaian pelanggaran HAM yang Berat di Masa Lalu dengan
mekanisme non judisial. Dalam berbagai diskusi dengan Tim ini kami mengingatkan
agar selain pendataan, berbagai inisiatif yang telah ada perlu menjadi bagian
dari program.
Tampaknya ini masih menjadi sebuah langkah yang panjang
dan penuh tantangan. Karena seperti disampaikan oleh rekan-rekan di Aceh, dalam
proses pelaksanaannya ada berbagai kondisi yang menimbulkan ketegangan. Antara
lain adalah proses memorialisasi yang dianggap kurang partisipatif. Atau proses
yang menimbulkan pertanyaan baru tentang keseriusan untuk menyelesaikan
persoalan secara tuntas, misalnya ketika ada informasi tentang adanya tulang
belulang yang ditemukan di area Rumoh Geudong yang menjadi titik memorialisasi
itu. Juga ada kritik pada program pemulihan korban dimana bukan saja dikhawatirkan
bantuan tidak dapat dinimakati oleh semua, tidak sesuai kebutuhan, dan dapat
menimbulkan konflik baru di masyarakat antara yang memperoleh dan tidak
memperoleh bantuan.
Saat ini keberlanjutan dari upaya perbaikan-perbaikan
dalam menjalankan komitmen penyelesaian non yudisial dalam pertanyaan besar.
Dari penjelasan pendamping yang saya peroleh dalam diskusi yang digagas Koalisi
Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKP), sebuah kelompok kerja masyarakat
sipil untuk penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, sejumlah bantuan yang
disediakan itu sangat dibutuhkan. Sementara, tugas dari Tim telah berakhir di
Desember 2023 lalu dan kini telah memasuki bulan kelima di tahun 2024. Karenanya
kita semua berharap, komitmen untuk menjalankan ini akan dilakukan lintas
periode kepemimpinan nasional, dan ada percepatan dalam pembentukan tim
pemantaunya.
Komnas Perempuan sendiri memilih untuk tidak berada di
dalam bagian langsung dari tim pemantau melainkan memainkan peran sebagai
pengawas dari luar tim sehingga dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi dari
waktu ke waktu terhadap tim tersebut.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan
sekalian,
Kita semua yang mendukung mekanisme non yudisial juga
menginginkan agar ia hadir berdampingan dengan mekanisme judisial yang
akuntabel. Saat ini ada sejumlah peristiwa pelanggaraan HAM yang diupayakan
diproses secara hukum. Informasi mengenai fakta-fakta peristiwa yang sudah dikumpulkan
oleh Komnas HAM kemudian menjadi berkas yang bolak-balik dikembalikan oleh
pihak kejaksaan sehingga menyebabkan ketertundaan memproses kasus perlu kita
atasi bersama.
Tetapi kita juga sudah menyaksikan bagaimana mekanisme
persidangan juga telah digunakan untuk menjadi ajang untuk tidak memperlihatkan
pertanggungjawaban komando. Sebaliknya, ia turut menjadi ruang impunitas
pelaku. Karena itu, di tengah upaya mendorong mekanisme yudisial kita perlu
betul-betul mendorong reformasi peradilan itu sendiri, memastikan agar akuntabilitasnya
terjamin.
Hal lain yang ingin saya sampaikan dengan menggunakan
momentum peringatan Mei 1998 ini adalah
tentang kelembagaan. Komnas Perempuan yang menyebut dirinya sebagai
putri sulung reformasi karena menjadi lembaga independen pertama setelah masa
Orde Baru, tidak pernah lepas dari isu
soal peleburan. Seringkali hingga kini kami dihadapkan dengan pertanyaan dengan
canda, “kalau ada Komnas perempuan, mengapa tidak ada Komnas Laki-laki?”
Pertanyaan ini seolah orang lupa bahwa kelahiran Komnas Perempuan pada masa itu
bukan berarti tidak ada perhatian pada rekan yang laki-laki. Dalam proses
institusionalisasinya, saat itu juga telah ada Komnas HAM yang telah berdiri
dari 1993. Tetapi ada kebutuhan yang mendesak untuk dapat mengungkapkan
peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan, kekerasan berbasis gender
dengan sebuah lembaga yang bersifat independen.
Lahir di tengah pusaran sejarah itu Komnas Perempuan
seringkali dianggap anomali. Sampai saat ini tidak punya ASN, satker masih
bersama dengan Komnas HAM. Dalam banyak kesempatan diposisikan sebagai lembaga
independen yang berkontribusi pada berbagai isu melalui kerja-kerja nyatanya.
Di saat lain, terutama ketika berhadapan dengan birokrasi
keuangan/penganggaran, sublim, kadang diingat kadang tidak untuk diundang.
Bahkan kami diberitahu bahwa dalam diskusi perubahan UU HAM, wacana peleburan
terus digulirkan.
Dua puluh enam tahun tentunya situasi sudah jauh berbeda
dari tahun 1998 ketika Komnas Perempuan dilahirkan. Sebuah lembaga tentunya
tidak bisa sekedar hadir sebagai klaim sejarah, tetapi ia perlu mampu
membuktikan dan dinyatakan bersama tentang relevansi untuk terus hadir. Untuk
itu saya ingin mengajak kita semua untuk menggunakan momentum peringatan Mei
1998 untuk membayangkan kelembagaan Komnas Perempuan.
Satu lagi lembaga yang juga perlu dipikirkan adalah
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, yang dulu di masa Orde Baru disebut Kantor
Urusan Peranan Wanita. Masa Reformasi memungkinkan untuk menjadi kementerian
yang lebih berdaya. Saat ini dengan peraturan presiden, kementerian ini telah
diberikan kewenangan sebagai rujukan akhir penyelesaian kasus kekerasan
terhadap perempuan, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan unit-unit layanan
terpadu di bawah koordinasi pemerintah daerah. Beberapa hari ini sudah ada rumour tentang peleburan kementerian
ini. Sebetulnya kondisi ini tidak asing, karena dalam catatan sejarah Komnas
Perempuan sejak kelahiran kami perlu terus-menerus melakukan pembelaan mengenai
pentingnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Bagi kawan-kawan di daerah, ini
juga bukan hal baru. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bisa
jadi dinas yang paling panjang papan namanya karena sering digabungkan dengan
Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana, juga kadang ditambahkan
dengan Dinas Sosial dan/atau Dinas Pemuda dan Olahraga.
Karenanya, sekali lagi saya ingin mengajak agar momentum
peringatan Mei 1998 selain melihat keterhubungannya dengan
pelanggaran-pelanggaran HAM yang lain, juga melihat pada persoalan yang
dihadapi oleh lembaga-lembaga yang tumbuh bersama dengan upaya penghapusan kekerasan
terhadap perempuan. Kita perlu menempatkannya dalam kerangka arsitektur yang
lebih kokoh untuk pemajuan HAM perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan
yang berbahagia,
Isu lain yang juga krusial adalah pelindungan bagi
pembela HAM. Kita kenali ini bukan saja dari situasi-situasi intimidasi dan
ancaman yang dihadapi, bahkan juga sudah banyak kawan-kawan kita pembela HAM
yang wafat atau dibunuh karena aktivismenya. Salah satunya adalah Munir, yang
menjadi simbol. Saya sebutkan karena Munir juga sosok yang selalu mengingatkan
untuk menempatkan isu kekerasan terhadap perempuan dalam pelanggaran HAM
sebagai isu yang diangkat secara khusus mengingat tindak kekerasan itu merupakan
bagian yang tidak terpisahkan sebagai strategi penguasa.
Saat ini kita sudah
memiliki perubahan KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026. Sudah ada banyak
kritik yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil pada UU tersebut,
termasuk tentang bagaimana KUHP baru tidak memberikan pembelaan yang lebih baik
bagi pembela HAM. Inisiatif kita untuk membentuk payung hukum tersendiri bagi
pembela HAM juga masih belum berwujud. Jika ada kesempatan melalui perubahan UU
HAM, mungkin ini salah satu peluang, tetapi juga tantangan sendiri.
Dalam upaya memberikan pelindungan bagi pembela HAM,
Komnas Perempuan, Komnas HAM juga LPSK telah membentuk kesepakatan tentang mekanisme
respon cepat. Di Komnas Perempuan agenda ini dikawal oleh Subkomisi Pemulihan,
yang juga dalam proses memastikan kesepakatan ini dapat diimplementasi. Sekali
lagi, momentum peringatan Tragedi Mei 1998 adalah saat penting untuk memastikan
pelindungan bagi pembela HAM.
Ibu, Bapak dan rekan-rekan
sekalian,
Saya menitipkan isu-isu ini sebagai bagian dari
pembahasan baik dalam seminar pagi hari ini yang bertajuk “Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan”, maupun dalam
diskusi di ruang konsolidasi yang akan kita laksanakan dari siang sampai besok
hari.
Tema Seminar ini yaitu “Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan” mengajak kita
semua berefleksi tentang jalan mana yang akan kita tempuh, strategi apa yang
akan kita bangun dan siapa-siapa saja pihak lain yang perlu kita rengkuh agar
kita bisa mencapai tujuan kita bersama, yaitu memastikan pemenuhan hak korban,
memutus impunitas, dan mencegah berulang. Semoga, seminar nanti akan memantik
inisiatif-inisiatif baru yang bisa kita kerjakan bersama.
Akhir kata, sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih
kepada semua narasumber, seluruh jejaring dan mitra Komnas Perempuan,
rekan-rekan Pembela HAM dan Ibu, Bapak, Saudara-Saudari dari komunitas
penyintas yang tak pernah surut dalam berjuang sekalipun lejar menjadi
tantangan.
Tak lupa juga kepada seluruh tim Komnas Perempuan, para
komisioner, sekjen dan badan pekerja terutama Subkom Parmas, Pemulihan
Pendidikan, DU, PME, Keuangan yang bertugas dalam serangkaian peringatan Mei
98, EO Bahasa Global, JBI, dan Penyusun Prosiding dan semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Jika ada kekurangan mohon dimaafkan, tetapi juga perlu
disampaikan ke kami sebagai catatan perbaikan ke depan.
Akhir kata, selamat berseminar kawan-kawan, juga selamat
berdiskusi dalam kegiatan konsolidasi nasional nanti. Semoga kita diberikan
kemudahan untuk mencapai cita-cita kita bersama, Indonesia dengan peradaban
yang berperikemanusiaan dan
berperikeadilan.
Terimakasih, Selamat pagi, salam Indonesia yang Bhinneka.
Dengan resmi saya buka kegiatan kita pada hari ini.
Andy
Yentriyani
Ketua Komnas Perempuan