...
Sambutan Ketua
Sambutan Komnas Perempuan Pada pembukaan learning event SAFEeast di Bali 28 Maret 2022

 

Sambutan Komnas Perempuan Pada pembukaan learning event SAFEeast di Bali 28 Maret 2022


Selamat pagi, salam sehat, salam bhinneka untuk kita semua 

 

Yg saya hormati  dan banggakan, Kak Ni  Nengah Budawati, Direktur LBH Bali Women Crisis Centre dan rekan2 pendamping di LBH BWCC, Ibu Angie Mizeur selaku perwakilan Konsulat Jendral Amerika Serikat di Surabaya, Bpk, I Nyoman Parta, Komisi VI DPR RI, serta seluruh peserta learning event SAFEeast yang berbahagia

 

Penuh syukur karena kita dapat berkumpul pada hari ini dalam kondisi sehat, minta maaf karena tidak dapat menjumpai secara langsung melainkan melalui video ini. 

 

Kegiatan kita pada hari ini sangat penting mengingat kebutuhan pelindungan bagi jurnalis perempuan adalah mendesak, termasuk bagi rekan-rekan jurnalis perempuan di Indonesia bagian timur. 

 

Karena tugasnya mewartakan hal-hal yang perlu menjadi perhatian publik, tugas jurnalis tidak gampang dan juga penuh risiko. Seperti rekannya yang laki-laki, jurnalis perempuan kerap harus berhadapan dengan intimidasi dan aksi penganiayaan karena liputan yang ia lakukan dianggap mengungkap kecurangan, penyalahgunaan kewenangan, atau penindasan oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa. Belum lagi, ada kemungkinan menghadapi kriminalisasi.  Pada tahun 2013 Internasional Women’s Media Foundationsebuah organisasi nirlaba untuk memajukan kepemimpinan perempuan dalam media, melakukan survei yang diikuti oleh 1.078 responden di 6 benua. Hasil survei menunjukkan bahwa 65% pernah mengalami intimidasi yang mayoritas pelakunya adalah laki-laki dan bahkan 32% adalah atasannya. Lebih 20% pernah mengalami kekerasan fisik, dan sekitar 20% pelakunya adalah aparat keamanan. 

 

Namun, karena ia perempuan, konstruksi gender menyebabkan jurnalis perempuan menghadapi kerentanan yang berlipat ganda. Karena dalam posisi subordinat yang kerap ditempatkan sebagai objek seksual, jurnalis perempuan harus menghadapi  ancaman dan tindak kekerasan yang khas, seperti ancaman perkosaan, pelecehan seksual dalam bentuk komentar atau lelucon yang bersifat seksis. Pada survei yang sama, 15% menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual, dan lebih dari setengahnya berupa perabaan dan pemaksaan kontak seksual lainnya. Namun, hanya sekitar 19% saja yang melaporkan kasusnya, jauh lebih sedikit daripada yang melaporkan kasus ancaman dan kekerasan fisik.  Situasi ini serupa dengan kondisi pelaporan kekerasan berbasis gender pada umumnya, dimana korban kekerasan seksual lebih cenderung menutup diri karena malu, menyalahkan diri sendiri, ataupun dampak psikologis ketakutan yang diakibatkan dari peristiwa kekerasan seksual itu. Kondisi kerentanan ini tampaknya tak jauh berubah saat ini. 

 

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, ancaman dan tindak kekerasan juga dihadapi perempuan jurnalis di ruang daring. Survei global Unesco pada tahun 2021 yang diikuti oleh 901 jurnalis perempuan dari 125 negara menunjukkan bahwa 73% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan online. 25% mengalami ancaman kekerasan fisik, 20% di antaranya kemudian mengalami penganiayaan setelah ancaman online. Sebanyak 18% menghadapi kekerasan seksual online. Hampir setengah dari kekerasan online tersebut dikaitkan dengan konstruksi gender di dalam masyarakat, dan kerentanan akan bertambah seiiring dengan lapisan identitas dirinya, seperti ras, agama atau orientasi seksual. Seperti juga ancaman dan tindak kekerasan yang dihadapi di ruang luring, kekerasan online juga jarang dilaporkan oleh jurnalis perempuan. Padahal akibatnya sungguh berat. Diketahui bahwa sekitar 26% mengalami gangguan kesehatan jiwa sehingga kesulitan bekerja bahkan ada yang sampai perlu mengundurkan diri. 

 

Tak jauh berbeda adalah kondisi jurnalis perempuan di Indonesia. Pada studi dari Aliansi Jurnalis independen 2020, diketahui bahwa 3 dari 4 jurnalis perempuan  pernah alami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, dari pelecehan seksual verbal hingga perkosaan. Studi yang melibatkan 34 jurnalis perempuan menunjukkan bahwa dalam konteks kekerasan seksual, pelaku terbanyak adalah pejabat publik yang menjadi narasumber dalam liputannya, disusul oleh rekan kerja baik sesama jurnalis ataupun atasan. Lebih dari setengah korban tidak melaporkan kasusnya. 

 

Pengalaman khas lain yang harus dihadapi perempuan jurnalis adalah diskriminasi di tempat kerja yang berakar pada diskriminasi berbasis gender. Beberapa menghadapi perbedaan upah untuk pekerjaan yang setara. Bias gender bisa menghambatnya menaiki jenjang karir, terutama ketika posisi yang akan ditempati dinilai berisiko tinggi atau kerap berpergian. Ia juga bisa menghadapi kesulitan peningkatan karir ketika tidak memiliki dukungan untuk dapat menikmati hak maternitas di tempat kerja, sementara dukungan dari pasangan atau anggota keluarga lainnya untuk menjalankan pengasuhan anak juga minim. Beban yang dihadapi perempuan jurnalis bisa jadi berlipat ganda di masa pandemi ini karena seluruh aktivitas anggota keluarga terpusat di rumah sementara perempuan sebagai istri, ibu, anak perempuan diposisikan sebagai pengampu utama tugas-tugas domestik, merawat rumah tangga dan mengasuh anggota keluarga. Belum lagi jika ia juga harus menghadapi kekerasan di dalam rumah tangga atau kehidupan personalnya, yang memiliki dampak berkepanjangan yang dapat mempengaruhi kinerjanya.

 

Dari berbagai kajian ini kita dapat mengenali bahwa kerentanan yang dihadapi oleh jurnalis perempuan bertaut antara kondisi di tempat kerja, kehidupan personal, dan lingkungan sosial kemasyarakatan yang ia hadapi, di dalam ruang fisik-nyata maupun digital.  Masing-masing ruang ini menghadirkan kerentanan yang berbeda, tetapi juga saling berkait yang menjadikan perempuan jurnalis menghadapi pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang berlapis, terutama terkait posisi dan perannya sebagai perempuan sebagaimana dikonstruksikan oleh masyarakatnya. Karenanya, adalah penting bagi kita dalam membahas upaya membangun dukungan keamanan bagi perempuan jurnalis dengan pendekatan yang bersifat sistemik dan komprehensif, memeriksa ulang ketertautan pengalaman kekerasan dan diskriminasi di berbagai ruang yang ia milik, tidak terbatas bata gerak di ruang kerjanya semata. 

 

Upaya membangun dukungan keamanan bagi perempuan jurnalis adalah juga bagian yang tidak terpisahkan dari semesta upaya penghapusan segala bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Ada sejumlah langkah-langkah antisipatif yang perlu dilakukan secara individual, tetapi gerakan kolektif untuk membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja juga perlu menjadi langkah strategi kita, tentunya dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan-kerentanan khas berbasis gender. Tak kalah pentingnya adalah upaya perbaikan payung hukum yang lebih mumpuni untuk menyikapi situasi kekerasan dan diskriminasi itu, termasuk melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perbaikan KUHP dan UU ITE, serta peraturan perundang-undangan yang menyangkut dengan aktivisme media dan pembelaan HAM pada umumnya. 

 

Karenanya, Semoga ruang kegiatan hari ini akan memberikan kita semua inspirasi untuk berbagai langkah strategis yang dapat kita kerjakan bersama. Komnas Perempuan tentunya terbuka untuk mendiskusikan kolaborasi yang memungkin upaya-upaya ini mendapatkan dukungan yang lebih luas. Silahkan kawan-kawan nanti menghubungi kami di Komnas Perempuan untuk menindaklanjuti kegiatan ini. 

 

Selamat pagi, salam sehat untuk semua. Selamat berkegiatan.  


Jakarta, 28 Maret 2022

Andy Yentriyanti

Ketua Komnas Perempuan


Pertanyaan / Komentar: