Lembar Fakta dan Poin Kunci
Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020
Perempuan
dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan
Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19
Jakarta, 5 Maret 2021
Tentang
Catatan Tahunan Komnas Perempuan
1. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas
Perempuan diluncurkan setiap tahun untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret.
2. Catahu Komnas Perempuan
diluncurkan sejak tahun 2001
3. CATAHU Komnas Perempuan
dimaksudkan untuk memaparkan gambaran umum tentang besaran dan bentuk kekerasan
yang dialami oleh perempuan di Indonesia dan memaparkan kapasitas lembaga
pengadalayanan bagi perempuan korban kekerasan.
4. Data yang disajikan dalam CATAHU
Komnas Perempuan adalah kompilasi data kasus riil yang dihimpun dari 3 sumber
yakni; [1] Data Peradilan Agama (Badilag), [2] Data Lembaga layanan mitra
Komnas Perempuan baik yang dikelola oleh Negara maupun atas inisiatif
masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah lembaga penegak hukum, dan [3] Data
Unit Pelayanan dan Rujukan, satu
unit yang sengaja dibentuk oleh
Komnas Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung korban. Data CATAHU juga memuat
hasil pemantauan dan kajian Komnas Perempuan.
5. Menyesuaikan kondisi pandemik
COVID-19, pada tahun ini Komnas Perempuan mengirimkan formulir kuesioner dalam
dua format yaitu google form dan dalam format word. Formulir ini memuat tentang
identifikasi kasus kekerasan berbasis gender. Kesediaan pemerintah maupun
organisasi masyarakat sipil mengisi dan mengembalikan formulir ini sangat
membantu Komnas Perempuan dalam menyajikan data.
Temuan dalam
Catatan Tahunan 2021
1. Jumlah kasus Kekerasan terhadap
Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus
yang ditangani oleh: [1] Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677
kasus. [2] Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. [3]
Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan
catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya
adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.
2. Penurunan signifikan jumlah
kasus yang terhimpun di dalam Catahu 2021 menunjukkan bahwa kemampuan
pencatatan dan pendokumentasian kasus KtP di lembaga layanan dan di skala
nasional perlu menjadi prioritas perhatian bersama. Sebanyak 299.911 kasus yang
dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang
mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali
menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya jumlah
pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120
lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan
bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke
Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di
tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.
Data KtP
dari Mitra Lembaga Layanan
3. Dari sejumlah 8.234 kasus yang
ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap
perempuan tercatat:
a. Kasus yang paling menonjol
adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/
Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan
Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul
kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi
ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%),
sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan
terhadap pekerja rumah tangga.
Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti
tahun-tahun sebelumnya, bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik
2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual
sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).
b. KtP berikutnya adalah di Ranah
Publik atau Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol
adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari
kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371
kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan
seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan
perkosaan 10 kasus. Istilah pencabulan dan persetubuhan masih digunakan oleh
Kepolisian dan Pengadilan karena merupakan dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP
untuk menjerat pelaku.
Pada Ranah Komunitas CATAHU tahun ini terjadi kenaikan kasus dalam
perdagangan orang dibandingkan tahun sebelumnya dari 212 menjadi 255, dan
terdapat penurunan pada kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran dari
398 menjadi 157.
c. Berikutnya KtP di ranah dengan
Pelaku Negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 %). Data
berasal dari LSM sebanyak 21 kasus, WCC (Women Crisis Center) 2 kasus dan 1
kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). Kekerasan di ranah negara antara lain
adalah: perempuan berhadapan dengan hukum 6 kasus, kekerasan terkait
penggusuran 2 kasus, kebijakan diskriminatif 2 kasus, kekerasan dalam konteks
tahanan dan serupa tahanan 10 kasus, serta 1 kasus dengan pelaku pejabat
publik.
4. Sejak 10 tahun belakangan,
formulir CATAHU dilengkapi dengan lembar isian terkait isu khusus yang
berfungsi untuk mencatat data korban kekerasan yang dialami komunitas minoritas
seksual, perempuan dengan disabilitas, perempuan rentan diskriminasi
(HIV/AIDS), perempuan pembela HAM dan kasus-kasus Kekerasan Berbasis Gender
Siber (KBGS).
a. Pada tahun 2020 tercatat 77
kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas dan perempuan dengan
disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan mengalami
kekerasan sebesar 45%.
b. Sementara itu tercatat 13 kasus
kekerasan terhadap LBT, bertambah 2 kasus dari tahun 2019 (11 kasus), dengan
kekerasan yang mendominasi adalah kekerasan psikis dan ekonomi. Yang menarik
untuk dicermati bahwa hanya terdapat 1 kasus kekerasan terhadap LBT yang
diteruskan ke ranah hukum hingga tahap penyidikan di Jawa Tengah.
c. Pada tahun 2020 terdapat
kenaikan angka luar biasa kasus perempuan dengan HIV AIDS yakni sebanyak 203
dibandingkan tahun 2019 yang hanya 4 kasus. Kenaikan jumlah kasus ini berasal
dari data LBH APIK Bali yang melakukan outreach dan pendampingan kasus
kekerasan terhadap ODHA Perempuan dan anak.
d. Kekerasan yang dialami oleh
Perempuan Pembela HAM (Women Human’s Rights Defender – WHRD) di tahun 2020
sebanyak 36 kasus, naik dari tahun lalu yang hanya dilaporkan sebanyak 5 kasus.
e. Data Lembaga Penyedia Layanan
menunjukkan bahwa KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) meningkat dari 126
kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang
mendominasi KBGS adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan
seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% (22 kasus).
Data
Kekerasan terhadap Perempuan dari Badan Peradilan Agama (Badilag)
5. Sejak 2017 Badilag
mengkategorisasi penyebab perceraian dengan lebih spesifik termasuk didalamnya
kategori yang memuat kekerasan terhadap perempuan. Masih sama seperti tahun
sebelumnya, data Pengadilan Agama menunjukkan penyebab perceraian terbesar
adalah perselisihan berkelanjutan terus menerus sebanyak 176.683 kasus. Kedua
terbesar adalah ekonomi sebanyak 71.194 kasus, dan disusul meninggalkan salah
satu pihak 34.671 kasus, dan kemudian dengan alasan KDRT 3.271 kasus.
6. Dispensasi nikah (perkawinan
anak) adalah hal lainnya yang terjadi peningkatan ekstrim tiga kali lipat
berdasarkan data BADILAG yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik tajam
sebesar 64.211 kasus di tahun 2020. Hal ini disebabkan diantaranya oleh situasi
pandemi seperti intensitas penggunaan gawai dan persoalan ekonomi keluarga
serta adanya perubahan UU Perkawinan yang menaikkan usia kawin menjadi 19 tahun
bagi perempuan.
Data KtP
Pengaduan Langsung ke Komnas Perempuan
7. Tahun 2020 meskipun tercatat
terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga Layanan di masa pandemik
COVID-19 dengan sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan
justru menerima kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus
dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus, atau terdapat peningkatan
pengaduan 970 kasus (40%) di tahun 2020, hal ini disebabkan Komnas Perempuan menyediakan
media pengaduan online melalui google form pengaduan.
8. Ranah kekerasan terbanyak yang
diadukan langsung ke Komnas Perempuan adalah KDRT/RP sebanyak 1.404 kasus
(65%), publik/komunitas 706 kasus (33%) dan Negara 24 kasus (1%).
a. Pada KDRT/RP kekerasan terhadap
istri (KTI) tercatat 456 kasus dan KTI pada perkawinan tidak tercatat 19 kasus
merupakan kasus yang paling banyak diadukan. Kemudian berturut-turut Kekerasan
Mantan Pacar, 412 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran 264 kasus, Kekerasan Terhadap
Anak Perempuan 125 kasus, KMS 49 kasus, KDRT/RP lain 78 kasus, dan PRT 1 kasus.
KDRT/RP lain seperti: kekerasan terhadap menantu, sepupu, kekerasan oleh
kakak/adik ipar atau kerabat lain.
b. Bentuk kekerasan yang terjadi di
Ranah Publik/Komunitas adalah kekerasan seksual sebanyak 590 kasus (56 %), lalu
kekerasan psikis 341 kasus (32%), kekerasan ekonomi 73 kasus (7%) dan kekerasan
fisik 48 kasus (4%). Jumlah bentuk kekerasan lebih banyak sama seperti di ranah
personal karena satu korban bisa mengalami kekerasan lebih dari satu bentuk
atau biasa disebut kekerasan berlapis.
c. Kasus- kasus di Ranah Negara
yang dilaporkan ke Komnas Perempuan terbanyak di daerah DKI Jakarta sebanyak 8
kasus dan kedua di wilayah Jawa Barat sebanyak 5 kasus,Sulawesi Selatan 2 kasus,
Jawa Tengah 2 kasus, Sumatera Utara 2 kasus, Riau, Sumatera Barat, Maluku dan
Papua masing-masing 1 kasus.
9. Di masa pandemi, perempuan
dengan kerentanan berlapis juga menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi.
Kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus Kekerasan terhadap Perempuan.
Terdapat 42% dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas merupakan
kasus Kekerasan seksual, 3 perempuan dengan orientasi seksual dan ekspresi
gender yang berbeda mengalami Kekerasan Seksual, dan hampir seluruh dari 203
perempuan dengan HIV/AIDS yang melaporkan kasusnya mengalami Kekerasan Seksual.
Pada kelompok disabilitas, kerentanan pada kekerasan terutama dihadapi oleh
penyandang disabilitas mental/intelektual. Sementara itu pada perempuan dengan
HIV/AIDS serta perempuan berorientasi seksual sejenis dan transeksual, selain
kasus kekerasan, dilaporkan juga kasus diskriminasi dalam layanan publik,
termasuk dalam mengakses bantuan di masa pandemic COVID-19.
10. Masa pandemi COVID-19 tidak menyurutkan angka kasus kekerasan dalam
konflik, baik terkait persengketaan Sumber Daya Alam (SDA), perampasan lahan,
seperti kasus Pubabu NTT, kasus Makassar New Port, Penggusuran Tamansari
Bandung, warga Alang-alang Lebar, Labi-labi Kota Palembang, dan kasus Pertambangan
di Kabupaten Dairi, Sumut. Dalam kasus-kasus tersebut, perempuan yang memimpin
aksi penolakan harus berhadapan langsung dengan kekerasan oleh aparat negara
dan juga oleh anggota masyarakat lain yang bersebrangan. Beberapa di antaranya,
juga di Papua, menghadapi kriminalisasi bahkan menjalani masa tahanan.
Sementara itu, kebijakan negara terkait kebebasan beragama/berkeyakinan menjadi
faktor pemicu kasus intoleransi dalam bentuk diskriminasi pencatatan pernikahan
Jemaah Ahmadiyah di Tasikmalaya, penutupan Mesjid Al Furqon desa Parakansalak,
Sukabumi, dan penyegelan bakal makam Sunda Wiwitan di Kuningan. Beriringan
dengan maraknya intoleransi, terjadi aksi terorisme di Sigi, Sulawesi Tengah.
11. Komnas Perempuan memantau berdasarkan pada pemberitaan media massa
daring sepanjang 2020, terdapat 97 kasus femisida yang tersebar di 25 provinsi,
dengan 5 (lima) provinsi tertinggi yaitu Jawa Barat (14 kasus), Jawa Timur (10
kasus), Sulawesi Selatan (10 kasus), Sumatera Selatan (8 kasus) dan Sumatera
Utara (7 kasus). Empat besar pemicu femisida adalah, cemburu, ketersinggungan
maskulinitas, menolak hubungan seksual, didesak bertanggung jawab atas
kehamilan tidak dikehendaki (KTD).
12. Pada tahun 2020 tercatat beberapa kemajuan perlindungan hukum bagi
perempuan di antaranya pemenuhan Hak Buruh Migran dalam UU Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia, Surat Keputusan Gubernur Aceh 330/1209/2020 Tentang Penetapan
Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Kepada Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM), Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi
yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan, Peraturan
Pemerintah No. 35 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi
Dan Korban.
13. Sementara itu di tahun 2020 telah terdapat penegasan payung hukum
untuk pemulihan bagi korban terorisme melalui Peraturan Presiden. Namun Komnas
Perempuan mencatat tidak ada kemajuan berarti dalam penanganan pelanggaran HAM
masa lalu. Hingga CATAHU ini dituliskan, Keputusan Gubernur Aceh untuk
kompensasi korban pelanggaran HAM berbasis temuan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Aceh, di mana di antaranya termasuk korban kekerasan seksual,
belum terlaksana. Sama halnya di Papua, Perdasus mengenai penanganan korban
pelanggaran HAM dan kekerasan juga hanya sampai di atas kertas. Selain itu, UU
Penanganan Konflik Sosial belum menjadi rujukan dalam mencegah dan menangani
konflik SDA atau perampasan lahan yang berubah menjadi konflik horisontal.
14. Di tengah-tengah pandemi, juga diamati bertumbuhnya support group
komunitas untuk para korban kekerasan seksual. Dukungan ini menciptakan daya
resiliensi korban sehingga menjadi berdaya dan merasa tidak sendirian.***