...
Siaran Pers
Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 dan Peluncuran Catatan Tahunan tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan

Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan

 

Jakarta, 8 Maret 2022

 

Sejak semula Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan diluncurkan untuk menyambut Hari Perempuan Internasional. Tajuk CATAHU setiap tahunnya berbeda-beda seturut jumlah, jenis, ragam, ranah dan tren kekerasan berbasis gender terhadap perempuan serta penanganannya.

 

Untuk tahun 2022, Komnas Perempuan mencantumkan tajuk CATAHU yang memberikan gambaran umum mengenai dinamika jumlah, ragam jenis, bentuk, ranah, serta hambatan-hambatan struktural, kultural maupun substansi hukum dalam penanganan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap Perempuan, berbunyi “Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan”.

 

CATAHU 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.

 

Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020).

 

Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat secara signifikan sebesar 80%, dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021. Sebaliknya, data dari lembaga layanan menurun 15%, terutama disebabkan sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi selama pandemi Covid-19, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai dan terbatasnya sumber daya. (selanjutnya lihat: Lembar Fakta)

 

Secara khusus, CATAHU 2022 merekam isu-isu khusus yang muncul dari kasus-kasus yang ditangani Komnas Perempuan. Di antaranya, pertama, KBG terhadap perempuan oleh pejabat publik, ASN, tenaga medis, anggota TNI, dan anggota Polri. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh kelompok yang seharusnya jadi pelindung, tauladan dan pihak yang dihormati ini sekitar 9% dari jumlah total pelaku.

Pejabat publik, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, anggota TNI dan Anggota Polri menjadi sorotan karena memiliki kekhasan terkait kekuasaan berlapis baik kekuasaan patriarkis termasuk relasi kekeluargaan, ekonomi maupun kekuasaan jabatan dan pengaruh yang dimiliki oleh pelaku. Terjadi impunitas, korban tidak mendapatkan dukungan penyelesaian kasus pada sistem peradilan pidana, kebenaran kekerasan yang dialaminya disangkal yang mengakibatkan korban bungkam dan meminta mutasi ke kota lain.

Kedua, kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) yang diidentifikasi telah mengalami penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam proses pemeriksaan. Bentuk penyiksaan seksual seperti penelanjangan, pemerkosaan, kekerasan verbal termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik.

Pelaksanaan Qanun Jinayat juga memberlakukan salah satu jenis penghukuman yang tidak manusiawi. Sebanyak 23 PBH yang dinyatakan melakukan pelanggaran Qanun Jinayat, hampir sebagian besar didakwa dengan pasal mengenai zina, khalwat, ikhtilat (bermesraan) dan 11 PBH mendapatkan hukum 100 kali cambuk dengan tuduhan berzina, 9 PBH dicambuk antara 17-20 dengan tuduhan ikhtilat, dan 2 orang ditambahkan 3 tahun penjara karena dianggap melakukan prostitusi. Tercatat pula pidana mati sebagai puncak tertinggi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang penantian panjang eksekusi mati menjadi penyiksaan tersendiri.

Ketiga, kekerasan terhadap PPHAM pada 2021 memperlihatkan pendamping korban KBG merupakan yang paling rentan mengalami serangan. Para pendamping pada lembaga layanan berbasis pemerintah seperti UPTD dan P2TP2A mulai melaporkan serangan yang berkaitan dengan kerja-kerja HAM.

Keempat, konflik di Papua dan pandemi Covid-19 yang telah mengakibatkan menurunnya kualitas hidup perempuan Papua. Angka kekerasan terhadap perempuan Papua dengan HIV/AIDS di Provinsi Papua dan Papua Barat tercatat tinggi pada masa pandemi Covid-19, situasi mereka juga nyaris tak terpantau.  Situasi disabilitas mental, yang salah satunya disebabkan KdRT, juga masih mengalami tantangan. Minimnya layanan terintegrasi antara isu HIV/AIDS dan kekerasan terhadap perempuan atau disabilitas mental dan kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu penyebab. 

Dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, Komnas Perempuan mencatat hanya sedikit informasi yang tersedia atau sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya (85%).

 

Ada berbagai hal jadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Persoalan keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan secara optimal.

 

Peningkatan jumlah kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan (16 kasus/hari) yang tidak dibarengi dengan sumber daya kelembagaan yang memadai menjadikan penyelesaian kasus tidak optimal. Di tengah peningkatan pelaporan kasus KBG terhadap perempuan yang juga semakin kompleks, daya penanganan kasus yang sangat terbatas ini dikuatirkan akan menyebabkan stagnansi dalam hal kapasitas penanganan kasus.

 

Komnas Perempuan mencatat kemajuan kebijakan tahun 2021, di antaranya (a) adanya rintisan inisiatif perumus kebijakan di sektor tata kelola pemerintahan, sumber daya manusia, dan pendidikan terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan baik oleh pemerintahan daerah maupun pemerintah pusat; (b) adanya upaya pemenuhan hak atas administrasi kependudukan (adminduk) yang nondiskriminatif bagi seluruh WNI tanpa kecuali termasuk transgender, kelompok disabilitas, dan masyarakat adat wilayah terpencil oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil), didukung pula Layanan Call Center SAPA 129 KemenPPPA untuk akses bagi korban atau pelapor dalam pengaduan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak.

 

Sedangkan aspek kemunduran di antaranya tercatat adanya rancangan kebijakan di tingkat undang-undang yang menghadapi tantangan kompleks untuk dapat dibahas dan disahkan di setiap tahapan pembentukan undang-undang, mispersepsi dan ketidakpahaman publik, akses publik terhadap proses pembahasan dan dokumen rujukan, serta komitmen perumus kebijakan terkait prioritas rancangan kebijakan terkait urgensi perlindungan kelompok rentan. Juga masih terus tertundanya pembentukan perundang-undnagan yang berdampak terhadap perempuan dan berpihak pada kelompok rentan yaitu RUU PPRT, RUU TPKS, RUU Masyarakat Adat dan RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender.

 

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi di antaranya kepada:

 

Kepada DPR RI

1.      Membahas dan mengesahkan RUU TPKS dengan menyempurnakan dan memastikan diadopsinya enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, termasuk menambahkan sekolah berasrama dalam program pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan secara cepat, terpadu, dan terintegrasi dalam Bab Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan RUU TPKS.

2.      Menambahkan peran Komnas Perempuan dalam RUU TPKS sebagai bentuk penguatan kelembagaan Komnas Perempuan dan dukungan terhadap penghapusan kekerasan terhadap perempuan

3.      Meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa dan OPCAT.

 

Presiden Republik Indonesia 

1.      Melaksanakan kewenangan presiden untuk komutasi hukuman terpidana mati yang berada di deret tunggu eksekusi pidana mati.

 

KemenPPPA

1.      Memperkuat koordinasi lintas K/L khususnya dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung untuk membangun pedoman penanganan kasus KBG terhadap perempuan dengan pola baru, termasuk pengintegrasian dengan lembaga layanan pemulihan korban.

2.      Melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap Perempuan Pembela Hak Azazi Manusia (PPHAM) melalui penyediaan mekanisme perlindungan yang komprehensif, serta melakukan kampanye dan sosialisasi perlindungan PPHAM untuk membangun kesadaran publik.

 

Kementerian Dalam Negeri

Melakukan review dan perbaikan kebijakan tentang kewenangan khusus Aceh dalam kerangka mengawal integritas hukum nasional dan mandat konstitusional bagi negara dalam menjamin hak-hak konstitusional warga, khususnya hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak beragama.

 

Kepolisian

1.      Menerbitkan peraturan/pedoman di internal Kepolisian tentang perempuan berhadapan dengan hukum di tingkat penyelidikan/penyidikan. Peraturan sejenis oleh Mahkamah Agung dan Kejaksaan dapat menjadi rujukan.

2.      Memastikan tidak terjadinya penundaan berlarut dalam penyelidikan/penyidikan kasus-kasus KBG terhadap perempuan, serta meningkatkan status untuk UPPA menjadi setingkat direktorat agar memiliki daya dukung pelayanan KBG terhadap perempuan.

3.      Melakukan pendataan terpilah gender dan disabilitas untuk kasus-kasus kekerasan, termasuk femisida untuk menentukan langkah-langkah pencegahan femisida dan pemenuhan hak-hak korban.

4.      Memperkuat Subdit PPA menjadi Direktorat PPA Bareskrim dengan mengedepankan kepemimpinan perempuan sebagai pengampunya.

 

 

Narasumber Komisioner:

1.      Rainy M Hutabarat

2.      Siti Aminah Tardi

3.      Alimatul Qibtiyah

4.      Olivia C Salampesy

 

Narahubung: 0813-8937-1400

 



Pertanyaan / Komentar: