Jakarta, 1 Desember 2024
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Kelima gugatan uji formil tersebut pada dasarnya mempermasalahkan proses pembuatan UU No. 6 Tahun 2023 yang dinilai cacat formil, tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. MK menyatakan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2023, yang disahkan denganPerppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tetap memiliki kekuatan hukum mengikat dan tetap berlaku.Hal ini memunculkan kekecewaan atas putusan penolakan uji formil Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi MK atas Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 yang memutuskan mencabut dan merevisi 21 pasal dalam Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Pencabutan dan perubahan terkait pasal-pasal yang berhubungan dengan hak-hak Pekerja berupa: (1) Dalil Penggunaan Tenaga Kerja Asing; (2) Dalil Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); (3) Dalil Mengenai Pekerja Alih Daya (Outsourcing); (4) Dalil Mengenai Upah; (5) Dalil Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); serta (6) Dalil Mengenai Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK).
Keputusan MK yang mengakomodir sebagian gugatan menunjukkan adanya kemajuan terkait pemenuhan hak-hak dasar pekerja yang selama ini dilanggar oleh UU Cipta Kerja. Hak-hak dasar tersebut seperti pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia, tambahan hari istirahat, pengupahan yang harus memperhitungkan penghidupan yang layak, ketentuan pesangon minimal, pembentukan dewan pengupahan, penegasan mekanisme PHK yang wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah mufakat dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat lembaga berkekuatan hukum tetap.
MK telah membuat sebuah keputusan penting, yakni mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dengan memandatkan untuk membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023. Melalui hal ini, ketentuan mengenai ketenagakerjaan yang selama ini menjadi mimpi buruk bagi pekerja dalam UU Cipta Kerja memperoleh peluang untuk diatur ulang. Komnas Perempuan berharap agar pengaturan baru terkait dengan ketenagakerjaan yang nantinya dibuat dapat didasarkan pada upaya pemenuhan hak-hak asasi pekerja, termasuk hak-hak perempuan pekerja yang selama ini memiliki kondisi dan kerentanan khusus. Komnas Perempuan dalam Kertas Posisi Menakar Pelindungan Substantif Perempuan Pekerja Dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Klaster Ketenagakerjaan mengidentifikasi 5 (lima) isu substantif pada klaster Ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Kelima isu ini adalah: (a) pelindungan parsial bagi perempuan pekerja, (b) fleksibilitas upah dan penurunan standar hidup layak dalam pengupahan, (c) jam kerja panjang, (d) diskriminasi terhadap pekerja disabilitas, dan (e) potensi kemunduran pelindungan pekerja migran Indonesia.
UU Cipta Kerja masih mengecualikan pelindungan terhadap pekerja sektor informal yang paling banyak diampu oleh perempuan. Komnas Perempuan secara terus menerus mendorong pengakuan dan pemenuhanhak pekerja informal, mengingat pekerja informal tidak diakui sebagai pekerja dalam berbagai pengaturan dan kebijakan nasional terkait ketenagakerjaan, meski memenuhi unsur sebagai pekerja. Dalam berbagai kajian dan pemantauan terhadap pekerja informal yakni Pekerja Rumah Tangga dan Pekerja Rumahan yang selama ini memiliki kerentanan jauh lebih tinggi terhadap kekerasan, pelecehan dan berbagai bentuk eksploitasi kerja, pengaturan baru terkait pekerja informal menjadi krusial untuk diperhatikan.
Lebih jauh, tidak ada kemajuan dalam upaya peningkatan pelindungan hak maternitas yang diatur dalam UU Cipta Kerja, tidak adanya upaya afirmasi dalam pembinaan karier perempuan pekerja. Tak kalah penting adalah masih tidak ditetapkannya langkah-langkah pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk kekerasan seksual di dunia kerja yang dihadapi oleh perempuan pekerja.
UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah Penyandang Cacat bukan Penyandang Disabilitas. Hal ini dapat menguatkan kembali stigma negatif bagi penyandang disabilitas di dunia kerja. Di dalam UU Cipta Kerja juga,pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.
UU Cipta Kerja setidaknya mengganti dan menambahi 5 pasal perihal syarat dan mekanisme perizinan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Tata cara yang semula secara rigid ditetapkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) diubah menjadi lebih sumir karena akan diatur kemudian dalam aturan turunan yang juga diubah dari kewenangan menteri menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini berpotensi melonggarkan pengawasan dan perizinan P3MI yang sejauh ini menjadi salah satu aktor yang turut berkontribusi signifikan dalam sengkarut eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja migran.
Keseluruhan situasi tersebut menjadi ancaman bagi standar pelindungan dan kerja layak bagi pekerja khususnya perempuan pekerja yang dimuat oleh UU Cipta Kerja. Di samping itu, UU Cipta Kerja lebih mengarah pada peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha dengan mempertaruhkan kelayakan hidup, keamanan dan keselamatan serta kepastian pelindungan hukum kaum pekerja khususnya perempuan pekerja.
Atas dasar hal tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
- DPR RI dan Pemerintah membuat aturan baru mengenai ketentuan ketenagakerjaan berdasarkan Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 dengan mengutamakan prinsip pelaksanaan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak-hak pada jaminan atas pekerjaan yang layak dan pelindungan hukum yang setara berlandaskan Konstitusional dan Hak Asasi Manusia. Segala pengaturan yang bermasalah di dalam UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan konstitusi, hak asasi manusia dan hak asasi perempuan, ketentuan jaminan kerja layak, pemaknaan perluasan kesempatan kerja mendapat peluang untuk pengaturan ulang di kebijakan yang baru.
- Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meluaskan pengetahuan baru mengenai ketenagakerjaan yang memuat pengaturan mengenai pengakuan, pelindungan, dan jaminan atas kerja layak bagi pekerja informal.
- DPR RI dan Pemerintah mewujudkan pelindungan terhadap kepentingan dan pemajuan pelindungan hak asasi perempuan pekerja lewat pengaturan mengenai peningkatan pelindungan hak maternitas, serta ketentuan khusus mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di tempat kerja.
- Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) membuat ketentuan ketenagakerjaan baru mengenai pekerja migran Indonesia yang menguatkan pelindungan, mencegah impunitas pelaku yangmeningkatkan kerentanan perempuan PMI mengalami eksploitasi, kekerasan berbasis gender, perbudakan modern dan perdagangan orang.
- Kementerian Ketenagakerjaan memperkuat pelindungan bagi pekerja disabilitas termasuk dengan peningkatan upaya perluasan kesempatan kerja.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)