...
Siaran Pers
Rapat Pleno Badan Legislatif DPR RI atas Hasil Panja RUU TPKS dan Pandangan Fraksi Terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Siaran Pers Komnas Perempuan

Rapat Pleno Badan Legislatif DPR RI atas Hasil Panja RUU TPKS dan Pandangan Fraksi Terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Pastikan Perlindungan Mumpuni Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual, terutama Korban Perkosaan

Jakarta, 6 April 2022

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) antara pihak DPR dan Pemerintah pada sesi sejak 28 Maret hingga 6 April 2022. Enam elemen kunci yang menjadi dasar pemikiran payung hukum yang komprehensif dan inklusif telah tercermin di dalam muatan RUU TPKS, dengan sejumlah terobosan hukum yang penting untuk memastikan keadilan dan pemulihan korban. Di saat bersamaan, masih terdapat sejumlah isu penting yang perlu menjadi pertimbangan di dalam proses penyempurnaan saat penetapan RUU TPKS nanti.

Komnas Perempuan mengamati bahwa proses perumusan RUU TPKS berlangsung dinamis, terbuka, dan konstruktif, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari masyarakat sipil, terutama lembaga dan individu pendamping korban kekerasan seksual dan organisasi penyandang disabilitas. Komnas Perempuan juga telah menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) baik kepada pihak DPR maupun Pemerintah atas RUU yang dibahas. Komnas Perempuan sekali lagi mengapresiasi sikap fraksi-fraksi dan pemerintah yang  dalam Sidang Pembahasan RUU TPKS tanggal 6 April 2022 dimana 8 dari 9 Fraksi menyetujui pengesahan RUU TPKS menjadi UU. Komnas Perempuan akan terus mendukung dan mengawal pembahasan di tahap berikutnya sampai pengesahan.

Proses pembahasan RUU TPKS telah menghasilkan rumusan yang menguatkan pelindungan hukum pada berbagai tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya tidak dikenal atau diatur parsial di dalam sistem hukum Indonesia, yaitu pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Penguatan pelindungan hukum ini juga akan menjangkau berbagai tindak pidana kekerasan seksual lain yang telah diatur dalam peraturan Per-UU lain. Penguatan pelindungan hukum dapat disimak dari terobosan hukum acara, penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban melalui kerangka layanan terpadu, dan pemantauan/pengawasan. Pembahasan juga tampak mengupayakan rumusan yang memastikan bahwa layanan terpadu tersebut dapat betul-betul terlaksana oleh masing-masing lembaga. RUU TPKS juga memuat tanggung jawab pencegahan dengan melibatkan peran masyarakat luas, serta khususnya, keluarga.

Sementara itu, berkait dengan elemen tindak pidana, Komnas Perempuan mencatat bahwa perkosaan dan pemaksaan aborsi tidak menjadi pengaturan tersendiri. Pasal 4 Ayat 2 mengatur bahwa perkosaan dan pencabulan juga menjadi bagian dari pengaturan dalam RUU TPKS.  Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa kedua tindak pidana ini akan menjadi substansi di dalam pembahasan revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP). Menurut informasi dari pemerintah, RKUHP akan dibahas dan ditetapkan pada sesi sidang Juni 2022 mendatang.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa politik hukum ini menghadirkan risiko kerugian bagi perempuan dan perempuan disabilitas korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya selama masa tunggu hingga RKUHP ditetapkan. Apalagi, materi pembahasan RKUHP sangat banyak dan mungkin membutuhkan masa tunggu yang panjang hingga penetapan RKUHP dilakukan. 

Perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah isu mahkota dari tindak kekerasan seksual. Penting diingat bahwa perkosaan dan bentuk pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah kasus yang terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga penyedia layanan setiap tahunnya, baik di ranah personal juga di ranah publik. Dari total 4,323 kasus kekerasan yang dilaporkan ke lembaga layanan pada tahun 2021 di ranah personal dan publik, 2,638 atau 63% adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.

Pengaturan di dalam KUHP bertumpang tindih antara pasal tentang perkosaan, persetubuhan dan pencabulan. Pada kasus perkosaan berupa tindak pemaksaan hubungan seksual di luar penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan maka ditangani sebagai kasus pencabulan. Pada kasus perkosaan dimana korban tidak berdaya, memiliki kerentanan berlapis sebagaimana perempuan disabilitas, atau pingsan, dikenakan pasal terkait persetubuhan. Pada kasus pencabulan dan persetubuhan, ancaman pidana lebih rendah daripada pasal mengenai perkosaan. Definisi sempit dari perkosaan dan pengaturan pemidanaan serta hukum acara pidana yang justru melemahkan perempuan korban sejak awal menjadi alasan utama menggagas RUU TPKS pada tahun 2010. Pelemahan itu semakin kompleks dalam pengalaman perempuan disabilitas korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya. Pada masa itu, revisi KUHP juga sudah menjadi wacana, tetapi pembahasannya berlarut-larut.

Karena tidak diatur tersendiri, maka RUU TPKS tidak mengurai persoalan definisi yang disampaikan di atas melainkan menggantungkan pada perubahan di RKUHP. Pasal jembatan pada RUU TPKS juga memuat tindak persetubuhan, tetapi hanya bagi anak. Dengan demikian, perempuan dewasa, yaitu yang berusia di atas 18 tahun, yang mengalami perkosaan dalam kondisi tidak berdaya atau dengan kerentanan berlapis sebagaimana penyandang disabilitas tidak dapat menikmati jaminan perlindungan hukum yang tersedia di dalam RUU TPKS ini. Padahal, kondisi tidak berdaya dan kerentanan berlapis itu semestinya menjadi pemberatan hukuman, sebagaimana diatur di dalam RUU TPKS.

Dengan pertimbangan di atas dan mengacu naskah yang dihasilkan oleh Panja pada 6 April 2022, Komnas Perempuan mengusulkan agar muatan pada Pasal 6c menjadi pasal tersendiri sebagai jembatan untuk mengatasi risiko waktu tunggu penetapan RKUHP. Langkah ini dapat memastikan RUU TPKS semakin memuat terobosan hukum yang menjadi tonggak penting upaya penghapusan kekerasan seksual. Perbaikan ini tidak perlu menunggu revisi RKUHP, melainkan menjadi materi yang nanti diharmonisasi dalam proses perumusan revisi KUHP. Pasal jembatan ini dapat mengantisipasi kerugian korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya di masa tunggu penetapan revisi KUHP.

Catatan lain terkait dengan tindak pidana adalah pengaturan pelecehan seksual non fisik yang dapat melemahkan posisi korban. Hal ini disebabkan adanya frasa “dengan maksud” di dalam aturan tersebut, yang justru memberikan peluang bagi pelaku pelecehan seksual untuk menyangkal dampak dari perbuatannya terhadap harkat dan martabat korban. Karenanya, pada pasal ini Komnas Perempuan mengusulkan agar koreksi dapat menjadi perhatian pengambil keputusan pada pembahasan berikutnya. 

Narasumber:

1.     Andy Yentriyani

2.     Veryanto Sitohang

3.     Alimatul Qibtiyah

4.     Theresia Iswarini

5.     Rainy M. Hutabarat

 

Narahubung: 0813-8937-1400



Pertanyaan / Komentar: