...
Siaran Pers
Siaran Pers Bersama Tiga Lembaga HAM Nasional Republik Indonesia Dalam Sidang HAM II Tahun 2012

Siaran Pers Bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Sidang Hak Asasi Manusia II:

“Menegaskan Komitmen Negara terhadap Penegakan HAM Melalui Sidang Hak Asasi Manusia ”

Jakarta, 12 Desember 2012

Penegasan jaminan hak atas rasa aman, untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi, serta penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan diskriminasi, baik aktor Negara maupun non Negara, merupakan kunci dari pelaksanaan tanggung jawab Negara atas pemajuan, pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia. Hal ini menjadi fokus utama yang diangkat tiga Lembaga Nasional HAM (LNHAM) Republik Indonesia, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Sidang Hak Asasi Manusia (HAM), di Jakarta 12 Desember 2012. Sidang HAM ini mengundang korban, pendamping, Negara, lembaga swadaya masyarakat, pakar dan akademisi serta mekanisme HAM regional dan internasional.

Sidang kali ini merupakan Sidang HAM untuk kedua kalinya yang diinisiasi 3 LNHAM sebagai ruang bersama untuk mengawal penuntasan persoalan HAM. Dengan mengangkat tema “Pemenuhan Hak Korban atas Kebenaran, Keadilan, dan Pemulihan: Pertanggungjawaban Negara dan Aktor Non Negara”, 3 LNHAM menyampaikan laporan pemantauan atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun 2012. Sidang HAM juga merupakan forum untuk mendorong keterlibatan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan komitmen Negara, terutama pemerintah pusat dan daerah, dalam mengampu kewajibannya menegakkan HAM. Memperdengarkan suara korban, melindungi pendamping, memastikan pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi persoalan HAM, dan penguatan peran dan fungsi LNHAM, menjadi upaya dalam Sidang HAM untuk mendialogkan tindak lanjut rekomendasi dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM.

KPAI mengangkat persoalan “Kekerasan terhadap Anak di Sekolah : Tanggung Jawab Negara dan Peran Aktor Non Negara dalam mewujudkan Sekolah Ramah Anak”. KPAI menemukan bahwa praktek kekerasan masih terjadi di lingkungan pendidikan dalam berbagai bentuk; fisik, psikis hingga seksual dengan kuantitas dan kualitas yang sangat memprihatinkan. Dalam rangka mewujudkan sekolah tanpa kekerasan KPAI telah menawarkan Konsep dan Implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA) untuk dijadikan kebijakan nasional. Dengan maksud mencegah kekerasan di sekolah, konsep ini mengintegasikan prinsip-prinsip perlindungan anak ke dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang terimplementasikan dalam relasi sehari-hari, manajemen dan peraturan sekolah, sarana dan prasarana, kurikulum, serta kebijakan pendidikan.

Komnas Perempuan pada sidang HAM II ini mengangkat persoalan diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan terkait konflik Sumber Daya Alam dan tindak intoleransi berbasis agama & keyakinan. Dalam kedua isu ini, aktor non negara yang memiliki kekuatan seolah sebanding, bahkan terkadang terkesan lebih besar daripada negara. Hal ini terutama terlihat saat komunitas korban dikriminalisasi, proses hukum terhadap pelaku tindak intoleransi dan korporasi yang mereduksi penikmatan hak asasi justru tidak berjalan, dan putusan pengadilan untuk pendirian rumah ibadah juga tidak dilaksanakan. Pada kondisi-kondisi ini, perempuan menjadi pihak yang menanggung beban berlipat ganda karena ia anggota komunitas korban dan posisi sosialnya sebagai perempuan.

Komnas HAM mencatatkan bahwa 1240 dari 4050 pengaduan yang diterima merujuk institusi kepolisan sebagai pelaku pelanggar HAM. Upaya untuk mengomunikasikasikan persoalan ini masih belum memperoleh tanggapan yang optimal. Kondisi serupa dihadapi dalam berbagai pelaporan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa Talangsari 1989, peristiwa 1965-1966, peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, Mei 1998, dan Wasior 2001-2002 serta peristiwa Wamena 2003. Komnas HAM juga telah memeriksa 58 berkas pengaduan berhubungan dengan isu kemerdekaan beragama.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, 3 LNHAM Republik Indonesia (Komnas HAM, Komnas Perempuan dan KPAI) antara lain merekomendasikan:

Rekomendasi Komnas Perempuan:

  1. Negara harus memperkokoh dan mempertegas perannya sebagai pemangku kewajiban HAM, untuk mengembalikan supremasi dan kepercayaan publik akan kehadiran Negara sebagai pemangku kewajiban HAM.
  2. Mempertimbangkan keberadaan aktor non Negara baik perorangan, kelompok dan korporasi yang seringkali dibiarkan lebih berkuasa hingga menjadi pelaku kekerasan & pelanggaran HAM, agar tunduk dan tidak melanggar HAM. Keberadaan aktor non-negara tidak menguburkan tanggung jawab Negara untuk menjamin Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan.
  3. Negara harus menyusun standar kebijakan yang harus menjadi panduan bagi aktor non Negara terutama korporasi dalam menjalankan operasinya sejak perencanaan, hingga operasional dan dampaknya. Termasuk keharusan mengacu kepada instrumen HAM internasional.

Rekomendasi Komnas HAM:

  1. Merekomendasikan pada semua pihak terutama pemerintah untuk mengedepankan upaya-upaya pencegahan terjadinya kekerasan dan pelanggaran ham lainnya.
  2. Pemerintah diminta untuk memprioritaskan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tanpa tersandera oleh sistem hukum yang ada. Pemerintah diminta untuk segera melakukan rekonsiliasi nasional dalam kasus-kasus pelangaran HAM berat dan pelanggaran HAM masa lalu.
  3. Perlu ada upaya khusus untuk menyelesaikan konflik agraria secara komprehensif sebagai upaya pemulihan hak-hak warga atas tanah dan sumber daya alam lainnya, serta mencegah kemungkinan terjadinya kekerasan.
  4. Meminta Pemerintah untuk menangani konflik dan kekerasan sosial secara komprehensif, integral, dan multisektoral, dengan tetap mengedepankan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Dalam penanganan tersebut Pemerintah diminta untuk meninggalkan pendekatan yang bersifat formal, bias-elit, reaktif, dan terlalu fokus pada penghentian konflik dengan pendekatan keamanan, dalam penanganan konflik sosial.
  5. Pemerintah diminta untuk lebih memperhatikan pengendalian situasi pasca konflik, termasuk pemulihan trauma bagi korban, rekonstruksi infrastruktur, dan reintegrasi sosial.
  6. Dalam penanganan konflik, Polri diminta untuk menghindari :
  7. Pendekatan represif yang bukan saja rentan terhadap tindakan-tindakan pelanggaran HAM, tapi juga cenderung menutup pintu bagi proses rekonsiliasi damai;
  8. Respon yang tidak tepat (bereaksi lambat, mendiamkan/melakukan pembiaran, memihak salah satu pihak yang bertikai atau malah bertindak eksesif). Agar Polri terhindar dari pelanggaran HAM, Polri diharapkan untuk membangun kemampuan deteksi dini yang cerdas, menahan diri dari tindakan kekerasan dengan mengedepankan pendekatan persuasif, serta aktif dalam perlindungan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban kekerasan sosial.

Rekomendasi KPAI:

  1. Sekolah Ramah Anak (SRA) perlu segera dijadikan kebijakan nasional oleh Kemendiknas agar bisa menjadi pedoman bagi seluruh sekolah di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama. Dinas Pendidikan dan Sekolah perlu proaktif menerapkan SRA yang dalam prakteknya sudah dilaksanakan di beberapa sekolah.
  2. Undang-Undang (UU) Perlindungan anak perlu direvisi menjadi UU Sistem Perlindungan Anak. Daerah juga perlu segera memiliki Perda Sistem Perlindungan Anak yang di dalamnya mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
  3. Penghentian kekerasan di sekolah harus melibatkan semua pemangku kewajiban perlindungan anak sebagaimana disebutkan dalam pasal 20, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, perlu bersinergi secara efektif dalam sebuah sistem yang dibangun secara partisipatoris.
  4. Aktor Negara dan Non Negara harus bergerak bersama karena kekerasan di sekolah terkait dengan banyak faktor di dalam dan luar sekolah, termasuk di rumah dan di lingkungan masyarakat.
  5. Kemendiknas dan Dinas Pendidikan membuat kebijakan sistemik dan komprehensif yang melibatkan sekolah, Komite Sekolah, dan masyarakat secara partisipatoris dalam segala upaya penanggulangan kekerasan di sekolah, mulai perencanaan, pembuatan aturan pelaksanaan, monitoring, hingga pelaporannya.
  6. Anak sebagai subyek pendidikan harus didengar pendapatnya dan pengalamannya serta dilibatkan secara aktif dalam pembuatan aturan sekolah dan menjadi pelaku aktif Sekolah Ramah Anak. Dalam pandangan anak Ujian Nasional harus dihapuskan karena menghadirkan kekerasan sistemik negara kepada anak dengan banyaknya tekanan dan praktek ketidakjujuran.

Kontak Narasumber:

  1. Badriyah Fayumi, Ketua KPAI
  2. Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan
  3. Otto Nur Abdullah, Ketua Komnas HAM


Pertanyaan / Komentar: