SIARAN PERS
Dalam Rangka Memperingati Hari
AIDS Sedunia
Menguatkan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan Korban Kekerasan yang
Hidup dengan HIV/AIDS Sebagai Bentuk
Tanggung Jawab Negara
Jakarta, 1 Desember 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
prihatin atas situasi perempuan korban kekerasan yang hidup dengan HIV/AIDS dan
terus berada dalam kondisi tidak setara, terstigma dan penuh kekerasan, terutama dalam masa pandemi. Menyikapi
ini, Komnas Perempuan mendorong adanya kebijakan layanan terintegrasi bagi
perempuan hidup dengan HIV/AIDS (PDHA) yang juga mengalami kekerasan. Untuk
itu, pada tahun 2021-2022 Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada upaya
pengembangan kebijakan layanan terintegrasi ini di Papua dan Papua Barat, yang dikenali
tinggi kekerasan terhadap perempuan dan keterpaparan HIV/AIDS.
Catatan Tahunan
Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2017-2021, ada 229 kasus
kekerasan terhadap PDHA dimana 89%-nya mengalami lebih dari 1 bentuk kekerasan.
Sementara 97% PDHA melaporkan kekerasan psikis, dalam bentuk stigma dan
pengucilan, juga 12 kasus pengusiran dan 88% mengalami kekerasan seksual. PDHA
juga melaporkan kekerasan fisik yang dialami dalam bentuk penganiayaan. Selain
itu, mereka juga mengalami kekerasan ekonomi misalnya ditinggalkan dan
ditelantarkan oleh pasangan. Pelaku terjadinya kekerasan tersebut adalah
anggota keluarga sebanyak 93% dengan mayoritas pelaku adalah suami (86%). Pada
tatanan kesehatan, dengan memiliki pasangan seksual lebih dari satu, akan
menyebabkan suami/isteri menjadi rentan terpapar infeksi menular seksual, atau
HIV/AIDS.
Menurut data Kementerian
Kesehatan (2021), dari total populasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia, sebanyak 35% adalah perempuan dengan
HIV dan 33% hidup dengan AIDS. Data juga menunjukkan bahwa 70% infeksi baru
dialami oleh kelompok heteroseksual. Pada tahun 2018, jumlah infeksi baru pada
Ibu Rumah Tangga adalah sebanyak 16,405 kasus. Data ini menunjukkan tingginya
kerentanan perempuan ibu rumah tangga tertular dari pasangannya. Lebih jauh
menurut UNAIDS (2019), perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan
tertular HIV dari pasangannya. Sedangkan NACA (2019) menunjukkan bahwa
perempuan positif lebih rentan 4 kali lipat mengalami kekerasan seksual dan
kerentanan perempuan positif yang hamil terhadap kekerasan fisik di masa
kehamilan tercatat 6 kali lipat lebih rentan.
Hasil
konsultasi Komnas Perempuan dengan berbagai lembaga yang bergerak di isu
HIV/AIDS dan kekerasan terhadap perempuan menunjukkan sejumlah akar persoalan
yang perlu diurai untuk memastikan agar ketersediaan layanan bagi perempuan
dengan HIV/AIDS yang juga korban kekerasan dapat berlangsung secara simultan.
Ketersediaan obat, tenaga kesehatan untuk perawatan orang dengan HIV/AIDS
(ODHA), layanan konseling, dan rumah aman merupakan bagian dari akar persoalan
yang membutuhkan terobosan kebijakan lebih lanjut baik di tingkat pusat maupun daerah.
Di Papua
misalnya teridentifikasi bahwa reagen untuk tes HIV tidak tersedia selama 1
tahun sehingga tes HIV tidak dapat dilakukan. Hal ini berimplikasi pada
sulitnya mendeteksi sejauh mana dan seberapa banyak kasus baru HIV/AIDS. Lemahnya
koordinasi yang memadai untuk memastikan pencegahan dan penanganan yang tuntas
juga tampak dalam upaya penanganan HIV/AIDS meski infrastruktur untuk
penanganan kesehatan telah jauh lebih berkembang daripada layanan penanganan
kekerasan (Ajar, 2019).
Problem layanan
menjadi isu krusial di masa pandemi karena pembatasan operasionalisasi kerja
lembaga layanan baik untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan maupun layanan
HIV AIDS. Pembatasan layanan ini telah berkontribusi pada memburuknya kualitas
hidup perempuan korban yang hidup dengan HIV/AIDS. Selain itu, lemahnya
perspektif keberpihakan terhadap PDHA korban kekerasan juga menyumbang pada
masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap mereka saat ingin mengakses
layanan.
Layanan terpadu
dengan integrasi HIV/AIDS juga masih belum terlalu kuat karena ada
kecenderungan memandang HIV/AIDS sebagai isu kesehatan semata
dengan pengabaian faktor determinannya, misal kondisi sosial, politik dan
budaya yang melingkupi isu ini. Akibatnya isu perempuan dengan HIV/AIDS yang
mengalami kekerasan kerap terpinggirkan dari intervensi. Selain itu, kepolisian
juga belum menyediakan layanan untuk pengecekan HIV/AIDS bagi perempan korban
yang mengalami perkosaan karena sejauh ini pengecekan HIV/AIDS
diperuntukan bagi tahanan saja.
Dalam rangka Peringatan Hari AIDS Sedunia
pada 2021 ini, dan menyikapi persoalan di atas, Komnas Perempuan menyampaikan
rekomendasi kepada:
1.
Kementerian Kesehatan untuk memberikan perhatian khusus dan sensitif
terhadap PDHA korban kekerasan agar akses keadilan dan pemulihan dapat lebih
terjamin pemenuhannya; Mendorong pengintegrasian sistem layanan pemulihan korban dengan
sistem peradilan pidana terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP).
2.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk memastikan
agar layanan terpadu juga mengakomodasi kepentingan PDHA korban kekerasan.
Selain itu memperkuat kapasitas dan perspektif tenaga lembaga layanan agar
berpihak pada korban, mengurangi stigma dan diskriminasi serta bekerja sama dan
berkoordinasi dengan cepat dengan lembaga penegak hukum untuk membantu PDHA korban
kekerasan; Menginisiasi kerja sinergis dengan Kementerian Kesehatan agar
layanan terintegrasi dapat diimplementasikan bersama.
3.
Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyegerakan
layanan terintegrasi PDHA korban kekerasan baik di
tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota dengan kerjasama lintas sektor/dinas. Selain juga
dukungan terhadap lembaga-lembaga pengada
layanan untuk perempuan korban kekerasan, baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat sipil, sebagai implementasi dari
Perdasus No. 1/2011, dengan perhatian pada:
a. Akses, penerimaan dan pencatatan pelaporan kasus
kekerasan terhadap perempuan;
b. Keterhubungan persoalan kekerasan terhadap
perempuan dengan persoalan lainnya, termasuk pada persoalan kesehatan seperti
HIV/AIDS, atau di masa wabah pandemi Covid-19;
c.
Rumah aman dan
bentuk-bentuk perlindungan lainnya bagi perempuan korban kekerasan, termasuk
memastikan layanan gratis untuk visum dan tes DNA dan
d.
Anggaran yang
cukup untuk penanganan kasus, pendataan dan pengembangan SDM penyelenggara
layanan
4.
Media dan masyarakat luas untuk turut serta mengawal dan memastikan
kebijakan terkait layanan terpadu bagi PDHA korban kekerasan serta berperan
dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi saat mereka ingin mengakses
layanan pemulihan dan keadilan.
Narasumber:
1.
Theresia Iswarini
2.
Retty
Ratnawati
3.
Satyawanti
Mashudi
4.
Andy
Yentriyani
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)