Siaran Pers Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember 2020
Tanggung jawab Negara Memenuhi Keadilan Reparatif Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam Konteks Pelanggaran HAM Masa Lalu
Jakarta, 10 Desember 2020
Hari HAM Internasional dirayakan secara resmi sejak 1950 tanggal 10 Desember setiap tahun sebagai ingatan bersama tentang Pengesahan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948. Hari HAM Internasional menjadi puncak perayaan rangkaian kegiatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) untuk menggarisbawahi bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah juga perbuatan pelanggaran HAM dan karenanya, penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari pemenuhan HAM.
Dalam rangka Hari HAM Internasional 2020, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara khusus memilih topik pemenuhan hak atas keadilan reparatif bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu. Dalam konsep keadilan reparatif, pemenuhan hak korban baik atas ganti rugi maupun pemulihan, tidak sebatas menghukum pelaku. Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual berdampak terhadap fisik, psikis, ekonomi maupun sosial yang mengakibatkan berkurangnya penikmatan dan pemenuhan hak dasarnya sebagai manusia. Hak atas pemulihan menuntut negara agar bertanggung jawab memulihkan korban dan kehidupannya untuk dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial melalui pemulihan fisik, psikis, sosial, politik dan ekonomi. Dalam konteks keadilan transisi, keadilan reparatif erat dengan hak atas pemulihan, yang merupakan salah satu pilar di samping hak atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas jaminan ketidakberulangan. Hak atas pemulihan berarti memperbaiki kehidupan korban dan keluarga mereka melalui dukungan material atau tindakan simbolik. Keadilan transisi menuntut negara bertanggungjawab atas pelanggaran HAM, tetapi tidak terbatas pada proses peradilan.
Sejak berdirinya, Komnas Perempuan terlibat dalam upaya-upaya mendokumentasikan pengalaman-pengalaman perempuan korban di wilayah-wilayah konflik bersenjata di Aceh, Papua, Timor Timur, Ambon, dan Poso maupun pelanggaran HAM lainnya seperti terkait kasus politik 1965 dan Tragedi Mei 1998. Pemantauan dan pendokumentasian ini menjadi bagian dari pengungkapan kebenaran dan pemulihan, termasuk bagi perempuan-perempuan korban kekerasan seksual.
Sementara itu, upaya pemulihan perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu juga dilakukan Komnas Perempuan melalui berbagai pendekatan budaya seperti mendukung kegiatan Wanoja Binangkit, Komunitas Dialita, peluncuran buku Putu Oka Sukanta, penyintas Tragedi 65, Selendang Persahabatan Perempuan PINTI dan Boneka Tragedi Mei 1998. Komnas Perempuan juga mencatat sejumlah langkah maju terkait pemenuhan hak oleh beberapa pemerintah daerah, berupa penguatan ekonomi bagi korban-korban Tragedi 65 melalui Dinas Sosial DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Walikota Palu. Namun, dalam pemantauan Komnas Perempuan dan organisasi-organisasi mitranya, perempuan korban yang memperoleh hak atas pemulihan yang meliputi pemberdayaan ekonomi, pemulihan psikis dan fisik melalui konseling dan pengobatan medis dan rehabilitasi sosial masih terbatas jumlahnya.
Komnas Perempuan juga mencatat beberapa hambatan dalam mengakses hak atas keadilan reparatif bagi perempuan korban kekerasan seksual. Dalam konteks konflik Aceh, masalah definisi korban konflik dan pembuktian kekerasan seksual pada masa konflik menghambat perempuan korban mengakses hak atas pemulihan. Di tingkat nasional, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 006/PUU-IV/2006 menyatakan Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) bertentangan dengan UUD 1945. Penyangkalan terus terjadi pada tindak pelanggaran HAM berat di masa lalu, misalnya dalam Tragedi 1965 maupun Tragedi Mei 1998. Akibatnya, korban sulit untuk dapat mengakses haknya atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, sekalipun hak tersebut telah dijamin di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban serta peraturan pemerintah.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah disahkan melalui UU No. 7 Tahun 1984 mewajibkan negara untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip dan norma-norma dalam CEDAW ke dalam perundang-undangan nasional dan kebijakan-kebijakan lainnya untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Peminggiran perempuan dalam mengakses hak atas pemulihan dari pelanggaran HAM masa lalu dan pengabaikan aspek pemulihan dalam proses peradilan kekerasan seksual menunjukkan komitmen negara dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan masih parsial. Padahal, Indonesia adalah negara pihak yang turut menandatangani Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau hukum.” Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, yang telah diadopsi melalui UU No. 12 Tahun 2005, juga memberikan pengakuan atas hak reparasi bagi para korban pelanggaran HAM (Pasal 2 Ayat 3 a, b, c). Konvensi Anti Penyiksaan (Covention Against Torture) pun, yang telah menjadi hukum nasional melalui UU No. 5 Tahun 1998, menyatakan bahwa setiap negara harus menjamin korban tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak.
Berangkat dari masalah-masalah di atas, dalam menyambut Hari HAM Internasional 2020, Komnas Perempuan menyampaikan kepada:
- Pemerintah RI agar mendorong sinergi kementerian/lembaga pemerintahan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dalam mengintegrasikan norma non diskriminasi dalam skema pemulihan korban khususnya perempuan korban kekerasan seksual dalam pelanggaran HAM masa lalu dan memperkuat P2TP2A dan pengada layanan untuk menjalankan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual, dengan perhatian khusus pada perempuan dengan disabilitas;
- Pemerintah daerah menguatkan koordinasi dengan pemerintah pusat dan mendokumentasikan data korban pelanggaran HAM dan korban kekerasan terhadap perempuan dan sekaligus menjamin pemenuhan hak-hak mereka yaitu hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan dan hak atas ketidakberulangan, termasuk dengan membangun memorialisasi;
- DPR RI agar memasukkan RUU PKS ke dalam Prolegnas 2021, membahas dan mengesahkannya demi memenuhi hak atas pemulihan korban kekerasan seksual serta mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dengan memberikan perhatian khusus pada tindak kekerasan seksual;
- Masyarakat sipil agar melanjutkan ruang-ruang pemulihan berbasis komunitas bagi perempuan-perempuan korban kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan budaya atau kesenian dan konsolidasi berbagai elemen.
Narasumber:
Rainy Hutabarat
Siti Aminah Tardi
Imam Nahe’i
Andy Yentriyani
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)
Silahkan mengunduh
Siaran Pers Komnas Perempuan hari HAM (10 Desember 2020)
Sumber Ilustrasi