Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
KESALAHAN PENERAPAN HUKUM DALAM KASUS KRIMINALISASI KORBAN KDRT DI PN KARAWANG
Jakarta, 16 November 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan proses hukum yang menempatkan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) didakwa dengan ancaman penjara 1 tahun di Pengadilan Negeri Karawang karena dituduh melakukan kekerasan psikis terhadap mantan suaminya. Kondisi ini merupakan cermin ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT. Karenanya, Komnas Perempuan berharap kondisi ini dapat dikoreksi dengan mendorong Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Karawang untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam pemeriksaan kasus tersebut.
Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari V pada bulan Juli 2021 dan dari pengaduan tersebut didapatkan informasi bahwa Sdri V adalah korban KDRT berulang dan berlapis. Setelah menikah pada tahun 2011 dan mengikuti suaminya ke Taiwan, korban baru mengetahui bahwa Sdr. CYC, telah berbohong tentang status perkawinannya. V juga menjadi pihak pencari nafkah utama sementara CYC kerap pulang dalam kondisi mabuk. V juga menghadapi kekerasan ekonomi akibat hutang CYC, termasuk untuk mengembalikan pinjaman atas mahar perkawinannya. Hal ini menyebabkan V memilih kembali ke Indonesia, mengembangkan usahanya dan bahkan menjadi sponsor bagi CYC untuk mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia. Namun, tabiat CYC yang kerap mabuk dan berhutang terus berlanjut. Atas peristiwa KDRT berlapis dan berulang serta dalam kurun waktu yang lama, V kemudian menggugat cerai. Gugatan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Karawang pada Januari 2020 dengan memberikan hak asuh anak kepada ibu dan pihak CYC harus memberikan nafkah dan biaya pendidikan per bulannya bagi kedua anaknya.
Menyikapi hasil putusan tentang perceraiannya, pada Juli 2020, Sdr. CYC telah mengajukan banding dan meminta pembagian harta gono-gini dibagi rata. Pengadilan Tinggi Bandung telah memeriksa dan menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama. Atas putusan banding, CYC kemudian mengajukan permohonan kasasi yang kemudian ia cabut pada Maret 2021, sehingga putusan pengadilan tingkat pertama itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada bulan Juli 2020, CYC sebagai mantan suami melaporkan V atas tindak pidana KDRT psikis (pasal 45 UU Penghapusan KDRT) karena V telah mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak.
CYC beranggapan bahwa mereka terikat perkawinan karena proses banding putusan cerai masih berjalan. Atas pelaporan ini, V juga melaporkan CYC di bulan September 2020 atas tindak pidana KDRT dan penelantaran anak. Sementara kasus KDRT yng dilaporkan oleh Sdri V tertunda proses hukumnya, kasus yang memposisikannya sebagai terlapor oleh mantan suaminya justru berlanjut. V ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT. Atas pengaduan tersebut, Komnas Perempuan sesuai mandatnya telah menerbitkan Surat Rekomendasi No.: 062/KNAKTP/Pemantauan/Surat Rekomendasi/VIII/2021 pada 18 Agustus 2021 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kepala Kepolisian Resor Karawang, Kepala Kepolisian Sektor Karawan dan Kepala Kepolisian Sektor Teluk Jambe Timur.
Komnas merekomendasikan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat melakukan gelar perkara pada Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR, yang mendudukan korban sebagai tersangka. Komnas Perempuan berpendapat bahwa Korban V tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT berdasarkan fakta serangkaian kekerasan yang dialami oleh korban dalam relasi perkawinannya dengan pelaku. Komnas Perempuan juga menyarankan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas laporan CYC terhadap V. SP3 juga merupakan upaya mencegah hukum digunakan sebagai impunitas terhadap pelaku dan menegaskan perlindungan hukum bagi korban KDRT yang sesungguhnya yakni V dan kedua anaknya.
Namun tidak ada tanggapan atas rekomendasi tersebut, dan kasus kini justru disidangkan di Pengadilan Negeri Karawang. Selain kasus V, Komnas Perempuan juga telah menerima sejumlah pengaduan dimana perempuan korban kekerasan dikriminalkan dan harus berhadapan dengan hukum. Kriminalisasi dilakukan akibat upaya perempuan menggugat cerai untuk memutus mata rantai KDRT, mendapatkan haknya sebagai istri/mantan istri, atau mendapatkan hak atas anaknya. Catatan tahunan Komnas Perempuan 2021, 36 % dari 120 lembaga layanan menyampaikan bahwa terjadi kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT. Dalam banyak kasus, laporan yang mengkriminalkan perempuan korban KDRT justru lebih cepat diproses daripada laporan KDRT dari pihak perempuan, dan kedua laporan tersebut kerap diperlakukan sebagai kasus yang terpisah. Kriminalisasi ini dimungkinkan karena pemahaman aparat penegak hukum yang belum utuh mengenai persoalan ketimpangan relasi berbasis gender dalam perkawinan antara suami dan istri. UU PKDRT bersifat netral gender karena cakupan pengaturannya adalah untuk melindungi semua, tidak terbatas pada perempuan. Dengan pemahaman terbatas mengenai relasi gender yang tidak seimbang, maka cakupan pengaturan UU PKDRT yang tidak hanya ditujukan bagi perempuan kemudian menjadi celah hukum untuk justru menyalahkan perempuan yang berupaya keluar dari jeratan KDRT yang dihadapnya. UU PKDRT digunakan oleh para suami untuk melaporkan atau memperkarakan secara hukum istrinya, yang awalnya adalah korban KDRT. Kerap juga pelaporan terhadap perempuan korban KDRT didukung dengan penggunaan landasan hukum lainnya, seperti UU Perlindungan Anak, UU ITE, UU Pornografi dan KUHP dengan tuduhan penelantaran keluarga, pemalsuan dokumen, pencemaran nama baik, pencurian dalam keluarga atau memasuki perkarangan rumah orang lain. (baca: Lembar Fakta Pelaksanaan UU PKDRT https://komnasperempuan.go.id/pencarian?cari=lembar+fakta+) Komnas Perempuan berpendapat bahwa penggunaan UU PKDRT untuk mengriminaliasi perempuan korban KDRT merupakan kesalahan penerapan hukum. Meski tidak hanya melindungi perempuan, UU PKDRT mengenali kerentanan khas perempuan sebagaimana tampak pada: • Huruf c pertimbangan UU PKDRT menyatakan bahwa: korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. • Pasal 1 angka 1 memberikan definisi bahwa: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. • Mukadimah penjelasan UU PKDRT menjelaskan bahwa: pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan. Dengan demikian, UU PKDRT merupakan pengaturan yang memiliki kekhasan spesifik yang mensyaratkan pemeriksaan pada konteks relasi kuasa antara pelaku dan korban. Penerapan UU PDKRT tanpa memperhatikan relasi timpang berbasis gender akan menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan dalam relasi suami-istri yang berimplikasi pada bungkamnya perempuan korban dan mengaburkan makna keadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, atas kasus kriminalisasi V, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut:
1. Ketua Pengadilan Negeri Karawang c.q. Majelis Hakim yang Memeriksa Perkara PBH V untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, menggunakan putusan cerai No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg jo. No. 250/PDT/2020/PT BDG. yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pertimbangan untuk melihat secara utuh kondisi perkawinan keduanya dan relasi kuasa diantara terlapor dan pelapor dan memutus bebas sebagai presenden untuk menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT;
2. Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan panduan penanganan kasus KDRT dimana kedua belah pihak saling melaporkan dengan sangkaan pelanggaran UU PKDRT untuk satu peristiwa yang sama;
3. Kepolisian Resort Karawang melanjutkan proses hukum atas laporan V dengan nomor Laporan Polisi No. LP/B.92/II/2020/Jbr/Res Krw/Sek Krw tentang tindak pidana pemalsuan tanda tangan dan Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR dengan dugaan tindak pidana KDRT dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh V;
4. Pihak Kejaksaan Agung untuk mengoptimalkan pengawasan dalam menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana;
5. Komisi Yudisial untuk memantau persidangan kasus V untuk memastikan pelaksanaan PERMA 3 Tahun 2017 demi tegaknya keadilan;
6. Komisi Kepolisian dan Komisi Yudisial memeriksa ulang penanganan kasus V sebagai langkah koreksi berulangnya kejadian kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, khususnya korban KDRT;
7. Media massa dan masyarakat memberikan dukungan terhadap upaya V dalam memutus rantai kekerasan dan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Narasumber:
Siti Aminah Tardi
Dewi Kanti
Andy Yentriyani
Maria Ulfah Anshor
Mariana Amirrudin
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)
Lembar Fakta
1. Pada tahun 2000, korban V dan suaminya Pelaku (saat itu WNA Taiwan) menikah dan dicatatkan dalam akta perkawinan No. 26/A-1/2000 tertanggal 11 Februari 2011 di Disdukcapil Kotamadya Pontianak. Setelah menikah, keduanya menetap di Taiwan selama 5 tahun. Dari perkawinan ini keduanya dikaruniai dua orang anak, yaitu AC (perempuan berusia 18 tahun) dan WC (laki-laki berusia 16 tahun).
2. Selama masa perkawinan, korban V dan kedua anaknya mengalami KDRT dari suaminya, berbentuk:
2.1 Kekerasan psikis: suami berbohong atas status perkawinannya. Setelah menikah korban baru mengetahui suami pernah menikah sebelumnya di Taiwan dan telah memiliki 3 (tiga) orang anak. Suami sering mabuk-mabukan, berjudi, dan berselingkuh dengan banyak perempuan, yang menyebabkan korban pernah beberapa kali mencoba bunuh diri. Suami juga jarang berinteraksi dan sering mengabaikan tumbuh kembang anak. Pada 10 Februari 2019 suami pergi meninggalkan rumah.
2.2 Kekerasan ekonomi: suami memberi mahar kepada korban yang ternyata merupakan pinjaman dan setelah acara pernikahan harus dikembalikan ke pemilik aslinya. Suami memiliki banyak utang baik sebelum dan selama menikah tanpa sepengetahuan korban. Korban terpaksa membayar utang-utang suami karena suami mengajukan pinjaman atas nama korban/perusahaan korban. Korban memberi modal kepada suami untuk mendirikan perusahaan dan mensponsorinya untuk menjadi WNI, namun perusahaan suami justru membuat banyak utang yang pembayarannya ditanggungkan ke perusahaan korban. Korban juga membiayai kehidupan seluruh anggota keluarga termasuk ketiga anak bawaan suami dan orang tua suami di Taiwan. Pada kejadian suami pergi meninggalkan rumah 10 Februari 2019, ia membawa sejumlah uang penghasilan korban yang harusnya digunakan untuk keperluan rumah tangga.
3. Sebagai upayanya untuk lepas dari KDRT, korban telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
3.1. Korban mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Negeri Karawang perkara No. 20/Pdt.G/2018/PN. Kwg, namun diselesaikan secara kekeluargaan dan suami berjanji tidak akan mengulangi KDRT. Faktanya setelah rujuk, suami kembali diketahui berhutang dengan nominal yang sangat besar dan korban kembali dipaksa untuk melunasi utang suami. Karena korban menolak, pada 10 Februari 2019 itulah suami pergi meninggalkan rumah.
3.2. Korban kembali mengajukan gugatan perceraian perkara No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg dan perkawinan telah putus karena perceraian pada 2 Januari 2020 dengan hak asuh jatuh pada korban dan suami dihukum untuk memberikan biaya nafkah dan biaya pendidikan bagi kedua anak sebesar Rp. 13.000.000 (tiga belas juta rupiah) setiap bulannya.
3.3. Suami menolak putusan ini dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung perkara No. 250/PDT/2020/PT BDG. Suami meminta pembagian harta gono/i dibagi rata. Namun banding suami ditolak dan Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan tingkat pertama.
3.4. Pelaku mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun pada 19 Maret 2021 pelaku mencabut permohonan kasasinya, sehingga putusan cerai No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg jo. No. 250/PDT/2020/PT BDG. telah berkekuatan hukum tetap.
4. Tidak puas dengan proses hukum perceraian, Pelaku melaporkan korban melakukan berbagai tindak pidana. Kemudian untuk memperjelas posisinya, korban melapor balik dengan berbagai laporan tindak pidana, sehingga proses hukum yang berlangsung adalah sebagai berikut:
4.1. Tanggal 4 September 2019, Pelaku melaporkan korban di Kepolisian Sektor Teluk Jambe Timur dengan Laporan Polisi No. LP/B-601/IX/2019/Sek Tlj Timur tentang tindak pidana penggelapan dan pemalsuan surat.
4.2. Tanggal 6 Februari 2020, korban melaporkan Pelaku di Kepolisian Sektor Karawang dengan Laporan Polisi No. LP/B.92/II/2020/Jbr/Res Krw/Sek Krw tentang tindak pidana pemalsuan tanda tangan. Pada perkara ini, Pelaku sudah mengakui perbuatannya namun belum juga ada perkembangan dari laporan ini.
4.3. Tanggal 28 Juli 2020, Pelaku melaporkan korban di Kepolisian Daerah Jawa Barat, Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR dengan dugaan tindak pidana KDRT psikis (pasal 45 UU Penghapusan KDRT). Pelaku mendalilkan korban telah mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak. Pada perkara ini, korban sudah ditetapkan sebagai terdakwa dan berkas perkara dan sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Karawang. 4.2. Tanggal 14 September 2020, korban melaporkan Pelaku di Kepolisian Resor Karawang dengan dugaan tindak pidana KDRT dan penelantaran anak, Laporan Polisi No. LP/105/IX/2020/JABAR/RES KRW. Belum juga ada perkembangan dari laporan ini. 5. Dampak dari kekerasan dan proses hukum yang demikian korban mengalami depresi, tidak berdaya, dan pernah mencoba bunuh diri hingga harus mendapat perawatan dokter dan meminum sejumlah obat penenang. Anak-anak korban juga mengalami gangguan psikis akibat KDRT yang mereka alami dan menyaksikan KDRT yang dialami korban/ibunya. Saat ini korban dan anak-anak mendapatkan bantuan hukum dan konseling psikologis dari P2TP2A Kabupaten Karawang.