...
Siaran Pers
Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) (24 November 2020)

Siaran Pers

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)

Menuju Konferensi Internasional Perempuan, Keamanan dan Masyarakat Inklusif  (26 November 2020) untuk Peringatan Resolusi 1325 PBB Tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan & Hari Internasional Menentang Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November

 Pelibatan Substantif Perempuan Penting dalam Membangun Perdamaian Berkelanjutan dan Ketahanan Nasional

Jakarta, 24 November 2020

 

Resolusi 1325 PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace and Security) memasuki 20 tahun sejak disahkan pada 31 Oktober 2000. Saat ini, 90 negara telah mengadopsi Resolusi 1325 ke dalam rencana-rencana aksi nasional. Resolusi ini merekomendasikan negara-negara anggota PBB agar mengintegrasikan kesetaraan gender yang substantif dalam membangun perdamaian dan keamanan dalam situasi konflik sosial atau perang. Memperkuat Resolusi ini, telah ada Rekomendasi Umum 30 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) tentang Perempuan dalam Pencegahan Konflik, Situasi Konflik dan Pasca Konflik yang disahkan pada Oktober 2013. Kedua instrumen ini saling menopang, sama-sama mendesak negara untuk menjamin kesetaraan gender terintegrasi secara substanstif dalam empat indikator partisipasi perempuan dalam konteks konflik yakni Pencegahan, Partisipasi, Perlindungan, Bantuan dan Pemulihan. Integrasi ini memungkinkan perdamaian yang dibangun lebih membumi dan berkelanjutan. 

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa selama ini perempuan terlibat dalam penanganan korban-korban konflik, rekonstruksi pasca konflik, pemulihan serta proses-proses perdamaian maupun melestarikan perdamaian di tengah-tengah komunitasnya. Namun sumbangsih penting perempuan sebagai agen-agen perdamaian yang dijalankan dengan cara-cara khas seturut peran-peran gendernya, cenderung diabaikan. Dalam meja perundingan khususnya dalam ruang negosiasi dan pengambilan keputusan, perempuan tidak dilibatkan. Juga dalam pemetaan kebutuhan-kebutuhan bantuan komunitas yang terdampak konflik atau perang, pelibatan perempuan dikesampingkan. Akibatnya, bantuan yang diberikan tidak menjawab kebutuhan korban dan komunitas terdampak. Diketahui pula proses kesepakatan damai yang adil gender sejak 1995 meningkat dari 14% menjadi 22% (UN Women, 2019). Perempuan  tercatat  sebagai negosiator sebanyak 13%, mediator 6% dan peneken 6% dalam proses-proses perdamaian  selama rentang waktu 1992-2019. Pelibatan perempuan dalam peace building atau kesepakatan damai berdampak signifikan untuk melanggengkan perdamaian di tengah-tengah komunitasnya atau masyarakat luas: peningkatan 35% keterlibatan perempuan diperkirakan akan memperpanjang 15 tahun durasi pelaksanaan perjanjian damai.

Sementara itu di Indonesia, pantauan Komnas Perempuan terhadap perempuan dalam berbagai konteks konflik bersenjata dan konflik sosial merekam empat posisi perempuan: (1) agen perdamaian, yakni sebagai pelaku-pelaku perdamaian melalui peran-peran khas terkait gendernya. Pendekatan perempuan dalam membangun perdamaian lebih berkelanjutan, kreatif berbasis budaya setempat, beberapa terkait dengan ketahanan ekonomi dan sebagian besar berbasis komunitas; (2) tulang punggung keluarga dan komunitasnya. Ketika para lelaki meninggalkan keluarga dan kampung ke medan pertempuran ataupun dalam persembunyian, perempuan bekerja keras mencukupi kebutuhan pangan keluarganya pun komunitasnya; (3) kombatan. Perempuan juga turut dalam barisan pertempuran atau menjadi bagian dari kelompok bersenjata; dan (4) korban, menjadi sasaran langsung ataupun sasaran antara (proxy) untuk melemahkan pihak lawan dan sekaligus korban dari kultur patriarkis yang mensubordinasikan perempuan dan menjadikan mereka sebagai target kekerasan.   

Dalam kerangka hukum, telah ada berbagai produk hukum dan kebijakan untuk menyikapi isu konflik. Termasuk di antaranya adalah UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang memiliki semangat yang sama dengan Resolusi 1325 dan Rekomendasi Umum No. 30 CEDAW terkait partisipasi perempuan dalam perdamaian dan keamanan yakni pencegahan, penghentian konflik dan pemulihan (Pasal 1). Asas-asas UU Penanganan Konflik Sosial juga sejalan dengan Resolusi 1325 yakni hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan gender, keberlanjutan dan non diskriminasi (Pasal 2). Menindaklanjuti UU ini, Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RANP3A-KS) juga disahkan.

Namun, secara nasional, capaian pemenuhan hak atas pemulihan korban masih relatif terbatas, antara lain ditunjukkan melalui Peraturan Walikota Palu, Perdasus Papua, memorialisasi perempuan korban Tragedi Mei 1998 di Pondok Rangon atas dukungan Pemda DKI Jakarta, dan bantuan bagi korban-korban pelanggaran HAM berat melalui LPSK. Salah satu hambatan dalam pemenuhan hak atas pemulihan adalah tidak dilibatkannya perempuan dalam memetakan bantuan sosial bagi komunitas-komunitas korban konflik sehingga bantuan-bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan serta akses keadilan restoratif bagi perempuan-perempuan korban kekerasan. Juga, pengakuan dan dukungan pada inisiatif-inisiatif perdamaian yang digulirkan oleh perempuan masih bersifat adhoc dan parsial, misalnya pada upaya pendidikan perdamaian, kegiatan ekonomi, dan pengorganisiran warga untuk membangun dialog damai. Daya pencegahan pada konflik sosial juga masih terbatas, terutama ketika menghadapi residu konflik akibat penanganan konflik yang belum menyentuh akar masalah dan tidak mengatasi secara komprehensif dampak dari konflik, termasuk segregasi, pengucilan dan pengusiran warga. Daya pencegahan juga minim di tengah proses radikalisasi menentang negara yang kian menguat. Semua kondisi ini tentunya merisikokan perdamaian itu sendiri, mengurangi penikmatan pada jaminan hak konstitusional atas rasa aman dan menjadi ancaman bagi ketahanan nasional.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) akan menyelenggarakan Konferensi Internasional tentang Perempuan, Perdamaian dan Masyarakat Inklusif dalam rangka peringatan 20 Tahun Resolusi 1325 dan peringatan Hari Internasional Menentang Kekerasan terhadap Perempuan. Kegiatan konferensi internasional ini akan dilakukan pada 26 November 2020, dengan  tema Membangun Perdamaian Yang Membumi dan Berkelanjutan: Kondisi Perempuan dalam Situasi Pasca Konflik dan Menguatnya Radikalisasi. Kegiatan ini melibatkan para pegiat HAM terkait konflik sosial, pegiat perdamaian, pemuka agama, akademisi dari dalam negeri maupun manca negara. Rekomendasi-rekomendasi konferensi internasional tentang Perempuan, Perdamaian dan Masyarakat Inklusif ini diharapkan dapat memberi masukan bagi langkah-langkah membangun perdamaian dan ketahanan nasional dengan pengakuan dan dukungan pada pelibatan substantif dan kepemimpinan perempuan dalam proses-proses perdamaian.  

 

Narasumber Komnas Perempuan dan Lemhanas

Rainy Hutabarat

Marsma TNI Agus Purwo Wicaksono  

Satyawanti Mashudi

Prof. Dr. Sufaryono, S.U 

 

Narahubung:

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)

 

Silahkan mengunduh 

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) (24 November 2020) 

 


Pertanyaan / Komentar: