Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
PELUNCURAN HASIL KAJIAN KEBIJAKAN TENTANG LAYANAN TERPADU
BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DI INDONESIA
Jakarta, 6 November 2020
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan Lembaga HAM Nasional yang salah satu tujuan berdirinya yaitu: meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan. Pengejawantahan dari tujuan tersebut adalah memastikan ruang-ruang pemenuhan hak asasi perempuan, terutama hak perempuan korban kekerasan sebagai bagian dari tanggung jawab negara. Dalam upaya memantau tanggung jawab negara tersebut, Komnas Perempuan melakukan kajian kebijakan layanan bagi perempuan korban kekerasan. Berbasis pada hasil kajian tersebut itulah, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi untuk perbaikan layanan terpadu pemulihan yang efektif bagi perempuan korban kekekerasan.
Kajian kebijakan layanan tersebut bertujuan untuk melihat kesesuaian prinsip dan muatan substansi kebijakan dalam kerangka hak konstitusional warga. Kesesuaian prinsip dan muatan substansi tersebut merupakan tolak ukur untuk menakar sebuah kebijakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Tujuan dilahirkannya kebijakan layanan tidak hanya untuk menyikapi fenomena kekerasan terhadap perempuan, tapi juga mengentaskan akar masalah yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi lagi (berulang). Hasil kajian kemudian dianalisis dengan menggunakan kerangka hak-hak konstitusional dan HAM Perempuan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Kajian kebijakan ini memotret dan menganalisa 285 kebjakan yang dapat diakses dokumennya dari 414 kebijakan daerah tentang layanan yang disahkan oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang tersebar di seluruh Indonesia, selama kurun waktu 2000 hingga 2019. Kebijakan-kebijakan tersebut beragam antara lain; peraturan daerah, peraturan kepala daerah, surat keputusan/instruksi/edaran kepala daerah, MoU dan lainnya. Kajian ini berfokus pada aspek; a) perlindungan, b) akses pada proses hukum berkeadilan dalam pemeriksaan/penyelidikan, penuntutan dan dalam persidangan; c) pemulihan korban/penyintas dan d) pencegahan. Aspek penghukuman tidak menjadi bagian dari telaah mengingat kebijakan di daerah tentang layanan terpadu tidak memuat pasal-pasal mengenai pemidanaan pelaku karena diatur dalam regulasi terpisah
Hasil kajian menunjukkan bahwa pertumbuhan kebijakan terkait layanan dalam 10 tahun pertama (2000-2010) mengalami peningkatan secara gradual setiap tahunnya. Peningkatan ini mencapai jumlah tertinggi pada 2011 sebanyak 71 kebijakan, dan kemudian bergerak naik turun hingga 2018. Bertumbuhnya kebijakan layanan di tahun 2009 diduga didorong oleh adanya kebijakan Pemerintah Pusat terkait Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG mensyaratkan bahwa skema pembangunan yang disusun harus melihat kebutuhan kelompok rentan yaitu Perempuan dan Anak dan harus menjadi landasan bagi pemerintah daerah dalam merancang pembangunan ke depan.
Selanjutnya pada periode 2004 hingga 2009, kajian menemukan ada 80 peraturan daerah yang disahkan. Hal ini terkait perkembangan kebijakan di tingkat nasional, ketika pada tahun 2004 diterbitkan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan pedoman mengenai kewenangan daerah. Pedoman ini dikuatkan melalui UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian diperbaharui melalui UU No. 9 Tahun 2015. Sementara itu, pertumbuhan kebijakan di tahun 2011 ditengarai dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No 05 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.
Secara keseluruhan kajian ini menemukan bahwa, belum semua kebijakan menggunakan konsep layanan terpadu dalam penyelenggaraan layanan bagi perempuan korban termasuk belum ada inovasi untuk memperkuat peran serta masyarakat sipil, khususnya kelompok perempuan. Selain itu, belum semua aspek-aspek penting dalam penyelenggaraan layanan terpadu diatur dalam kebijakan-kebijakan tersebut, seperti mekanisme penyelenggaraannya serta tidak memberikan perhatian khusus terhadap kelompok rentan, seperti disabilitas, lansia, serta kekerasan berlapis yang dialami perempuan korban kekerasan. Elemen-elemen ini sangat krusial karena terkait akses pemulihan korban dan keadilan guna memastikan keberlanjutan hidupnya yang lebih baik dan bermartabat. Pengabaian terhadap kerentanan-kerentanan khusus tersebut menunjukkan adanya kelalaian serius pemerintah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Oleh karena itu, berbasis pada hasil kajian kebijakan layanan bagi perempuan korban kekerasan, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut:
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), agar: menguatkan kebijakan di tingkat kementerian yang memberikan arahan aplikatif pada pelaksanaan layanan terpadu, terutama lembaga layanan yang langsung di dalam koordinasi di KPPPA, memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah di semua tingkatan serta peningkatan kapasitas;
- Kementerian Dalam Negeri, agar: mendorong pemerintah daerah untuk mengkaji ulang dan memperkuat serta memproduksi kebijakan daerah dengan merujuk pada pedoman pengujian konstitusional dengan memberi perhatian khusus pada kelompok rentan. Selain itu juga berkoordinasi secara berkala dengan Kementrian/Lembaga terkait lainnya dalam hal substansi layanan terpadu yang sungguh-sungguh mencerminkan konsep layanan terpadu;
- Kementerian Kesehatan, agar: mengembangkan mekanisme penerapan kebijakan di internal lembaga terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan dan peningkatan kapasitas petugas kesehatan di semua jenjang layanan kesehatan, serta mengeluarkan kebijakan bebas biaya bagi perempuan korban kekerasan di semua layanan kesehatan;
- Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, agar: memastikan substansi konsep layanan terpadu terintegrasi dalam setiap kebijakan daerah tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan, adanya panduan dan arahan pelaksanaan kebijakan dan dipahami oleh setiap petugas layanan serta mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan layanan secara berkala;
- UPTD-P2TP2A dan Lembaga Layanan Masyarakat, agar: mengembangkan SOP pelaksanaan kebijakan berbasis konsep layanan terpadu adanya perubahan konstruktif dalam perspektif pengada layanan agar lebih berbasis pada konsep keterpaduan layanan;
- Institusi Penegak Hukum, agar:
- Kepolisian. Memperkuat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) agar memiliki anggaran yang cukup dan program-program penguatan kapasitas berkala dan terintegrasi dalam pembinaan karir, serta mengembangkan kebijakan dalam memastikan akses yang lebih terbuka bagi perempuan korban untuk meraih keadilan melalui aplikasi konsep SPPT PKKTP
- Kejaksaan. Memastikan adanya kebijakan yang lebih berpihak pada perempuan korban kekerasan dalam kaitannya dengan aplikasi konsep SPPT PKKTP, termasuk SOP atau pedoman bagi para Jaksa dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
- Pengadilan. Memperkuat monitoring terhadap substansi Peraturan Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2017 tentang Penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan pelaksanaannya.
Narasumber :
- Andy Yentriyani
- Theresia Iswarini
- Retty Ratnawati
Narahubung:
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)
Lampiran
LEMBAR FAKTA
- Sejak tahun 2003 hingga 2019, tercatat 122 organisasi layanan yang dinisiasi dan dikelola oleh masyarakat sipil yang berbentuk Lembaga Bantuan Hukum, Women Criss Centre (WCC), komunitas dan forum. Sementara itu layanan di institusi pemerintah terdapat di; insitusi kepolisian berjumlah 427 Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), layanan dibawah koordinasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) berjumlah 419 P2TP2A, layanan berbasis rumah sakit berjumlah 337 Pusat Krisis terpadu (PKTP), dan 1 (satu) di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang mencakup pelindungan untuk kasus kekerasan berbasis gender. Adapun kapasitas baik di lembaga layanan masyarakat sipil maupun pemerintah masih terbatas dan beragam, termasuk daya dukung.
- Dari 285 Kebijakan yang dikaji, sebaran kebijakan layanan sebagian besar berada di pulau Jawa dan Madura yang mencapai 175 kebijakan. Sedangkan yang paling rendah yaitu Maluku dan Maluku Utara yang hanya terdapat 9 kebijakan. Secara keseluruhan, sebanyak 135 kebijakan mengatur tentang kelembagaan, 11 kebijakan yang mengatur tentang layanan dan 3 (tiga) kebijakan yang spesifik mengatur tentang kerjasama. Selebihnya, sebanyak 136 merupakan irisan dari pengaturan tentang kelembagaan, layanan dan kerjasama. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar fokus kebijakan layanan masih terkait urusan kelembagaan dan belum memprioritas pengaturannya tentang layanan dan kerjasama sebagai inti dari layanan dan keterpaduannya.
- Selain sebarannya sebagian besar di pulau Jawa, pengaturan aspek-aspek penting dalam kebijakan sebagian besar juga terdapat di pulau Jawa, seperti fasilitas Rumah Aman (43 kebijakan) dari 96 kebijakan, layanan bantuan hukum (54 kebijakan), layanan medicolegal termasuk visum (44 kebijakan) dari 94 kebijakan yang mengatur tentang layanan visum. Namun dari keseluruhan itu yang menarik adalah, terdapat 6 (enam) daerah yang secara spesifik mengatur tentang visum gratis.
- Kebijakan tentang bantuan hukum termuat dalam 136 kebijakan yang mengatur tentang pendampingan hukum hingga konseling hukum. Layanan konseling merupakan layanan yang presentasinya paling tinggi diatur dalam kebijakan-kebijakan yang dikaji, termasuk saling rujuk jika di satu lembaga tidak tersedia layanan konseling ini. Sedangkan mekanisme rujukan sendiri diatur dalam 162 kebijakan (sebagian besar di pulau Jawa) baik di lembaga layanan pemerintah maupun masyarakat namun sebagian tidak terlalu jelas pengaturannya. Sementara itu layanan berbasis komunitas terdapat di 51 kebijakan yang memuat layanan di tingkat komunitas, bahkan beberapa diantaranya dikeluarkan oleh pemerintah desa dan kecamatan dalam bentuk keputusan/instruksi. Ini menandakan bahwa inisiatif layanan sudah terbangun di semua tingkatan pemerintahan, mulai dari nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamtan dan desa. Namun kehadirannya belum merata dan belum semua memenuhi kesesuaian prinsip dan muatan dalam pengaturannya.
- Kebijakan terkait anggaran layanan, terdapat 235 kebijakan yang mengaturnya dan banyak dikeluarkan pada tahun 2011. Hal ini diduga dipicu oleh hadirnya dua Peraturan Menteri PPPA tahun 2010 yaitu No. 1 dan No. 5 yang di dalamnya mengatur tentang pendanaan layanan terpadu. Keduanya menyebutkan bahwa sumber anggaran untuk melaksanakan layanan bagi perempuan (dan anak) korban kekerasan berasal dari APBD dan sumber lainnya. Sedangkan terkait perangkat layanan yaitu SOP termuat dalam 42 kebijakan, 7 (tujuh) di antaranya merupakan kebijakan yang secara spesifik mengatur tentang kebijakan terkait SOP. Pada aspek monitoring dan pelaporan, hanya terdapat dalam 130 kebijakan. Padahal monitoring dan pelaporan ini sangat penting untuk mendapatkan umpan balik terhadap pelaksanaan kebijakan untuk perbaikan dan pemajuan layanan bagi perempuan korban kekerasan.
- Sebagian besar kebijakan tentang layanan ini mengatur secara umum tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun terdapat sejumlah kebijakan yang mengatur spesifik diantaranya; KDRT, Trafiking, kekerasan seksual, konflik dan pelanggaran HAM, kesehatan reproduksi, Anak Berhadapan dengan hukum (ABH), disabilitas dan lansia. Beragamnya kebijakan ini menggambarkan bahwa kesadaran para pemangku kebijakan terhadap kebutuhan korban yang berasal dari berbagai konteks kasus semakin meningkat, namun hal tersebut baru terdapat di beberapa wilayah, termasuk di tingkat nasional.
Silahkan mengunduh: