Siaran Pers Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Peringatan
37 Tahun Pengesahan CEDAW
Indonesia Wajib Memenuhi Hak-Hak Korban Pemerkosaan dan
Menghapus Kekerasan Seksual Secara Sistemik
Jakarta, 24 Juli 2021
Dalam
peringatan 37 tahun pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW), Komnas Perempuan mengangkat laporan independen yang
disampaikan kepada Pelapor Khusus – PBB tentang pemenuhan hak-hak perempuan
korban kekerasan seksual berbentuk pemerkosaan sebagai kaji ulang peraturan perundang-undangan yang
tidak kondusif bagi penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan (http://www.ohchr.org).
Sebagai
negara pihak yang mensahkan CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984, Indonesia wajib
mengimplementasikan mandat Rekomendasi Umum Nomor 19 yang diperbarui dengan
Rekomendasi Umum No. 35, yakni (1) Melaksanakan langkah-langkah tepat dan
efektif untuk mengatasi segala kekerasan berbasis gender; (2) Membuat peraturan
perundang-undangan tentang kekerasan dan penganiyaan dalam rumah tangga,
pemerkosaan, penyerangan seksual dan bentuk-bentuk lain kekerasan berbasis
gender serta perlindungan perangkat pelayanan yang tepat harus disediakan bagi
korban-korban. (3) Penghapusan kekerasan berbasis gender yang bersifat sistemik
sebab telah menjadi alat sosial, politik, ekonomi yang menempatkan perempuan
dalam posisi subordinat dan melanggengkan stereotipe peran gender.
Pendokumentasian
Komnas Perempuan mencatat, pemerkosaan terjadi di berbagai konteks dan
dipengaruhi beragam faktor, seperti
ekonomi, sosial, politik, dan/atau terjadi akibat kebijakan negara.
Pemerkosaan terjadi di
ranah rumah tangga, komunitas maupun negara. Dampak pemerkosaan terkait erat dengan pemenuhan hak-hak
perempuan lainnya seperti hak atas kesehatan (fisik, mental dan sosial), hak
kesehatan reproduksi (hak untuk layanan aborsi aman), hak untuk memasuki
perkawinan dengan persetujuan penuh dan bebas, ketimbang pemaksaan perkawinan
dengan pemerkosanya, dan hak atas rasa aman. Sebagai kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan, pemerkosaan telah menyebabkan perempuan mengalami
hambatan dalam mencapai “kesetaraan, pembangunan dan perdamaian”.
Komnas
Perempuan menyampaikan dalam laporannya bahwa pengertian pemerkosaan masih
mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu persetubuhan
dengan penetrasi penis ke vagina dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan dikategorikan dalam tindak pidana
kesusilaan sehingga sering disangkut-pautkan dengan moralitas. Walau terdapat
sejumlah kemajuan seperti: (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang mengakui adanya kekerasan seksual,
termasuk pemerkosaan dalam lingkup rumah tangga dan relasi suami isteri; (2) UU
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang
mengatur tindak pidana pemerkosaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis; (3)
UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang mengkriminalisasi setiap bentuk aktivitas seksual
dengan seseorang yang belum berusia 18 tahun sebagai tindak pidana; (4) UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengadilan
HAM yang mengatur pemerkosaan sebagai bagian dari tindak kejahatan terhadap
kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM
berat, namun sempitnya pengertian pemerkosaan telah menyebabkan
pemerkosaan non penetrasi penis tidak dapat dijangkau secara hukum. Akibatnya,
korban tidak dapat mengklaim hak atas keadilan melalui sistem peradilan pidana.
Hambatan akses
keadilan dan pemulihan korban juga dipengaruhi
bekerjanya sistem peradilan pidana dalam merespons kasus-kasus
pemerkosaan yang dilaporkan. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menjadi
aturan seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan disusun dengan berorientasi kepada perlindungan hak-hak
tersangka/terdakwa, tidak menjamin perlindungan hak-hak saksi dan korban. KUHAP
juga belum selaras dengan prinsip-prinsip dalam Rekomendasi Umum CEDAW No. 33
tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan. Akibatnya, secara umum korban tidak
mendapatkan pemulihan baik psikis, sosial dan ekonomi.
Komnas
Perempuan mengakui, terdapat sejumlah kemajuan jaminan hak saksi/korban seperti
jaminan dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP
Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi Korban, Peraturan Kapolri No. 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung No. 1 Tahun
2021 tentang tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan
Perkara Pidana, dan Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Namun, Komnas Perempuan memandang kemajuan
tersebut masih belum cukup menjamin
korban pemerkosaan di Tanah Air hingga pelosok-pelosok untuk mendapat hak atas
keadilan dan pemulihan. Mengingat pelaksanaan berbagai peraturan juga harus
ditopang pengintegrasian hak-hak korban untuk layanan kesehatan, psikososial,
rehabilitasi sosial dan pemberdayaan ekonomi yang dikelola dan menjadi tugas,
pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga terkait. Pengintegrasian sistem peradilan
pidana terpadu dengan sistem layanan pemulihan korban dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) dapat
menjadi terobosan respons negara untuk penanganan kasus pemerkosaan.
Hambatan
utama yang dapat mempengaruhi perumusan dan penegakan peraturan
perundang-undangan serta cara bekerja aparat hukum adalah perspektif yang masih
menempatkan perempuan sebagai subordinat serta obyek seksual laki-laki. Hal ini
sejajar dengan kurangnya kesadaran publik atas hak-hak perempuan, cara
mengaksesnya serta lebih percaya mitos-mitos pemerkosaan yang berakibat victim
blaming dan pelanggengan budaya pemerkosaan (rape culture). Komnas Perempuan
juga mengingatkan, Concluding Observation Komite CEDAW terhadap laporan
kemajuan CEDAW di Indonesia terkait visibilitas Konvensi yang menyatakan: (1) Perempuan
Indonesia tidak menyadari hak-hak mereka di bawah konvensi dan karenanya tidak
memiliki kapasitas untuk mengklaimnya (2) Kurangnya kesadaran tentang Konvensi
pada lembaga peradilan, profesi hukum dan pejabat penegak hukum dan (3) Kegagalan sistematis dalam
mengintegrasikan Konvensi ke dalam sistem hukum Indonesia.
Sehubungan
dengan hal-hal tersebut. Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi sebagai
berikut:
1. Meningkatkan kesadaran perempuan tentang
hak-hak mereka dan cara mengaksesnya, khususnya hak-hak korban pemerkosaan, dan
cara mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan. Sekaligus memastikan bahwa
informasi tentang CEDAW diberikan kepada semua perempuan dan laki-laki melalui
semua saluran dan media;
2. Memberikan pelatihan kepada para penyidik, penuntut
umum, hakim termasuk hakim agama, dan pengacara agar budaya hukum dalam
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan -termasuk perkosaan- yang
mendukung kesetaraan perempuan dengan laki-laki, menghilangkan mitos perkosaan,
dan tidak menggunakan streotipe negatif yang mempersalahkan korban;
3. Menegakan aturan hukum pidana tentang
pemerkosaan dengan menjatuhkan hukuman maksimal, bekerjasama dengan lembaga
pemulihan korban dan memberikan hak atas restitusi;
4. Mengambil langkah dengan memastikan ketentuan,
prinsip dan konsep CEDAW sepenuhnya dapat diterapkan dan digunakan dalam dalam
menyusun dan/atau merevisi perundang-undangan nasional/daerah terutama yang
bersinggungan dengan hak-hak asasi perempuan.
Di antaranya dengan:
a. Memperluas pengertian pemerkosaan tidak
terbatas dalam pengertian sempit sebagai penetrasi penis ke vagina dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan baik RUU KUHP maupun RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual.
b. Mengintegrasikan kerja-kerja sistem peradilan
pidana dengan sistem layanan pemulihan korban dalam pembaruan hukum acara
pidana atau menerapkan konsep SPPT PKKTP
Narasumber
Rainy
Hutabarat
Alimatul
Qibtiyah
Siti Aminah
Tardi
Olivia Ch.
Salampessy
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)