“Pertimbangkan Partisipasi Bermakna Warga
Perempuan
Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia”
Jakarta, 14 Juli 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menyampaikan keprihatinan serius atas perkembangan terbaru yang
terjadi di Kawasan Tanjung Aan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat. Pada 11 Juli 2025, berdasarkan laporan warga kepada Komnas
Perempuan, mereka menerima Surat Peringatan (SP) ke-3 yang disampaikan oleh
Vanguard, perusahaan pengamanan swasta, bersama aparat dari Badan Keamanan Desa
(BKD) dan kepolisian setempat. Surat tersebut menyebutkan bahwa warga hanya
diberikan waktu tiga hari, hingga 15 Juli 2025, untuk membongkar sendiri warung
mereka sebelum dilakukan pembongkaran paksa oleh petugas.
Komisioner Komnas Perempuan, Sundari Waris, menyatakan,
“Konsep awal pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika ditujukan
untuk pembangunan yang berwawasan lingkungan dan bertujuan meningkatkan
perekonomian daerah. Program ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM), dengan melibatkan partisipasi aktif dan bermakna
masyarakat lokal dalam setiap proses pembangunan dan pengembangan KEK Mandalika.”
Namun, dalam pengaduan yang diterima Komnas Perempuan
sepanjang Mei hingga Juni 2025, Sundari menjelaskan bahwa Komnas Perempuan
mencatat tujuh temuan yang berdampak serius terhadap warga. Temuan-temuan
tersebut antara lain: tidak terpenuhinya komitmen awal PT Indonesia Tourism
Development Corporation (PT ITDC) kepada warga; menyempitnya ruang hidup dan
berkurangnya sumber penghidupan masyarakat yang berdampak langsung pada
perubahan kehidupan perempuan; kerusakan lingkungan yang mengganggu ekosistem;
tidak memadainya akses terhadap layanan dasar; serta ketimpangan posisi warga
sebagai subjek hukum dalam menghadapi dokumen-dokumen hukum yang tidak disertai
penjelasan memadai maupun upaya penguatan pemberdayaan.
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menegaskan,
“Komnas Perempuan menyerukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk segera menghentikan rencana penggusuran yang dijadwalkan pada 15 Juli
2025, serta menjamin keselamatan dan perlindungan hak-hak dasar warga,
khususnya perempuan dan anak. Pemerintah juga perlu membangun ruang dialog dan
partisipasi yang bermakna, khususnya bagi perempuan yang sebagian besar
merupakan pemilik warung-warung kecil di area tersebut.”
Komnas Perempuan menilai bahwa Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kementerian HAM), Kementerian Investasi/Badan Koordinasi
Penanaman Modal (Kementerian Hilirisasi dan Investasi), Kementerian Sosial
(Kemensos), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR),
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Gubernur
Nusa Tenggara Barat (NTB), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NTB (DPRD
NTB), serta Bupati Lombok Tengah perlu memastikan bahwa proses uji cermat
tuntas (due diligence) dilakukan secara menyeluruh sebelum memulai
program pembangunan.
Uji cermat tuntas ini merupakan bentuk pertanggungjawaban
negara dalam meminimalisir dampak buruk dari suatu proyek pembangunan serta
memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat yang terdampak, khususnya kelompok
rentan. Dahlia Madanih juga mengingatkan bahwa praktik
penggusuran paksa yang tidak mematuhi prinsip kehati-hatian, akuntabilitas,
partisipasi, dan perlindungan terhadap kelompok rentan, bertentangan dengan
Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen hak asasi manusia internasional
yang telah diratifikasi oleh negara, termasuk Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan United
Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (Prinsip-Prinsip
Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM).
Narahubung: Elsa
Faturahmah (081389371400)