...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Hari Guru Internasional (Jakarta, 5 Oktober 2021)

Siaran Pers Komnas Perempuan Hari Guru Internasional

 

Menguatkan Guru Menyikapi Persoalan Kekerasan, Kesejahteraan, dan Nilai-nilai Keberagaman

 

Jakarta, 5 Oktober 2021

 

 

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi dedikasi para guru untuk menyemai penghormatan pada hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender serta toleransi di dalam ruang pendidikan, sambil menghadapi tantangan baru di era pandemi Covid-19. Karenanya, dan dalam rangka memperingati Hari Guru Internasional pada 5 Oktober, Komnas Perempuan mendukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mempercepat upaya pelembagaan penghapusan kekerasan berbasis gender, peningkatan kesejahteraan guru utamanya yang non sertifikasi dan penyikapan pada perkembangan radikalisme beragama.

 

Berdasarkan data dari Kemendikbudristek, jumlah guru di Indonesia perempuan adalah 61%  (1.062.225) dan laki-laki 39% (517.982). Kondisi ini mungkin dapat menjadi indikasi yang baik dengan makin terbukanya akses perempuan di dunia kerja dan peran publik. Namun, bila dilihat lebih dalam, angka tersebut merupakan sebuah refleksi bahwa perempuan secara kultur cenderung diposisikan sebagai penanggung jawab dalam bidang kependidikan baik di ranah publik ataupun di ranah domestik. Guru yang berstatus honorer saat ini kurang lebih berjumlah 500.000 lebih, di mana mereka hanya menerima honor antara Rp. 150.000-400.000/bulan. Dalam kondisi ini, label pahlawan tanpa tanda jasa seolah melegitimasi kesenjangan kesejahteraan yang dialami oleh guru dibandingkan dengan profesi lainnya.  Apalagi, perempuan guru honorer yang menjalani tugas guru dengan semangat pengabdiannya direkatkan dengan peran mereka sebagai seorang Ibu;  sosok mulia dan pendidik tanpa pamrih, yang berdampak tidak langsung pada berlanjutnya pengabaian kesejahteraannya.

 

Konstruksi gender di dalam masyarakat mempengaruhi perbedaan beban antara guru yang perempuan dan laki-laki. Sementara kondisi kesejahteraan guru masih memprihatinkan, saat bersamaan perempuan guru harus memikul berbagai beban yang tidak serta-merta dialami oleh laki-laki guru. Tak jarang perempuan guru diharapkan untuk menjadi lebih telaten dalam hal memperhatikan kebersihan dan kerapian lingkungan sekolah, ataupun dalam hal tugas-tugas administrasi. Dalam peran gendernya, perempuan yang menjadi guru kerap harus memikul sendiri beban kerja domestik, yang semakin bertumpuk di masa pandemi. Misalnya saja, saat harus memberikan pengajaran dari rumah, ia juga harus mengawasi proses belajar anak.  Fungsi dan reproduksinya juga secara tidak langsung kerap membatasi akses perempuan guru dalam mengakses kesempatan pendidikan atau penguatan kapasitas. Kondisi ini dapat menghadirkan tantangan tersendiri dalam promosi jabatan, sehingga jumlah perempuan yang dapat menduduki posisi kepala satuan pendidikan tidak banyak dan semakin sedikit jumlahnya di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam sebuah survei tentang tenaga pendidik di Nusa Tenggara Barat (Inovasi, 2018), jumlah perempuan kepala sekolah di tingkat sekolah dasar hanya 30% dan di madrasah hanya 15%.  Kondisi ini juga dipengaruhi oleh persepsi di tengah masyarakat yang masih mempertanyakan kepemimpinan perempuan, meskipun di dalam survei itu ditemukan bahwa perempuan guru memiliki skor yang lebih baik dalam hal literasi dan perempuan kepala sekolah memiliki keunggulan dalam sejumlah aspek manajemen sekolah.[1]  

 

Sementara itu, menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020, kekerasan di lembaga pendidikan menduduki 4,2% kekerasan terhadap perempuan dari ranah publik. Dibandingkan rekan laki-laki, perempuan guru berada pada posisi yang lebih rentan mengalami kekerasan, terlebih kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual di tempat kerja, juga dalam hal diskriminasi, stereotype, dan subordinasi. Kasus Baiq Nuril yang mencuat beberapa tahun lalu mencerminkan betapa rentannya perempuan guru berhadapan dengan kultur patriarki di lembaga pendidikan. Apalagi, penerapan hukum masih kerap memposisikan perempuan korban kekerasan seksual menjadi tertuduh atau berpeluang mengkriminalisasi korban. Sebaliknya, guru juga menjadi pelaku kekerasan di lembaga Pendidikan/sekolah. Menurut CATAHU Komnas Perempuan 2020, tercatat 176 kasus kekerasan terhadap perempuan murid, termasuk kekerasan seksual, yang dilakukan oleh laki-laki guru.

 

Keprihatinan lain adalah perkembangan pemikiran radikalisme beragama di lingkungan pendidikan. Penelitian PPIM (2017, 2018) dan MAARIF Institute (2017) melihat adanya keterkaitan antara peran guru dan tumbuh suburnya intoleransi dan radikalisme di kalangan siswa/pelajar, serta lemahnya peran sekolah dalam menghadang dan melawan paham radikalisme di sekolah. Riset ini menunjukkan bahwa guru di Indonesia mulai dari tingkat TK hingga SLTA memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi, yaitu sebesar 50% (opini intoleran) dan 46.09% (opini radikal). Padahal, salah satu pencapaian tertinggi dari pendidikan adalah keberhasilan menanamkan nilai-nilai toleransi sebagai modal bagi warga untuk hidup berdampingan di tengah kebhinnekaan masyarakatnya. Untuk itu, penting bagi seluruh guru di Indonesia mendapat pemahaman yang sama tentang isu-isu keberagaman, toleransi, hak asasi manusia dan keadilan gender, sehingga dapat menjadi penyebar nilai-nilai kebaikan dan agen perubahan bagi generasi mendatang yang lebih menghargai nilai-nilai keragaman, keadilan, kemanusiaan dan ke-Indonesiaan dalam berbangsa dan bernegara.

 

Secara filosofis guru adalah seseorang yang memberikan pencerahan secara terstruktur dan terukur yang berdampak pada perubahan sosial. Hari Guru Internasional yang diperingati setiap tanggal 5 Oktober sejak tahun 1994 bertujuan memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia yang ikut menentukan keberlangsungan generasi pada masa depan. Penetapan tanggal 5 Oktober sebagai Hari Guru Sedunia ini bertepatan dengan penandatangan dokumen penting UNESCO mengenai status guru di dunia. Hari Guru Internasional juga mewakili sebuah kepedulian, pemahaman, dan apresiasi yang ditampilkan demi peran penting guru, yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan dan membangun generasi. Dalam konteks di Indonesia, guru yang dimaksudkan meliputi para pendidik pada semua jenjang pendidikan dan pelatihan baik yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  Riset dan Teknologi, di bawah Kementerian Agama maupun Kementerian/Lembaga lainnya.

 

Penyelesaian tiga persoalan yang dijabarkan di atas tentu bukan hanya tanggung jawab sekolah, namun terutama Kementerian dan Lembaga terkait, serta membutuhkan dukungan dari masyarakat dan media. Dalam konteks ini Komnas Perempuan mengapresiasi langkah Menteri Dikbudristek dalam mengupayakan kesejahteraan guru honorer dengan mengangkatnya berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), meskipun belum secara keseluruhan. Juga, upaya untuk mengembangkan aturan untuk mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan program mengembangkan toleransi di lingkungan pendidikan. Lebih lanjut, sebagai lembaga nasional hak asasi manusia yang berfokus pada upaya penghapusan segala macam bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi kepada:

 

a. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristekdikti

1.      Menyegerakan penerbitan dan menguatkan implementasi kebijakan yang melindungi guru maupun anak didik dari segala bentuk ketidakadilan, diskriminasi, stereotype negatif, subordinasi dan kekerasan di tempat kerja/sekolah, dengan perhatian pada kerentanan khusus yang dihadapi perempuan;

2.      Mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan guru, khususnya guru honorer perempuan yang selama ini dengan segala beban berlebih yang ditanggungnya terus bersemangat mengabdi untuk membangun generasi mendatang;

3.      Memperbanyak program penguatan kapasitas kepada seluruh guru di Indonesia dalam  pengetahuan dan kecakapan pengajaran dan pendidikan, termasuk membangun perspektif terhadap nilai-nilai yang tercakup dalam Pancasila, seperti nilai-nilai perdamaian, keberagaman, toleransi, hak-asasi manusia dan keadilan gender.

 

b. Kementerian Agama RI

1.      Memastikan materi keadilan gender dan penghormatan pada keberagaman masuk dalam kurikulum pendidikan Raudlatul Athfal (RA)/PAUD Islam (PAUDI), pendidikan dasar dan menengah setara SD/MI, SMP/MTs, SMA/Madrasah Aliyah serta pondok pesantren/sekolah agama;

2.      Meningkatkan sosialisasi keadilan gender dan keberagaman dalam beragama dan berbangsa kepada seluruh pemangku kepentingan terkait pendidikan dasar dan menengah maupun pondok pesantren;

3.      Memberikan pembinaan khusus kepada guru-guru yang menyebarkan keadilan gender dan ajaran-ajaran intoleran, radikal dan ekstrim kepada murid-murid baik di pendidikan tingkat dini RA/PAUDI maupun pendidikan dasar dan menengah.

 

c. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

1.      Memperkuat kembali nilai-nilai keadilan gender dan Pengarus Utamaan Gender (PUG) ke dalam satuan pendidikan di semua tingkatan, dan mendukung peningkatan kesejahteraan bagi perempuan guru;

2.      Mengembangkan program peningkatan kapasitas guru pada materi keadilan gender di dalam kurikulum dan seluruh bahan ajar di semua satuan pendidikan, di segala tingkatan baik formal maupun non formal.

 

 

 

Narasumber

Alimatul Qibtiyah

Maria Ulfah Anshor

Andy Yentriyani

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)



Pertanyaan / Komentar: