Siaran Pers
Komnas Perempuan Memaknai Hari Bhayangkara 2021
Meneguhkan Polri yang Presisi Melalui Optimalisasi
Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan
Jakarta, 2
Juli 2021
Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendukung program
Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan
mengusulkan 7 langkah strategis mengoptimalkan penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai
tantangan di tingkat substansi/kebijakan, struktur dan budaya di
kepolisian dalam penanganan kasus
kekerasan perempuan berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah perbaikan.
Penyikapan
kepolisian pada pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan penentu
awal akses perempuan korban pada keadilan. Sikap proaktif kepolisian dalam
mengusut kasus kekerasan terhadap perempuan, karenanya perlu diapresiasi.
Komnas Perempuan mencatat, pada 2021 ini, misalnya, Kepolisian Kupang dan
Polres Jakarta Pusat berhasil mengungkap kasus pembunuhan yang menyasar khusus
kepada perempuan (femisida). Namun,
karena femisida belum mendapat perhatian khusus dalam sistem pidana Indonesia,
pencatatannya masih sebagai kasus pembunuhan pada umumnya.
Komnas
Perempuan juga mencatat, ada upaya untuk membuat perempuan korban
lebih merasa aman dalam melaporkan kasusnya dengan menambah fasilitas ruang
tunggu dan pemeriksaan terpisah di berbagai kantor kepolisian, penguatan sumber
daya di berbagai unit Pelayanan Perempuan dan Anak, penyediaan kebutuhan khusus
bagi perempuan tahanan dan yang hamil terlebih di masa pandemi Covid-19, dan di
beberapa daerah penguatan koordinasi
dengan lintas institusi dalam penanganan kasus.
Di tengah
kemajuan ini, sepanjang tahun 2020 hingga Mei 2021, Komnas Perempuan masih
menerima pengaduan yang terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak
kekerasan maupun dianggap menghambat langkah korban memperjuangkan keadilan.
Dari 73 kasus yang kami dalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan
sebagai pelaku tindak kekerasan, baik penganiayaan di ranah rumah tangga,
eksploitasi seksual, maupun juga pemerasan. Ini belum termasuk kasus perkosaan
terhadap tahanan perempuan yang baru-baru ini terjadi di Maluku Utara.
Lebih dari
setengah (39 kasus) kasus tersebut adalah tentang berlarutnya proses
penyelidikan kasus. Sebagian besarnya adalah kasus kekerasan seksual. Dua di
antaranya merupakan kasus pemerkosaan
yang dilaporkan sejak 2013; salah satu kasusnya adalah terhadap anak perempuan
berusia 16 tahun yang pada akhirnya dinyatakan dihentikan penyelidikannya
karena sudah kadaluarsa. Terdapat pula 9
kasus yang dihentikan penyelidikannya dengan alasan tidak cukup bukti atau
polisi tidak dapat menelusur posisi pelaku karena sudah tidak lagi berada di
lokasi. Lebih dari setengahnya adalah kasus kekerasan seksual dalam bentuk
pemerkosaan dan pencabulan.
Sedangkan sebanyak 18% atau 13 dari 73 kasus yang dilaporkan tersebut adalah tentang sikap aparat kepolisian yang dinilai menghambat pelaporan dan upaya korban pada proses hukum. Ada korban KDRT yang mengadukan bahwa pelaporannya tidak diproses karena dianggap sebagai persoalan keluarga saja. Empat orang di antaranya melaporkan bahwa mereka justru diarahkan untuk menerima proses mediasi yang sebetulnya tidak mereka inginkan. Kondisi mediasi serupa ini tentunya tidak selaras dengan maksud dari penyelesaian kasus dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sebagai
tambahan, Komnas Perempuan juga menerima laporan 5 kasus kriminalisasi terhadap
perempuan korban kekerasan; tiga di antaranya didasarkan oleh aduan dari pihak
(mantan) suami yang melakukan kekerasan di dalam rumah tangga. Catatan Tahunan
(2021) juga memperlihatkan polisi justru merupakan pelaku kekerasan terhadap
Perempuan Pembela HAM saat mereka melakukan kerja-kerja pembelaan terhadap
perempuan korban. Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), berdasarkan laporan jumlah aduan selama lima tahun
terakhir, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan terkait
pelanggaran HAM.
Meski
perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu kekerasan terhadap perempuan,
kasus-kasus di atas menunjukkan masih adanya tantangan di
lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh kepolisian. Saat
ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan
kasus perempuan berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi
maupun tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan
mengingat telah ada Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 yang menjadi
rujukan hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum dan
juga Pedoman Kejaksaan Nomor
1 Tahun 2021 Tentang
Akses Keadilan Bagi Perempuan dan
Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Kebijakan
khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah
persepsi individual aparat kepolisian mengenai kekerasan berbasis gender.
Apalagi, program-program pendidikan untuk menguatkan perspektif keadilan gender
dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk di
ruang siber, masih terbatas.
Melonjaknya
kasus kekerasan berbasis gender siber di masa pandemi Covid-19 menjadi
tantangan tersendiri bagi Polri. Selain
itu, sumber daya untuk membangun fasilitas yang lebih aman dan ramah perempuan
korban kekerasan juga masih terbatas, terlebih untuk mendukung upaya pelayanan
yang optimal berbasis kepulauan dan disabilitas. Struktur UPPPA juga masih belum memadai untuk menangani
kasus-kasus yang pelaporannya terus
meningkat dan ragamnya semakin kompleks.
Demi mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan merekomendasikan 7 langkah strategis kepada Kepolisian RI, yaitu:
- Membangun kebijakan untuk: a) menjadi pedoman penanganan
kasus perempuan berhadapan dengan hukum; b) menguatkan struktur unit
pelayanan perempuan dan anak, juga disabilitas; c) mendukung pelaksanaan Sistem
Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan; dan d) penguatan pelaksanaan keadilan restoratif agar dapat
menguatkan akses perempuan pada keadilan;
- Mengembangkan terobosan dalam penerimaan dan penyikapan pengaduan secara online dan penjangkauan kasus, sebagai bentuk respon terhadap kondisi terkait pandemi Covid 19;
- Meningkatkan alokasi sumber daya anggaran untuk
program-program peningkatan kapasitas aparat dalam penanganan kasus
kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan berbasis gender siber dan
disabilitas;
- Mengembangkan mekanisme pemantauan penanganan kasus,
termasuk pemeriksaan mengenai alasan penyelidikan tertunda dan/atau
berlarut, serta penghentian penyelidikan;
- Menguatkan kapasitas pencatatan kasus, termasuk
dengan pencatatan terpilah femisida;
- Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus
kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga
mencakup upaya pemulihan korban;
- Memperkuat kapasitas aparat kepolisian dalam
pelindungan perempuan dan anak dalam konflik sosial selaras RAN
P3AKS.
Narasumber
Andy
Yentriyani
Rainy
Hutabarat
Theresia
Iswarini
Veryanto
Sitohang
Narahubung:
Chrismanto Purba, (chris@komnasperempuan.go.id)