Siaran
Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Memperingati 17 Tahun
Pengesahan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT)
”Memutus Rantai
Kekerasan dan Memulihkan Korban”
Jakarta, 27 September 2021
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mengajak semua pihak melakukan refleksi kritis atas pelaksanaan Undang-Undang
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Refleksi ini difokuskan pada bagaimana korban mengakses keadilan dan pemulihan
serta hambatan-hambatan dalam upaya penegakan UU PKDRT. Ajakan ini disampaikan
Komnas Perempuan dalam memperingati 17 tahun UU PKDRT yang diundangkan pada 22
September 2004. Melalui refleksi kritis ini, kita dapat bersama-sama menyusun
langkah strategis untuk memutus keberulangan dan siklus kekerasan dan
memulihkan korban.
Dalam sejarah gerakan perempuan, UU PKDRT tercatat sebagai buah gerakan dan
terobosan hukum yang memberi perlindungan terhadap perempuan, anak perempuan,
pekerja rumah tangga, relasi lainnya dalam perkawinan, kekerabatan dan siapa
saja dalam lingkup rumah tangga yang sebelumnya dianggap tidak dapat dicampuri
oleh negara. Secara tegas UU PKDRT menyatakan semua bentuk kekerasan fisik,
psikologis, seksual dan penelantaran yang dilakukan di dalam lingkup rumah
tangga, atau disebut ranah privat, sebagai
sebuah tindak pidana. UU ini juga menjangkau kekerasan seksual oleh suami terhadap istri. Pembaruan hukum
lainnya di antaranya: sanksi tambahan berupa konseling, hukum acara khusus
seperti perintah perlindungan, keterangan seorang saksi korban sebagai salah
satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah
lainnya, hak-hak korban, peran serta masyarakat dan kewajiban negara. Melalui
UU PKDRT, isu kekerasan di dalam rumah tangga menjadi urusan publik dan tidak
lagi menjadi urusan privat. Pada UU
PKDRT pulalah, upaya pemulihan korban mulai mendapatkan tempat dan mendorong
adanya layanan terpadu. Melalui terobosan-terobosan hukum tersebut
diharapkan tujuan UU PKDRT dapat tercapai yaitu: (i) mencegah terjadinya segala
bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (ii) melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga; (iii) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (iv)
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Selama 17 tahun, terdokumentasikan dalam CATAHU, 544.452 kasus KDRT/RP
yang meliputi Kekerasan terhadap Istri (KTI), Kekerasan terhadap Anak Perempuan
(KTAP) khususnya inses, Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT),
Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Kekerasan Relasi Personal lainnya, Kekerasan
Mantan Pacar (KMP) dan Kekerasan Mantan Suami (KMP). Dalam lingkup UU PKDRT
(Pasal 2) maka dikenali bahwa selama 5 tahun terakhir (2016-2020) terdapat
36.367 Kasus KDRT dan 10.669 Kasus Ranah Personal. Dari jenis-jenis KDRT, KTI selalu
menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT/RP dan selalu berada di
atas angka 70%. Sedangkan yang paling
minim dilaporkan adalah kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini
juga tidak dapat lepas dari penyempitan makna bahwa KDRT adalah kekerasan
terhadap istri.
Komnas Perempuan mencatat dampak KDRT telah menimbulkan ketakutan, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban, menjadi disabilitas, keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan dan hilangnya rasa percaya diri. Atas dampak tersebut korban yang membutuhkan pemulihan komprehensif, yang sebetulnya telah diatur dalam UU PKDRT.
Komnas Perempuan mencatat selain pada substansi
peraturan perundang-undangan, kemajuan lain dalam penghapusan KDRT adalah
terbentuknya struktur aparatur penegak hukum maupun masyarakat sipil yang
secara khusus dibentuk di antaranya untuk menangani kasus KDRT, seperti UUPA,
P2TP2A, dan Women Crisis Center (WCC) atau lembaga Pendampingan Korban
yang dikelola oleh masyarakat. Namun, pelaksanaan UU PKDRT sendiri masih
menemui sejumlah hambatan yang memastikan korban mendapatkan keadilan dan
pemulihan yaitu: (1) tingginya korban yang mencabut laporan/pengaduan, (2)
penafsiran terhadap Pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT,
khususnya perkawinan tidak tercatat, (3) kurangnya alat bukti, (4) aparat
penegak hukum belum memiliki perspektif korban dan hak asasi perempuan, (5)
belum maksimalnya penjatuhan pidana tambahan pembatasan gerak pelaku,
pembatasan hak-hak tertentu dan mengikuti program konseling, (6) belum
maksimalnya penerapan dan mekanisme kerja perintah perlindungan; dan (7) budaya
yang masih memandang kasus KDRT sebagai aib, tabu diungkap ke luar dan masalah
privat.
Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang terkait
dengan penanganan kasus KDRT, di antaranya:
1. Kriminalisasi Korban
Untuk konteks KDRT, perempuan korban rentan dilaporkan balik, terlebih ketika pelaku memiliki kuasa lebih secara ekonomi, sosial, politik dan memiliki jaringan kekuasaan. Sebanyak 36% dari 120 lembaga layanan yang mengisi kuesioner Catahu menjawab terjadi kriminalisasi terhadap korban KDRT. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU PKDRT sendiri, UU Perlindungan Anak, UU ITE, UU Pornografi dan KUHP. Kriminalisasi ini dilakukan akibat upaya perempuan untuk memutus siklus KDRT seperti keluar dari kediaman bersama, melaporkan KDRT yang dialaminya, menggugat cerai, memperjuangkan hak sebagai istri/mantan istri, memperjuangkan hak anak-anaknya, serta berbuat bagi kepentingan terbaik untuk anak. Penggunaan UU PKDRT untuk mengkriminalkan korban KDRT merupakan indikasi bahwa kebijakan afirmasi untuk perempuan dan keberadaan relasi kuasa dan kontrol yang timpang antara laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya dipahami, terutama oleh aparat penegak hukum.
2. KDRT Berlanjut (Post Separation Abuse)
KDRT Berlanjut menunjukkan
kerentanan perempuan dalam relasi perkawinan yang telah diakhiri dengan
perceraian. KDRT yang dialami dapat terus berlangsung yang dilakukan oleh
mantan suami maupun keluarga mantan suami meski perkawinan telah putus melalui
perceraian. CATAHU Komnas Perempuan menambahkan Kekerasan Mantan Suami
(KMS) untuk memantau pola KDRT berlanjut. KDRT berlanjut pada titik ekstrim
dapat berakibat terjadinya kematian (femisida). Selain dengan kekerasan, KDRT
berlanjut juga menggunakan anak, harta dan rekaman video intim sebagai alat
untuk mengontrol dan mengintimidasi korban.
- Konflik Pangasuhan Anak
Dampak KDRT hingga terjadinya perceraian atau konflik
orang tua kerap menimbulkan berbagai persoalan antara lain perselisihan dalam
pengasuhan anak yang berimplikasi kegagalan pemenuhan hak anak yang justru
membutuhkan perlindungan untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan kembangnya. Anak
ditempatkan sebagai alat untuk menyakiti satu sama lain, sementara proses
perceraian dan hak asuh anak kerap kali tidak mempertimbangkan riwayat KDRT
yang dilakukan orang tua dan tidak adanya mekanisme yang disediakan negara
untuk mengembangkan tanggung jawab pengasuhan bersama pasca perceraian.
- KDRT pada Pernikahan Siri
KDRT pada pernikahan siri/tidak tercatat seringkali
menemui hambatan ketika dilaporkan menggunakan UU Penghapusan KDRT, meski
lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam UU Penghapusan KDRT tidak menyebut
perkawinan sebagai perkawinan yang tercatat.
- Pola penyelesaian KDRT dilaporkan kepada Kepolisian, kemudian dicabut
dengan menggunakan mekanisme restorative justice dan memilih
perceraian menjadikan korban tidak pulih dan pelaku tidak
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara pengadilan agama/negeri
yang memeriksa perceraian tidak memiliki kewenangan untuk memberikan
tindakan terkait KDRT yang menjadi alasan perceraian.
- KDRT yang beririsan dengan Kekerasan Gender Siber (KBGS). Rekaman
video intim sering digunakan sebagai alat kontrol, ancaman dan intimidasi
terhadap korban.
Permasalahan-permasalahan di atas membuktikan bahwa masih dibutuhkan
berbagai upaya untuk mencegah, menangani dan memulihkan korban KDRT. Untuk
memutus rantai kekerasan dan memulihkan korban, dalam rangka memperingati 17
tahun disahkannya UU PKDRT, Komnas Perempuan memberikan saran dan rekomendasi
sebagai berikut:
1.
Mahkamah Agung
a. Menerapkan Perma 3 Tahun
2017 dalam memeriksa kasus-kasus perceraian dengan alasan- alasan KDRT;
b. Membangun mekanisme untuk
melibatkan pekerja sosial dalam menilai kelayakan pengasuhan anak sebagai dasar
pengambilan keputusan.
2.
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk:
a.
Membangun skema nasional aksi
penghapusan KDRT di Indonesia;
b.
Menguatkan koordinasi dengan
aparat penegak hukum, Komnas Perempuan, serta instansi terkait untuk: (i) Penguatan kapasitas penegak hukum yang
meliputi pemahaman tentang KDRT sebagai kekerasan yang berbasis gender dan
perlindungan hak perempuan korban kekerasan;
(ii) Pembentukan peraturan pelaksana yang bersifat implementatif sebagai
parameter dalam penanganan kekerasan, termasuk sistem pembuktian dan
pelaksanaan pidana tambahan; (iii) Penguatan kapasitas lembaga pengada layanan
secara terpadu dalam penyelenggaraan pelayanan terhadap perempuan korban
kekerasan; (iv) Pemberdayaan perempuan
korban, keluarga, dan komunitas secara berkelanjutan dengan menyediakan
berbagai informasi hingga ke tingkat desa dalam upaya penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga;
c.
Mempercepat proses penguatan
hukum bagi Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan (SPPT
PKKTP).
3.
Kejaksaan
Republik Indonesia:
a.
Memperkuat akses korban
terhadap keadilan dan pemulihan di tingkat penuntutan;
b. Mensosialisasikan Pedoman No.
1 tahun 2021 tentang Akses Keadilan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara
Pidana ke seluruh kejaksaan di Indonesia demi memastikan peran jaksa dalam
membantu korban, termasuk dalam hal restitusi bagi korban.
4.
Kepolisian Republik Indonesia:
a. Mengutamakan penegakan hukum
dan membangun standar norma untuk kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dalam penyelesaian kasus KDRT;
b. Meningkakan proses penanganan
berkoordinasi dengan lembaga-lembaga layanan korban KDRT, sebagai bagian dari
penguatan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus
Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP);
c.
Penguatan kapasitas penyelidik
dan penyidik tentang KDRT sebagai kekerasan berbasis gender.
Narasumber:
Siti Aminah Tardi
Rainy M Hutabarat
Theresia Iswarini
Andy Yentriyani
Narahubung
Chrismanto
Purba (chris@komnasperempuan.go.id)