...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati 20 Tahun UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

”Cegah KDRT Berujung Femisida dengan Optimalisasi Perintah Perlindungan dan Partisipasi Masyarakat”

 

Jakarta, 24 September 2024

 

Tahun 2024 menjadi penanda dua dasawarsa keberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). UU PKDRT disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2004 dan diundangkan pada 22 September 2004. Selama dua dasawarsa tersebut, Komnas Perempuan mencatat, kasus femisida merupakan salah satu yang perlu mendapat perhatian khusus mengingat (a) belum tersedia kebijakan pencegahan dan perlindungan optimal dalam kerangka KDRT untuk menjamin rumah tangga sebagai ruang aman; (b) diksi femisida belum terintegrasi dalam kebijakan/perundang-undangan nasional; (c) kasus-kasus yang terjadi semakin kompleks dan belum dikenali secara luas dan (d)  pemenuhan keadilan terhadap perempuan korban belum komprehensif termasuk hak keluarga korban femisida yang menyaksikan langsung.  Komnas Perempuan mengapresiasi capaian kemajuan dalam rentang dua puluh tahun keberlakuan UU PKDRT dan mengajak seluruh pihak mengoptimalkan pelaksanaan UU PKDRT agar mampu mencapai tujuannya untuk mencegah KDRT, menindak pelaku KDRT dan melindungi korban.

 

Sejak pengesahan UU PKDRT, Komnas Perempuan mencatat kasus KDRT merupakan yang terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan dan organisasi pengada layanan. Bentuk-bentuk KDRT terbanyak setiap tahunnya adalah Kekerasan terhadap Isteri (KTI) di urutan pertama sebanyak 70% dari keseluruhan kasus.  Istilah femisida mulai digunakan di CATAHU 2017. Sebenarnya pada CATAHU 2005 tercatat kematian korban yang disebabkan eskalasi KDRT namun belum menggunakan istilah femisida. Dalam perkembangannya, KDRT ini juga beririsan dan diperburuk dengan kejahatan siber seperti Non Consensual Intimate Image (NCII), pinjol, kekerasan seksual berbasis elekronik (KSBE), tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk tujuan ekploitasi seksual, tradisi budaya di antaranya perhambaan di Nusa Tenggara Timur (NTT).

 

KDRT juga kerap berlapis serta interseksional termasuk kondisi disabilitas, dan telah menimbulkan ketakutan, penderitaan berat fisik dan psikis, kondisi disabilitas hingga gangguan mental ringan hingga akut pada korban bahkan berujung kematian korban atau femisida.

 

“Tahun 2020 hingga saat ini, Komnas Perempuan mengembangkan pengetahuan tentang femisida dan menemukan bahwa femisida relasi intim menempati urutan tertinggi. Ditemukan pula bahwa KDRT berkelanjutan tak hanya bereskalasi pembunuhan terhadap istri oleh pasangan, melainkan juga kondisi sakit-sakitan yang berujung kematian dan tindakan mengakhiri hidup oleh perempuan korban. Karena itu, penting mengoptimalkan UU PKDRT baik aspek pencegahannya, penguatan perlindungan termasuk membangun kebijakan danger assesment dalam KDRT, dan penanganan korban KDRT agar tidak berakhir dengan kematian,” jelas Rainy.

 

Salah satu capaian dari pengembangan pengetahuan tentang femisida adalah pendefinisian oleh Komnas Perempuan yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik (Komnas Perempuan, 2022).

 

Menurut Komisioner Siti Aminah Tardi, fenomena femisida intim tampak dari pemantauan atas pemberitaan media massa tahun 2023, ditemukan terdapat 162 jenis femisida, di mana femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, pacar, mantan suami dan mantan pacar atau pasangan kohabitasi yang mencapai 67% dari keseluruhan kasus femisida diberitakan atau 109 kasus. Dalam lingkup rumah tangga selain femisida intim, juga terjadi femisida atas nama kehormatan (honour killing), yaitu pembunuhan perempuan yang dilakukan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas karena dianggap melakukan pelanggaran norma keluarga atau komunitas, perzinahan, diperkosa, atau hamil di luar nikah.

 

Seperti kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian terhadap seorang anak perempuan oleh saudara laki-lakinya atas perintah ayahnya di Bantaeng pada 2020 atau kekerasan dalam bentuk penggundulan dan pembakaran yang dilakukan seorang ayah terhadap anak perempuan yang bermain tanpa izin di Maluku Utara pada 2024.

 

“Sebagai puncak kekerasan berbasis gender, seharusnya KDRT dapat dicegah agar tidak berujung dengan femisida. Untuk itu semua pihak harus mengenali potensi femisida dan segera memberikan bantuan dan perlindungan. UU PKDRT sendiri sebenarnya telah mengamanatkan mekanisme perintah perlindungan, baik perlindungan sementara maupun perintah perlindungan dari pengadilan, agar kekerasan tidak berulang dan memburuk”  ujarnya.

 

Perlindungan sementara untuk korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diberikan oleh kepolisian sebelum pengadilan mengeluarkan perintah perlindungan. Perlindungan sementara ini bertujuan untuk memberikan keamanan langsung kepada korban dalam situasi darurat, serta mencegah terjadinya kekerasan berulang, lebih buruk atau berakhir dengan kematiaan. Namun, menurut Komisioner Retty Ratnawati, ketentuan tentang perintah perlindungan ini belum menjadi arus utama penanganan kasus KDRT termasuk kepolisian dan lembaga layanan belum mengenali KDRT yang berpotensi femisida.

 

“Terdapat lima indikasi KDRT berpotensi femisida yaitu terjadi peningkatan intensitas kekerasan fisik, peningkatan muatan kekerasan fisik, adanya kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi dan atau tidak adanya lingkungan yang mendukung atau support system untuk melindungi korban. Indikasi ini dapat digunakan untuk menentukan intervensi perlindungan sementara dan perintah perlindungan,” tambah Komisioner Retty Ratnawati terkait urgensi kepolisian  pengadilan dan lembaga layanan korban membangun mekanisme dan standar kerja layanan untuk mencegah KDRT memburuk.

 

Dalam rangka dua dasawarsa UU PDKRT, Komnas perempuan juga mencatat pentingnya partisipasi aktif masyarakat, khususnya lingkungan Rukun Tetangga/Rukun Warga sebagai komunitas tapak terdekat mengingat UU PKDRT mengamanatkan agar setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, dan memberikan pertolongan darurat.

 

“Amanat tersebut menggaris-bawahi bahwa KDRT bukan lagi masalah privat dan karena itu siapa pun yang mengetahui adanya KDRT, wajib memberikan informasi dan bantuan agar korban terhubung dengan lembaga layanan korban, atau diketahui keluarga besarnya. Adanya dukungan ligkungan terdekat akan membantu korban KDRT untuk keluar dari siklus kekerasan,” tegas Rainy.

 

Bertolak dari berbagai berbagai persoalan di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan lembaga layanan korban agar mengembangkan sistem penilaian potensi femisida (danger assesment) dan penguatan support system terdekat. Sedangkan kepada Kepolisian Republik Indonesia dan Mahkamah Agung untuk membentuk kebijakan terkait pelaksanaan tehnis perlindungan sementara dan perintah perlindungan yang dapat digunakan secara cepat dan terukur sebagai bagian dari optimalisasi pelaksanaan UU PKDRT.

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: