Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Agraria, 24 September 2020
“TUNTASKAN KONFLIK AGRARIA DEMI PEMENUHAN HAK ASASI PEREMPUAN DAN PENCEGAHAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”
Jakarta, 24 September 2020
Komnas Perempuan melihat bahwa penyelesaian konflik agraria yang berdampak pada pencerabutan akses sumber penghidupannya --merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi perempuan yang hidupnya bertumpu pada tanah dan pengetahuan (kearifan) lokal. Hal ini merupakan mandat Konstitusi UUD 1945, RPJM 2024 dan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (SDGs) untuk memastikan perempuan tidak tertinggal dalam derap pembangunan bangsa.
Setiap 24 September Hari Agraria diperingati sebagai lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA ini mengganti produk hukum agraria kolonial yang mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia. Hal itu mencakup ketentuan-ketentuan pokok, hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa.
UUPA bertujuan mewujudkan keadilan agraria sebagai implementasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat dengan mengatur pembatasan penguasaan tanah, menegaskan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh hak atas tanah, serta pengakuan atas hukum adat. Namun, UUPA sebagai lex generalis tidak pernah dijadikan landasan pembentukan UU sektoral atau lex specialis seperti dibidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, minerba sampai dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pilihan pembangunan yang ditopang investasi di bidang sumber daya alam (SDA) membuka peluang eksploitasi SDA besar-besaran yang difasilitasi oleh UU sektoral yang tumpang tindih, bahkan bertentangan satu sama lain (Contoh UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertentangan dengan UU Agraria dan UU Lingkungan Hidup). Akibatnya, terjadi persaingan yang tak seimbang yang melahirkan ketimpangan dalam struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Ketidakadilan dalam akses perolehan dan pemanfaatan tanah dan SDA itu berujung pada konflik agraria yang tak pernah diselesaikan secara tuntas dan terus berlangsung hingga kini
Sejak tahun 2003- 2019 Komnas Perempuan telah menerima pengaduan terkait konflik agraria dan tata ruang sebanyak 49 kasus dan menemukan pola yang sama terjadi dalam penanganan konflik agraria, di antaranya pemindahan paksa, penggusuran dan kriminalisasi pada masyarakat yang berjuang atas tanah mereka dan mereka yang dianggap penggerak massa yang melawan. Kekerasan termasuk kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi dalam konflik agraria. Puncak dari kekerasan atas nama penanganan konflik agraria adalah penaklukan gerakan perlawanan yang seringkali menyasar tubuh perempuan dalam bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual.
Dalam lima tahun terakhir, pengaduan ke Komnas HAM menunjukkan luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat, 42,3% atau 48,8 juta jiwa berada dalam kawasan hutan. Konflik terjadi antara lain di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), tanah adat dan lingkungan yang kerap disertai kekerasan.
Sementara Komnas Perempuan mencatat dalam pemantauan di wilayah tambang Kalimantan Timur, Pembangunan PLTA di Sulawesi Selatan dan Perkebunan Sawit di Sumatera Utara, terjadi tindak penaklukan dan pembungkaman gerakan dengan menyasar pada tubuh perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mempertahankan wilayah agrarianya mengalami kekerasan fisik seperti dilempar, dipukul, diseret oleh aparat keamanan dan atau preman serta dipenjara. Perempuan juga mengalami kekerasan psikis seperti ancaman penjara dan ancaman pembunuhan serta tuduhan sebagai penyebar paham komunis. Selain itu terdapat kekerasan khas yang hanya dialami perempuan seperti stigma ‘perempuan tidak tahu adat’, ‘perempuan tidak benar dan tidak bermoral’. Sejumlah kekerasan seksual juga dialami perempuan pejuang agraria dalam bentuk pelecehan seksual, perkosaan, perbudakan seksual dan kekerasan ekonomi yang terjadi karena hilangnya sumber penghidupan dari tanah mereka yang dikuasai oleh pemegang hak konsesi lahan dan degradasi lingkungan karena pencemaran sungai, laut dan tanah dari aktivitas pertambangan. Kondisi ini berdampak buruk pada lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Rusaknya lingkungan hidup tidak hanya berdampak terhadap kesehatan perempuan tetapi juga memaksa perempuan menjadi pencari nafkah karena perempuan adalah penanggungjawab kesediaan pangan keluarga ketika suami mereka dikriminalisasi dalam konflik agraria. Temuan Komnas Perempuan dalam laporan pemetaan pemiskinan dan pencerabutan sumber-sumber kehidupan menyebutkan bahwa jika akses ekonomi terbatas maka perempuan merisikokan dirinya bekerja dengan sumber daya yang ada pada tubuhnya, di antaranya menjadi pekerja seksual, buruh pabrik, pekerja rumah tangga bahkan bermigrasi dan rentan menjadi korban trafficking. Dampak secara sosial antara lain, hilangnya rasa aman dan keretakan kohesi sosial dalam masyarakat. Di wilayah tambang, masyarakat terkonfigurasi menjadi pro dan kontra tambang yang merusak kohesi sosial yang selama ini terpelihara dalam masyarakat yang semula guyub.
Konflik agraria juga turut menyumbang pada kerusakan kultural dan spiritual. Bagi perempuan adat misalnya, mereka tidak hanya kehilangan wilayah kelola tetapi juga kehilangan pengetahuan perempuan tentang benih dan bibit, tumbuhan dan teknik pengelolaan hutan. Perempuan adat yang memiliki pengetahuan mengenai jenis-jenis tanaman obat juga tercerabut identitasnya sebagai penyembuh. Selain itu perempuan adat yang mengetahui jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai ritual, sekaligus mengetahui titik hubung spiritual antara tanah dan manusia yang dapat menjadi tempat ritual adat dilakukan, kehilangan identitasnya sebagai penjaga budaya. Kehilangan tanah leluhur sama dengan menghilangkan peran perempuan adat dalam menjaga dan mewarisi pengetahuan tradisional mereka tentang keanekaragaman hayati kepada generasi penerusnya. Konflik agraria juga di sisi lain menciptakan kerentanan pada perempuan pembela HAM dari stigma dan penyangkalan atas perjuangan perempuan.
Apa yang dialami perempuan dalam berbagai konflik agraria mengindikasikan pelanggaran HAM dimana terjadi kekeliruan kebijakan pembangunan dalam mengelola sumber-sumber agraria, membentuk kerangka pikir pembangunan yang hanya memandang lingkungan sebagai komoditas ekonomi semata.
Upaya untuk mengembalikan mandat UUPA dan penyelesaian konflik agraria telah diperintahkan oleh MPR kepada Presiden dan DPR untuk melaksanakan Reforma Agraria (RA) melalui TAP MPR RI No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA), dan ditegaskan kembali melalui Keputusan MPR RI No V Tahun 2003 yang intinya menugaskan Presiden dan DPR untuk membentuk UU tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang akan berfungsi sebagai lex generalis, dan membentuk lembaga independen untuk penyelesaian konflik agraria. Namun hal ini tidak dilaksanakan, justru Presiden dan DPR membentuk UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan RUU Omnibus Law, yang justru berpotensi menjauhkan keadilan agraria dari bagi warga negara khususnya perempuan.
Dalam rangka memperingati Hari Agraria tahun 2020, Komnas Perempuan merekomendasikan:
- Pemerintah dan DPR RI mengembalikan dan menggunakan semangat UU Pokok Agraria dalam pembentukan peraturan-perundang-undangan terkait dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; dan merujuk pada ketentuan universal terkait penghormatan pada alam dan hak asasi manusia, dengan kewajiban negara untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya utamanya hak atas tanah, air, dan keberlanjutan lingkungan yang baik dan bersih.
- Pemerintah c.q Presiden memastikan akses dan partisipasi yang setara antara lelaki dan perempuan dalam setiap proyek pembangunan sejak awal tahap perencanaan selaras dengan mandat RPJM 2024 dan SDGs 2030;
- Penyelesaian konflik agraria dilakukan dengan mengedepankan pendekatan berbasis hak, mempertimbangkan riwayat kelekatan masyarakat dengan tanahnya, dan pendekatan non keamanan. Juga memastikan bahwa dalam setiap penyelesaian konflik, kepentingan kelompok rentan (anak,perempuan, penyandang disabilitas dan masyarakat adat) mendapatkan prioritas perlindungan dan didengarkan suaranya.
- Pemerintah berkewajiban mendorong tanggung jawab korporasi untuk memelihara lingkungan dengan merawat dan memulihkan lingkungan dan tidak meninggalkan limbah yang berdampak pada masyarakat sekitar, tidak menyebabkan terjadinya kohesi sosial serta menciptakan perdamaian, keamanan serta keselamatan perempuan pembela HAM.
Narasumber
Dewi Kanti
Siti Aminah Tardi
Rainy Hutabarat
Narahubung
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)