...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Bidan Nasional 2024

“Tingkatkan Kapasitas Bidan Untuk Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Dan Mencegah Kekerasan Berbasis Gender Perempuan”

Jakarta, 24 Juni 2024

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi peran penting bidan yang telah membantu banyak perempuan dalam pemenuhan hak reproduksi, kesehatan ibu dan anak serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Karenanya Komnas Perempuan merekomendasikan Pemerintah untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan serta pelindungan hukum pada kerja-kerja Bidan.

 

Pernyataan tersebut disampaikan Komnas Perempuan  dalam rangka memperingati Hari Bidan Nasional 2024 yang diperingati setiap tanggal 24 Juni. Hari Bidan Nasional sendiri berawal dari Konferensi Bidan Pertama pada 1951 yang menjadi momen penting didirikan organisasi profesi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sebagai wadah bagi para bidan untuk berkontribusi dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak serta meningkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat Bidan berjumlah 336.984 pada 2022 yang belum mencapai angka ideal dan belum merata ketersediannya di seluruh Indonesia.

 

Komisioner Retty Ratnawati menyampaikan bahwa Bidan memiliki peran strategis dalam pencegahan dan deteksi dini kekerasan terhadap perempuan. Mereka berada di garis depan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dan maternal. Terlebih Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada kisaran 305 per 100.000 kelahiran hidup, belum mencapai target yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada 2030. Target ini merupakan bagian dari tujuan ketiga dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang berfokus pada kesejahteraan dan kesehatan yang baik dan kesetaraan gender.

 

“Peningkatan kapasitas Bidan selain pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah kematian ibu, juga sangat penting untuk membangun sensitivitas gender dalam membantu perempuan menjalankan maternitasnya. Jangan sampai Bidan membakukan stereotipe gender dengan melakukan kekerasan dalam persalinan atau obstetric violence terhadap perempuan yang hamil dan melahirkan, seperti berkata kasar, menjahit irisan atau episiotomy tanpa anestesi atau menggunakan pengalamannya kepada perempuan lain dalam menghadapi persalinan,” jelasnya terhadap fenomena kekerasan dalam persalinan ini yang kerap terungkap dalam pengalaman perempuan ketika bersalin, namun Komnas Perempuan belum selesai melakukan pemantauan secara khusus dan masih terbatas penelitian terkait hal ini.

 

Sementara Komisioner Siti Aminah Tardi, menilai peningkatan sensitivitas gender pada Bidan juga akan berkontribusi terhadap penanganan korban kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, perempuan disabilitas dan kekerasan seksual. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dekatnya bidan, baik di Puskesmas ataupun bidan yang memberikan layanan mandiri dengan masyarakat di tempat tinggalnya, khususnya di pedesaan.

 

“Bidan dapat mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual yang dialami anak, anak perempuan, atau perempuan dewasa dan penyandang disabilitas.  Dengan pengetahuan dan ketrampilan ini, Bidan dapat memberikan dukungan awal kepada korban dan bekerja sama dengan lembaga lain, seperti kepolisian, rumah sakit, dan lembaga layanan korban untuk memberikan dukungan holistik kepada korban kekerasan. Karenanya dalam membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, Bidan haruslah dilibatkan dan menjadi aktor kunci dalam pencegahan dan penanganannya,” jelas Siti Aminah.

 

Lebih lanjut, Komisioner Rainy M Hutabarat mengungkapkan, bahwa dalam kegiatan diskusi konsultatif yang diselenggarakan bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil, seorang bidan menyampaikan bahwa ia terpaksa melakukan pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) karena tekanan dari orang tua dan komunitas tempat ia bertugas. Komunitas juga menghadapi diskriminasi berupa stigma bahwa anak perempuan yang tidak “dikhitan” simbolik atau riil, akan dipandang belum memenuhi ketentuan agama atau adat. Juga ada yang berpandangan akan menjadi perempuan nakal, kelak melawan suami dan stigma negatif lainnya. 

 

“Bidan merupakan tenaga kesehatan yang terdekat dan terjangkau bagi masyarakat di kota kecil, pedesaan maupun wilayah terpencil selain dukun. Dalam kondisi sedemikian, bidan tidak memiliki kekuatan untuk menolak desakan dari komunitasnya. Di sisi lain, praktik P2GP tidak mengenal perbedaan desa – kota, latar pendidikan tinggi atau kurang, atau kelas ekonomi dan umumnya diprakarsai oleh ibu,” jelas Rainy. 

 

Indonesia tercatat di peringkat ketiga negara dengan angka P2GP tertinggi dunia, setelah Mesir dan Etiopia. Oleh karena itu, selain penting penguatan kapasitas bidan karena peran strategis mencegah P2GP, pemerintah juga perlu mengoptimalkan implementasi Peta Jalan Penghapusan P2GP dan memperkuat regulasi terkait P2GP.

 

Selain keterkaitan dengan kebijakan yang mempengaruhi kerja-kerja Bidan, Bidan juga berpotensi berhadapan dengan kekerasan baik dari pasien, keluarga pasien, kolega tenaga kesehatan, masyarakat, pemberi kerja dan kelompok kekerasan di wilayah konflik.

 

“Karenanya, Bidan yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan aIat kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa, dan pelindungan dalam pelaksanaan tugasnya. Jaminan ini diatur dalam Pasal 235 UU Kesehatan yang harus kita dorong untuk diimplementasikan,” pungkas Siti Aminah Tardi.

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)

 

 


Pertanyaan / Komentar: