“Krisis Iklim dan Bencana Alam Ancaman Nyata:
Perempuan di Garis Depan Krisis Iklim, Kebijakan Pembangunan Harus Responsif terhadap Kerentanan dan Dampaknya pada Perempuan”
Jakarta, 22 April 2025
Hari Bumi 2025 kembali mengingatkan kita bahwa krisis iklim dan kerusakan lingkungan telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan manusia dan kehidupan perempuan khususnya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa kebijakan dan langkah-langkah penyelamatan lingkungan hidup merupakan hal mendesak dan investasi berkelanjutan untuk menghentikan pelanggaran hak asasi termasuk kekerasan terhadap alam dan kekerasan terhadap perempuan.
Sundari Amir, Komisioner Komnas Perempuan menegaskan, bahwa perusakan sumber daya alam, eksploitasi tambang, deforestasi, pencemaran lingkungan, hingga konflik agraria terus berdampak langsung pada kehidupan perempuan, terutama perempuan adat, perempuan petani, dan perempuan nelayan. Mereka kehilangan akses terhadap tanah, air bersih, pangan, serta sumber-sumber penghidupan yang selama ini menopang keberlanjutan komunitas dan budaya lokal.
Sundari juga menyampaikan, “Komnas Perempuan mencatat bahwa dampak berbagai bentuk-bentuk penghancuran dan ekspolitasi sumberdaya alam memunculkan peningkatan intensitas bencana alam dan krisis iklim seperti banjir, longsor, kekeringan, dan lainnya dan mengancam kehidupan perempuan sebagai kelompok rentan. Perempuan terdampak menanggung beban akibat berbagai konflik yang hingga kini belum juga ada penyelesaian komprehensif.
Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan, menambahkan, “Komnas Perempuan mendokumentasikan bahwa eksploitasi sumber daya alam (SDA) atas nama pembangunan seringkali menempatkan perempuan menghadapi kekerasan berlapis yaitu kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual, dalam rentang waktu yang panjang.
Ia menyebutkan bahwa Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat setidaknya 58 pengaduan langsung kasus menyangkut konflik SDA, agraria, dan tata ruang, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2020-2024).
“Komnas Perempuan menerima laporan tentang kriminalisasi terhadap perempuan pembela lingkungan dan HAM, yang suaranya kerap dibungkam demi kepentingan industri ekstraktif dan pembangunan skala besar yang tidak berkeadilan. Kekerasan yang dihadapi kerap melibatkan aparat keamanan yang seharusnya memberikan perlindungan pada masyarakat. Komnas Perempuan mencatat kebijakan terkait penanganan krisis iklim dan bencana alam juga masih minim mempertimbangkan pengalaman dan suara perempuan,” tegas Dahlia Madanih.
“Komnas Perempuan terus mengingatkan bahwa kerangka kebijakan pembangunan jangan hanya berfokus pada kepentingan ekonomi semata. Kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Selain itu, kebijakan pembangunan juga harus meminimalisasi potensi ancaman kerusakan ekologi dan ekosistem kehidupan yang seimbang pada kehidupan alam dan manusia. Oleh karena itu, penting menjadi aksi nyata yang tertuang dalam dokumen-dokumen perencanan dan pelaksanaan pembangunan,” Komisioner Irwan Setiawan menambahkan.
Dahlia Madanih menegaskan “Komnas Perempuan mendesak, pemerintah harus tegak berdiri melaksanakan konstitusi yang menyatakan bahwa kekayaan alam di pergunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan tegas pada pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara sepihak, dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam bisnis dan pembangunan, dan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam”.
Sundari juga menegaskan “Komnas Perempuan mendesak perlindungan pada perempuan pembela ham yang banyak mengalami kriminalisasi karena aktifitas mereka dalam menyuarakan dan merawat bumi dan kehidupan Perempuan”. Perlindungan terhadap perempuan pembela lingkungan, pengakuan atas pengetahuan lokal perempuan, serta partisipasi penuh mereka dalam proses pengambilan keputusan merupakan syarat mutlak bagi transformasi ekologis yang adil dan berkelanjutan. Komnas Perempuan juga mendesak pihak eskekutif, legislatif, dan yudikatif menerapkan prinsip-prinsip keadilan gender dalam setiap perumusan kebijakan terkait pembangunan berkelanjutan lingkugan dan ekologis, pengeloaan dan pemanfaatn sumber daya alam,” tegas Sundari.
Komisioner Komnas Perempuan Chatarina Pancer Istiyani menambahkan bahwa perempuan berada di garis depan dalam dalam menghadapi krisis iklim. Perempuan tidak hanya sebagai kelompok rentan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang membawa pengetahuan lokal, ketahanan, dan inovasi.
“Pengalaman dan kepemimpinan perempuan dalam pengelolaan SDA, adaptasi perubahan iklim, serta praktik-praktik berkelanjutan telah terbukti memperkuat ketahanan komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, akses terhadap informasi, dan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan harus menjadi prioritas,” kata Chatarina.
Komnas Perempuan mengingatkan amanat konstitusi Pasal 28 H UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap warga negara. Selain itu, Indonesia juga terikat dengan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016, yang menegaskan komitmennegara-negara untuk mengatasi krisis iklim. Kedua dasar hukum tersebut termasuk peraturan turunannya berupa peraturan presiden dan peraturan menteri mendorong pelibatan perempuan dalam setiap kebijakan dan aksi-aksi terkait iklim. Dengan memastikan partisipasi perempuan secara bermakna dan setara, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, akan lebih inklusif, efektif, dan berkelanjutan.
Komnas Perempuan menekankan bahwa pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dalam konteks krisis iklim harus didasarkan pada prinsip-prinsip utama, yaitu partisipasi yang bermakna, penguatan ketangguhan perempuan, penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, penegakan akuntabilitas, serta jaminan atas hak asasi. Komnas Perempuan percaya bahwa bumi yang pulih hanya mungkin terwujud jika perempuan hidup bebas dari kekerasan, berdaulat atas sumber-sumber kehidupannya, dan dilibatkan secara bermakna dalam seluruh proses perubahan.
Dalam momentum Hari Bumi 2025 ini, Komnas Perempuan secara khusus mendorong pemerintah untuk :
- Menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan gender dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan termasuk meninjau ulang proyek-proyek ekstraktif yang merusak alam dan mengorbankan kehidupan perempuan dan komunitas adat.
- Memperkuat kerangka kebijakan dengan memastikan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan aksi iklim sesuai mandat konstitusi dan komitmen global Indonesia.
- Memastikan Aparat Penegak Hukum untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap perempuan pembela lingkungan dan memberikan perlindungan hukum yang adil.
- Mewajibkan dunia usaha /pihak swasta untuk bertanggung jawab atas dampak sosial dan ekologis dari operasionalnya, serta menghormati hak-hak masyarakat dan perempuan di wilayah terdampak.
- Mendorong program peningkatan kapasitas terkait pengetahuan dan kemampuan perempuan dalam adaptasi dan mitigasi krisis iklim, termasuk akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan pendanaan inklusif.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)