...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Buruh Migran Internasional: Memastikan Pelindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Perempuan Pekerja Migran Indonesia

Siaran Pers Komnas Perempuan

Memperingati Hari Buruh Migran Internasional

 

Memastikan Pelindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Perempuan Pekerja Migran Indonesia

 

Jakarta, 18 Desember 2022

 

Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya telah berusia 33 tahun pada 18 Desember 2022 ini di mana hari pengesahannya  diperingati sebagai hari penting bagi pekerja migran di seluruh dunia. PBB mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1990, lalu Indonesia meratifikasinya pada tahun 2012. Kemudian di tahun 2017 disahkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang diharapkan menjamin terlaksananya norma-norma perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya yang diatur dalam Konvensi.

 

Hal ini selaras dengan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang menjamin kesetaraan kesempatan untuk perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan pekerjaan dan pelindungan di tempat kerja, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Amanat ini juga ditegaskan dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 dan Deklarasi Beijing Platform for Action 1995 serta sejumlah Konvensi Perburuhan yang diadopsi oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). 

 

Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di dalam isu prioritas ke – 8, yaitu Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, memuat target untuk melindungi hak-hak para pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya perempuan PMI. Diketahui, persentase perempuan PMI meningkat drastis dari 57% pada 2014 menjadi 70% pada 2019, di saat jumlah PMI secara keseluruhan mengalami penurunan. Persentase perempuan PMI yang bekerja di sektor informal termasuk PRT, juga meningkat dari 42% pada 2014 menjadi 51% pada 2019 (PUSLITFO BNP2TKI). Menariknya, meski pandemi Covid-19 melanda, persentase perempuan PMI yang bermigrasi justru meningkat hingga 88% pada 2021 dan khusus pada perempuan PMI di sektor informal meningkat menjadi 77% pada 2021 (BP2MI, 2021). Meski jumlah perempuan PMI terus meningkat bahkan di saat pandemi, namun masih terus terjadi keberulangan kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terhadap PMI termasuk pasca disahkannya UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.  Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat sebanyak 813 kasus kekerasan terhadap perempuan PMI sepanjang 2016-2022. 

 

Laporan pemantauan Komnas Perempuan tentang hukuman mati terhadap pekerja migran dan keluarganya (2015) dan laporan pemantauan tentang keterkaitan antara migrasi, perdagangan perempuan, dan narkoba (2017) menunjukkan kompleksitas isu migrasi yang dijadikan kendaraan sindikasi narkoba yang merentankan pekerja migran perempuan hingga terancam hukuman mati atau merenggut seumur hidup mereka di penjara. Hingga saat ini kasus-kasus perempuan PMI yang berujung pada vonis hukuman mati di luar negeri juga masih membutuhkan upaya advokasi terus menerus.

 

Pola kekerasan berbasis gender dan diskriminasi yang terjadi berupa kekerasan fisik, psikis, dan seksual (termasuk pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan pelacuran), perdagangan orang (TPPO), jeratan hutang, ancaman dan pemerasan, pelanggaran hak atas informasi, manipulasi dokumen, dan perampasan dokumen, yang kesemuanya sudah terjadi sejak proses perekrutan hingga pemulangan perempuan PMI (Siaran Pers Komnas Perempuan, 2019). Bahkan dalam laporan penelitian awal dari Organisasi Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) tahun 2021 mendapati pelanggaran hak maternitas seperti larangan kehamilan dengan pemaksaan kontrasepsi terhadap perempuan PMI yang juga dilakukan pada perempuan yang belum menikah, ini tentunya dapat berdampak terhadap kesehatan reproduksinya. Terlebih lagi para perempuan PMI ini tidak memberikan persetujuan dan mendapatkan pemahaman terlebih dahulu tentang jenis dan efek samping dari alat kontrasepsi yang digunakan.

 

Padahal sejauh ini, sejumlah Kebijakan di Indonesia seperti UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan; UU No. 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga; PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi; dengan jelas menyatakan bahwa penggunaan kontrasepsi harus disertai dengan persetujuan dari orang yang menggunakannya. Apalagi paska pengesahan UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) jelas menyatakan pada Pasal 8 bahwa “Setiap Orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi.”

 

UU PPMI sendiri menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan Pelindungan PMI dibutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana. Pengawasan juga  harus  meliputi terhadap kualitas layanan dan dimensi pemenuhan HAM (baik sebagai warga negara, sebagai pekerja migran, sebagai perempuan dalam hal pekerja migran adalah perempuan). Pengaturan tersebut juga diharapkan dapat mengatasi berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pengawasan sebelum adanya UU PPMI, antara lain; tanggung jawab yang cenderung hanya dimintakan kepada pihak swasta dan pemberi kerja ketika terjadi pelanggaran; dan kerancuan peran pemerintah yaitu mengatur, membina, melaksanakan, sekaligus mengawasi penyelenggaraan penempatan dan pelindungan. Perangkat pengawasan penyelenggaraan penempatan dan pelindungan PMI sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran, termasuk memastikan Kementerian/Lembaga dan institusi terkait melaksanakan tugas pelindungan di seluruh tahapan migrasi.

 

Pada  peringatan Hari Buruh Migran Internasional 2022 ini, Komnas Perempuan menyampaikan agar:

1.      Pemerintah Republik Indonesia

a.   Memastikan adanya mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat dan lembaga-lembaga negara yang relevan termasuk lembaga negara Hak Asasi Manusia yang terintegrasi dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia guna menjamin pelindungan, penegakan, pemenuhan hak PMI terutama perempuan.

b.   Melibatkan organisasi pekerja migran dan keluarganya, baik di dalam dan di luar negeri, dalam penyusunan kebijakan dan program responsif gender terkait pekerja migran.

c.   Memastikan kebijakan di internasional maupun regional terintegrasi ke dalam kebijakan nasional secara nyata dan implementatif termasuk dalam upaya pemenuhan hak maternitas perempuan PMI.

2.      DPR-RI segera membahas dan mengesahkan RUU Perindungan Pekerja Rumah Tangga dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga, sebagai upaya mewujudkan pelindungan komprehensif PRT, baik PRT migran dan PRT dalam negeri.

3.      Masyarakat dan media untuk mengawasi pelaksanaan UU PPMI dan mengawal serta mendesak pengesahan RUU PPRT.

 

 

Narasumber:

  1. Satyawanti Mashudi
  2. Theresia Iswarini
  3. Mariana Amiruddin

 

Narahubung: 0813-8937-1400



Pertanyaan / Komentar: