...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Internasional Mengenang & Menghormati Korban Terorisme, 21 Agustus (Jakarta, 22 Agustus 2021)

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Memperingati

Hari Internasional Mengenang & Menghormati Korban Terorisme, 21 Agustus

Menguatkan Upaya Mengatasi Kerentanan Perempuan pada Terorisme

Jakarta, 22 Agustus 2021

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sangat mengecam semua aksi brutal terorisme apa pun yang melatarbelakanginya baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Hal ini karena semua konflik bersenjata dan aksi-aksi terorisme berdampak lebih buruk pada perempuan daripada laki-laki. Beberapa dampak konflik bersenjata adalah perempuan menjadi tulang punggung keluarga dan masyarakat, terutama ketika pasangannya meninggal, dan banyak mereka yang menjadi korban kekerasan seksual termasuk perbudakan seksual. Di lain pihak, perempuan juga telah secara aktif melakukan berbagai upaya untuk melakukan penanggulangan terorisme. Karenanya, Komnas Perempuan menyerukan agar semua pihak menguatkan integrasi perspektif gender dalam upaya pencegahan dan penanganan tindak terorisme, terutama memahami dampak dan pengaruh spesifik pada perempuan. 

Seruan ini disampaikan Komnas Perempuan dalam memperingati Hari Internasional Mengenang dan Menghormati Korban Terorisme. Peringatan tersebut dilakukan pada tanggal 21 Agustus setiap tahunnya sejak ditetapkan berdasarkan Resolusi Sidang PBB No. 72/165 bulan Juli 2017. Peringatan ini ditujukan untuk menghormati dan mendukung para korban maupun penyintas aksi terorisme dan juga untuk mempromosikan pemenuhan hak asasi manusia.  Di Indonesia, upaya untuk mengatasi terorisme juga telah diperkuat melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Ekstrimisme berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024 (RAN PE), dimana Komnas Perempuan disebutkan sebagai salah satu pihak terkait dalam pelaksanaannya.

Aksi terorisme kini kerap terkait dengan tindak ekstrimisme dengan kekerasan yang berakar pada sikap yang tidak lagi mentolerir perbedaan, yang sebetulnya adalah sebuah keniscayaan di negara demokrasi. Dalam kondisi ini, hadir perilaku yang memaksakan pandangan pribadi sebagai kebenaran bagi orang lain. Bagi pelaku aksi terorisme, upaya pemaksaan ini adalah benar dan wajib, bahkan jika perlu dengan menggunakan kekerasan dan secara berulang untuk memastikan ketertundukan pihak yang ditargetkan maupun masyarakat secara umumnya.

Berdasarkan kajian Komnas Perempuan, perempuan memiliki berbagai bentuk keterlibatan dalam kelompok bersenjata, termasuk untuk tindak terorisme. Sebagai supporting system, perempuan mengatur tugas-tugas reproduksi, layanan dan mengatur para kombatan, logistik, rekrutmen, penggali dana, dan juga pelaku. Perempuan yang terlibat dalam bom bunuh diri dan 11 perempuan terpidana lainnya adalah bukti bahwa sebagian perempuan tidak hanya pendukung tetapi juga aktor intoleran aktif di Indonesia. Selain itu, juga ada keterlibatan perempuan Indonesia pada kelompok ekstrimisme dengan kekerasan di tingkat global. pada 2017 ada 420 migran yang kembali dari Syiria (ISIS), 70 persen di antaranya perempuan dan anak-anak (Ismail, 2018). Setidaknya 45 perempuan pekerja migran Indonesia juga diduga terlibat ISIS (Harry Siswoyo, 2017).  Diperkirakan ada 671 orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS dan 147 di antaranya perempuan (Setyo Wasisto, 2017).

Stereotipi dan pembakuan gender menjadi salah satu pintu masuk pelibatan perempuan dalam aksi terorisme. Sejumlah perempuan dimanfaatkan dan dieksploitasi kemampuannya melalui saluran pernikahan. Persepsi bahwa “isteri mudah dibina dan dipengaruhi” menjadikan perkawinan sebagai media yang dianggap lebih aman untuk indoktrinasi dan koordinasi. Juga karena perempuan memiliki potensi tersembunyi yang tidak dimiliki laki-laki yaitu dapat mengecoh aparat keamanan dan tidak mudah dicurigai. Dalam perkembangannya, perempuan menjadi motivator utama dan terlibat langsung dalam melakukan aksi terorisme atas dasar “semangat berjihad”. Kondisi ini memunculkan perdebatan muncul mengenai keterlibatan perempuan dalam kelompok terorisme; apakah dia sebagai korban atau juga wujud eksistensi atau agensinya. 

Di samping masalah gender, masalah inklusi sosial juga aspek fundamental dari pertumbuhan ekstrimisme dengan kekerasan. Pada basis sosio-psikologis, eksrimisme dengan kekerasan berakar dari eksklusi sosial berupa diskriminasi dan marginalisasi berbasis perbedaan agama, ras, etnis, klas ekonomi. Kekerasan ekstrim disemai dari perasaan keterasingan dan keterpinggiran (marginalized). Ekstrimisme dimanifestasikan dalam bentuk ujaran kebencian, pengucilan, hasutan mengarah pada kekerasan, dan aksi-aksi terorisme seperti perebutan hak penyerangan, pengrusakan, pembakaran, pembunuhan, dan penghancuran total. Sebagaimana ditunjukkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2331 dan Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 30, tindak terorisme dalam konteks ekstrimisme dengan kekerasan juga mengambil berbagai bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, tidak terbatas pada perkosaan, pelecehan seksual dan perdagangan perempuan.

Di lain sisi, peran perempuan sebagai agen perdamaian baik dengan cara pembuatan kebijakan, pendidik, anggota masyarakat dan aktivis dalam melawan kekerasan ekstrem semakin diakui. Agenda perempuan, perdamaian dan keamanan (WPS) dari UNSCR 1325 dan 2242 juga menegaskan bahwa peran perempuan dalam Counter Violence Extremism (CVE) sangat penting. Terdapat korelasi yang kuat antara ketidaksetaraan gender dengan kerentanan perempuan dalam konflik dan ekstrimisme dengan kekerasan. Kekerasan ekstrim paling efektif dilawan melalui peningkatan pendidikan, pemikiran kritis yang lebih baik, dan peningkatan peluang bagi perempuan. Potensi perempuan untuk pencegahan kekerasan ekstrim dan terorisme berkaitan dengan keluarga, menemukan tanda-tanda radikalisasi dan mengkampanyekan narasi-narasi moderasi dan perdamaian. Saat ini ada sejumlah organisasi perempuan di Indonesia yang aktif berkontribusi dalam strategi pencegahan dan penanganan kekerasan ekstrim secara nasional di Indonesia.

Upaya pencegahan kekerasan ekstrim dilakukan dengan mengarusutamakan prinsip toleran aktif dan berbasis inklusi sosial dan gender dalam seluruh kebijakan, program dan aktivitas masyarakat. Di lembaga pendidikan misalnya, pengarusutamaan dapat dilakukan pada siswa; kurikulum, bahan ajar, instrumen peraga dan strategi pembelajaran para guru di kelas maupun di luar kelas, serta membangun pendampingan efektif-integratif yang memberdayakan melalui kerjasama sekolah dan orang tua siswa (effective and empowering parenting). Pencegahan integratif ini bukan semata menciptakan ‘daya dukung’ (enabling environment) sekolah terhadap kekerasan ekstrim tetapi juga membentengi siswa sebagai generasi milenial menghadapi arus deras informasi dan serbuan ekstrimisme di media sosial dan platform digital lainnya yang telah menembus dinding-dinding rumah tanpa jeda waktu. 

Pencegahan dibagi menjadi tiga tingkat penekanan. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah masyarakat umum yang rentan tertarik pada narasi ekstremis, intervensi sekunder lebih khusus menargetkan mereka yang diidentifikasi memiliki pandangan yang memprihatinkan dan mungkin sedang menapaki jalan menuju kekerasan, intervensi tersier mengelola individu yang telah terlibat dalam kekerasan dan sekarang berada di penjara atau berintegrasi kembali dengan masyarakat. Pemerintah di dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) dan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Dan Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Dalam Konflik Sosial Tahun 2021-2025, RANP3AKS juga memberikan penekanan pada kepemimpinan perempuan untuk menjadi bagian dari upaya pencegahan secara nasional. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan memberikan ruang kepada perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan akses yang sama terhadap sumber daya yang ada juga dengan menciptakan narasi-narasi perdamaian dan ajaran agama yang mengedepankan asas kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan toleransi

Berdasarkan beberapa paparan tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:

1.  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam implementasi RAN PE perlu a) memprioritaskan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, terutama dalam struktur kepengurusan dan program-programnya,  b) meningkatkan dukungan pada organisasi perempuan dalam melakukan kampanye dan program-program pencegahan kekerasan ekstrim di tingkat nasional maupun tim di daerah, termasuk dalam sosialisasi dan implementasi RAN PE, c) ketersediaan data terpilah dan d) meningkatkan kajian untuk peningkatan kesadaran untuk pencegahan kekerasan ekstrim;

2.     Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dalam upaya implementasi RAN P3AKS dan RANPE sangat penting a) menguatkan koordinasi lintas sektor untuk memastikan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dan organisasi perempuan yang mempunyai fokus pada pencegahan dan penanganan ekstrimisme dengan kekerasan, b) peningkatan kapasitas unit pelayanan perempuan dan anak agar dapat berperan optimal dalam memberikan perlindungan dan pemulihan perempuan dalam konflik, dan c) penguatan daya  pelindungan perempuan (dan anak) dari kekerasan dalam konflik dengan perhatian khusus ada kerentanan berlapis, termasuk melalui  penguatan penyediaan fasilitas layanan dan pemenuhan kebutuhan dasar perempuan (dan anak) dalam konflik;

3.    Kementerian Agama sangat penting meningkatkan pelibatan ulama perempuan yang berasal untuk mempromosikan pencegahan ekstrimisme dengan kekerasan di keluarga dan masyarakat dengan berbagai strategi yang lebih mengena pada millennial;

4.    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk a) memastikan integrasi perspektif gender dalam skema pemulihan dan pemberian ganti rugi pada korban/penyintas terorisme dan ekstrimisme dengan kekerasan, b) kajian kerentanan perempuan korban untuk menguatkan skema tersebut;

5.    Kementrian dan Lembaga terkait dalam pelaksanaan RAN PE agar senantiasa  (a) Mempromosikan partisipasi perempuan dan anak perempuan; (b) Mengatasi ketidaksetaraan gender dalam kebijakan dan kegiatan pencegahan dan penanggulangan terorisme, termasuk dengan (i) mengintegrasikan kesetaraan gender melalui tindakan spesifik dan terarah; (ii) dialog dengan para pemangku kepentingan dan mitra tentang isu-isu sensitif gender; dan (iii) Memastikan kebijakan dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme mengatasi kerugian khusus bagi perempuan, termasuk pada layanan medis, psikis  dan pemulihan dari trauma, pendidikan dan sumber ekonomi, retribusi, kompensasi, ganti rugi dan pemulihan sosial, termasuk memorialisasi untuk memutus keberulangan dan membangun perdamaian berkelanjutan.

 

Narasumber

Alimatul Qibtiyah

Maria Ulfah Anshor

Siti Aminah Tardi

Olivia Chadijah Salampessy

Andy Yentriyani

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)


Pertanyaan / Komentar: